Loading...
SAINS
Penulis: Ignatius Dwiana 20:38 WIB | Jumat, 07 Februari 2014

JATAM: Tambang Tak Berizin, Warga Sumba Timur Dilanda Krisis

Arfian dari Bengkel Tolak Tambang (BTT) Sumba Timur. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Warga desa di Kelurahan Kanatang, desa Kambera dan desa Papu di Kabupaten Sumba Timur menghadapi krisis lingkungan dan krisis ruang hidup akibat pertambangan aspal yang dilakukan PT Teratai dan PT Nusa Jaya Abadi. Ini disampaikan Arfian dari Bengkel Tolak Tambang (BTT) Sumba Timur, komunitas lokal Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dalam wawancara dengan satuharapan.com di sekretariat JATAM pada Kamis (6/2).

Tempat pengambilan material yang terletak berdekatan dengan daerah aliran sungai itu telah merusak jalan. Juga tanpa disertai dokumen lingkungan. Kegiatan penambangan ini sudah berlangsung lama. Arfian menuturkan kegiatan ini sudah berlangsung sebelum dia lahir.

Kegiatan di tempat pengolahan penambangan di Papu berdampak pada kesehatan warga. Beberapa kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), pneumonia berat, dan TBC, ditemukan. Bahkan sampai menyerang balita. Hal ini diakibatkan debu dan hidrokarbon mencemari udaran sehingga terhirup. Ini terjadi karena tempat pengolahan dengan pemukiman warga berdekatan, kurang lebih 50 meter.

Untuk Kanatang, ditemukan beberapa penyakit kulit pula penyakit kulit. “Karena ada penggunaan sumur dalam, air dalam, untuk proses pencucian pasir. Sekaligus pengolahan, memasak aspal.”

Tanpa Izin

Perusahaan melakukan kegiatan pertambangan tanpa AMDAL. Tetapi, kemudian mereka mengantongi Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) sesuai ketentuan 2011 sampai 2012. DPLH ini diperuntukkan bagi perusahaan yang belum mempunyai dokumen lingkungan dalam konteks pencemaran lingkungan hidup.

Berangkat dari hal itu, BTT,”berasumsi bahwa sebelum adanya DPLH yang mereka bikin, perusahaan ini tanpa AMDAL atau UKL UPL. Sebelum 2011, perusahaan ini tidak pernah ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Kualitas Lingkungan - Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Menurut empiris kami bukan DPLH, tetapi Dokumen Evaluasi Lingkungan (DEL) yang setara dengan AMDAL” yang harus dikenakan ke mereka. Karena “perusahaan tadi tidak mempunyai dokumen kalau dilihat ke belakang, maka dibikinlah DPLH. Seharusnya yang dibikin DEL yang setara dengan AMDAL.”

Masyarakat pun berproses menuntut terkait kegiatan pertambangan ini. Bertahap dari RT/RW, Kelurahan, Kecamatan, hingga DPRD. Sampai dengan keluar surat kesepakatan antara masyarakat, pengusaha, dan Pemerintah. “Tetapi sayangnya kesepekatan ini tidak diindahkan.” kata Arfian.

Kegiatan pertambangan ini termasuk dalam bahan yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, bahan galian C. Tetapi pertambangan bahan galian telah berdampak pada warga sekitar.

Menurut Arfian, “Kalau saya tuntutannya pada kompensasi pada hak hidup. Wilayah hidup dari masyarakat di sekitar, termasuk kesehatan, pendidikan harus ditanggung perusahaan. Selain melakukan upaya pengeloaan lingkungan, bagaimana debu, hidrokarbon itu tidak mencemari. Jadi harus melakukan upaya pengelolaan lingkungan.”

Khusus untuk kesehatan warga yang terganggu akibat kegiatan pertambangan, Arfian mendesak supaya “ada keseriusan dari pengusaha untuk memperhatikan kesehatan masyarakat, salah satunya menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Harus ditanggung biaya kesehatannya semua.”

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home