Loading...
ANALISIS
Penulis: Sahala Tua Saragih 00:00 WIB | Senin, 25 Januari 2016

Media pun Menjadi Teroris?

KPI hanya memberi sanksi administratif? (Foto: ISTIMEWA)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Media massa pun ikut menjadi teroris? Koq bisa? Bukankah tugas wartawan memberitakan tindakan brutal para teroris itu melalui media masing-masing?

Sungguh aneh namun nyata. Inilah yang terjadi pascapengeboman dan penembakan membabi buta yang dilakukan para teroris di Jl. M.H. Thamrin Jakarta Kamis lalu (14/1). Beberapa media massa elektronik dan online (dalam jaringan – Daring) besar dan terkenal bukannya menenangkan khalayak masing-masing dengan menyajikan fakta dengan benar dan baik, terutama menenangkan khalayak yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Para wartawan (termasuk yang bertugas di ruang redaksi) berbagai media itu justru menyebarkan teror secara nasional.  

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (KBBIPB, 2008) teror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Ketakutan, kengerian, dan kekejaman apa yang dilakukan para wartawan media besar tersebut? Dengan entengnya mereka menyebarluaskan begitu saja informasi bohong yang dikarang oleh orang-orang yang turut meneror masyarakat melalui status masing-masing di media sosial.

Setelah liputan ledakan bom di Jalan MH Thamrin, Sudirman, TV One dalam Breaking News menyiarkan terjadi pula ledakan bom di Slipi, Kuningan, dan Cikini Jakarta. Wartawan atau redaksi TV One sama sekali tak menyebut sumber beritanya. Tentu saja berita besar ini tanpa gambar (video). Wartawan atau redaksinya sama sekali tidak melakukan verifikasi terhadap informasi yang entah dari mana sumbernya itu. Verifikasi adalah pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan, perhitungan uang, dan sebagainya (KBBIPB, 2008).

Berita "Hoax" yang menghebohkan masyarakat itu... Foto: ISTIMEWA

Dalam situasi sangat panik tentu saja khalayak TV One langsung memercayai berita besar tersebut. Berarti berbagai tempat strategis di pusat kota megapolitan Jakarta telah dibombardir oleh para teroris. Celakanya lagi berita bohong Tv One itu  terlanjur dikutip dan disiarluaskan secara internasional oleh BBC World News. Aneh juga media yang sangat terkenal profesional di dunia itu koq dengan mudahnya mengutip dan menyiarkan kembali berita dari stasiun Tv yang terkenal sering tak akurat atau tidak faktual itu.  

TV Metro juga menyiarkan  informasi yang bersumber dari “kata publik” terjadi pula ledakan bom di daerah Palmerah dengan imbuhan “Kami akan mencoba mengkonfirmasinya.” Para wartawan dan redaksi kedua stasiun TV besar itu meniru gaya preman: hantam atau tembak dulu, urusan belakangan. Beritakan saja dulu, urusan konformasi dan verifikasi belakangan saja. Bila ternyata informasi itu bohong belaka, mereka tinggal mengatakan, setelah reporter kami mengecek langsung di TKP (tempat kejadian perkara) ternyata informasi “kata publik” tadi tidak benar sama sekali (tanpa permohonan maaf pula). Mereka sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. Padahal khalayak TV mereka sudah dilanda ketakutan dan kepanikan yang luar biasa.     

Konyolnya lagi, Ketua Partai Nasdem, Surya Paloh, memanfaatkan tragedi itu melalui TV miliknya. Dia bagai menari-nari di atas orang-orang yang sedang dilanda teror besar. Minimal dua kali pada hari itu  TV Metro menayangkan pernyataan Surya Paloh yang mengutuk serangan para teroris itu. Padahal khalayak TV-nya tak membutuhkan pernyataannya.  Waktu itu warga masyarakat Indonesia, terutama warga Jakarta dan sekitarnya membutuhkan informasi bagus dan benar yang bisa menenangkan, menurunkan rasa takut dan panic mereka.  

Media Daring Viva.co.id juga turut mengutip dan menyebarluaskan berita bohong  TV One  yang menyatakan telah terjadi ledakan bom di berbagai tempat di Jakarta. Warta Kota Online  ikut-ikutan pula  menyebarluaskan informasi tentang petugas Satpam (satuan pengamanan) gedung Sarinah yang tewas kena bom teroris. Wartawan media Daring itu mengambil berita bohong ini dari status Nanik Sudaryati di Facebook. Dalam tempo relatif singkat hampir 40.000 pengguna media sosial itu dengan cepat turut membagi-bagikan berita palsu itu kepada para pengguna Facebook.  Ternyata kemudian pihak manajemen Sarinah menegaskan, tak ada sama sekali petugas Satpam gedung Sarinah yang tewas atau luka-luka dalam tragedi itu.

Tak lama pascaledakan bom di pos polisi di lampu lalulintas perempatan Sarinah, TV One, TV Indosiar, dan TV INews menayangkan gambar mayat seseorang (diduga  teroris) yang tergeletak di pinggir jalan. Gambar mayat itu mereka siarkan dengan sangat jelas, sama sekali tak diburamkan sebagaimana semestinya.  Judul-judul berita di JPPN Daring juga turut meneror khalayaknya. Simaklah judul-judul beritanya antara lain berbunyi begini: “NGERI! Masih Ada Lima Bom Aktif di Badan Pelaku yang Sudah Mampus Itu” dan “SELESAI! Pelaku Bom Sarinah Sudah Mampus Semua.

Stasiun radio khusus berita yang sangat terkenal, Elshinta, ternyata beberapa kali menyampaikan berita ledakan bom di beberapa tempat di Jakarta selain yang terjadi di kawasan Jl. M.H. Thamrin. Entah dari mana pula sumber beritanya. Kurang masuk akal, radio berita yang sudah tergolong senior koq bisa menyiarkan berita bohong.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat langsung memberi sanksi ringan (teguran tertulis) belaka kepada semua media elektronik  yang melanggar Undang-undang Nomor 32/2002tentang Penyiaran dan  Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran tersebut. Entah mengapa, Dewan Pers sama sekali tak menghukum media Daring yang yang turut menyebarkan berita bohong tersebut.

Media tidak boleh menyebar foto korban              Foto: ISTIMEWA

Sebagai ilustrasi, sangatlah tak masuk akal bila para pengemudi kendaraan bermotor, terutama supir kendaraan umum, tidak/belum mengetahui hukum lalu lintas dan angkutan jalan. Keterlaluan bila mereka tidak/belum memahami rambu-rambu lalu lintas. Dalam konteks jurnalisme, sungguh tak masuk akal bila para wartawan media elektronik besar itu tidak/belum pernah membaca Undang-undang Nomor 40/1999 tentang Pers, UU Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Kede Etik IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia). Apakah mereka tidak terlebih dahulu dididik di bidang jurnalisme, termasuk hukum dan etika media massa, sebelum mereka menekuni profesi tersebut? Pasal 6 (ayat c) UU Pers menyatakan, pers nasional melaksanakan berbagai peranan. Salah satu di antaranya  mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.

Pasal 3 KEJ menyatakan, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara seimbang, tidak mencampurkan fakta dengan opini yang menghakimi, serta menerapkan praduga tak bersalah. Penafsiran pasal ini berbunyi, (a), Menguji informasi berarti check and recheck tentang kebenaran informasi itu; (b), Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional; (c), Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat berupa interpretasi wartawan atas fakta; (d), Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Ini diperkuat pula oleh pasal 3 KEJ yang berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan.” Pasal 5 UU Penyiaran menyatakan antara lain, penyiaran diarahkan untuk memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab. Pasal 36 ayat 1 menyatakan, isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak,  moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Ayat 4-nya berbunyi, isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Ayat 5-nya  berbunyi, isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan/atau bohong, dan mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Menurut dua ahli jurnalisme tersohor dari Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku mereka yang terkenal, The Elements of Journalism, What Newspeople Should Known and The Public Should Expect (2001), tujuan utama di antara semua tujuan jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan orang agar bebas dan mampu mengatur diri sendiri. Untuk mewujudkan ini, ada sembilan elemen jurnalisme yang mesti diperhatikan dan diterapkan oleh para wartawan. Elemen ketiga berbunyi, intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi, sedangkan elemen kedelapan menyatakan, jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.   

Kasus-kasus yang dialami (dilakukan) berbagai media elektronik dan Daring tersebut jelas sangat jauh dari norma-norma hukum pers (media), kode etik profesi, dan prinsip-prinsip jurnalisme ini. Jangankan disiplin dalam verifikasi atau cek dan cek kembali, mereka justru sama sekali tak melakukannya. Sungguh aneh media massa itu mengutip dan menyebarluaskan “berita-berita” dari media sosial yang dibuat sembarangan oleh sembarang orang. Seharusnya para pengguna media sosiallah yang mengutip dan membagi-bagikan berita bagus dari media massa, karena sangat dipercayai bahwa berita-beritanya dibuat oleh para wartawan profesional.

Dalam pemberitaan tragedi Thamrin itu perilaku buruk para wartawan media terkenal itu menunjukkan dan membuktikan bahwa mereka tidak bekerja secara profesional. Tugas wartawan bukanlah mengarang fakta atau berita. Tugas wartawan meliput peristiwa (fakta), bukan mengarang. Bahkan peristiwa yang disaksikan sendiri di lapangan oleh wartawan harus dilengkapi wawancara dengan para sumber berita dan nara sumber.

Para wartawan yang tak profesional sebaiknya beralih profesi atau pekerjaan saja. Tujuan bekerja dalam dunia jurnalisme bukanlah mencari nafkah belaka. Wartawan merupakan profesi, bukan pekerjaan semata.       

Penulis adalah dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad (1987-sekarang) dan wartawan (1978-2002)

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home