Loading...
OPINI
Penulis: Domidoyo M. Ratupenu 00:00 WIB | Kamis, 12 Februari 2015

Menabuh Beduk Bersama

SATUHARAPAN.COM – Beduk adalah alat musik dan juga alat komunikasi. Menurut Wikipedia, beduk berasal dari China. Ketika laksamana Cheng Ho, seorang muslim, akan meninggalkan Indonesia dia memberikan cinderamata berupa beduk pada raja di Semarang saat itu. Itu dilakukan atas permintaan raja sendiri agar beduk ada di Masjidnya. Sejak saat itu beduk mulai dipakai di Masjid sebagai alat komunikasi untuk menunjukkan waktunya shalat lima waktu. 

Awal tahun 80-an, saat saya masih remaja, saya tinggal di daerah Betawi di Condet, Jakarta Timur. Rekan-rekan saya kebanyakan muslim. Kami hidup berdampingan dan tak ada sekat yang membedakan kami. Saya biasa bermain di Langgar yang berada tepat di depan rumah saya. Bahkan bersama kawan-kawan, kami terkadang tertidur lelap di sisi ruang shalat di Langgar, karena keletihan sehabis bermain bersama. Pernah ketika tiba saatnya shalat, dan kebetulan tidak ada teman muslim, saya disuruh memukul beduk untuk menandakan waktunya shalat. 

Yang paling menyenangkan adalah jika sudah tiba malam takbiran memasuki hari raya Lebaran. Saat itu kami menabuh beduk sambil mengumandangkan takbir. Kami berganti-gantian menabuh beduk. Ada yang menabuh membran beduk yang biasanya terbuat dari kulit kambing, ada juga yang menabuh body beduk yang biasanya terbuat dari drum kaleng. Itu kami lakukan sampai jauh malam. Dari tahun ke tahun. 

Kebiasaan yang sangat menyenangkan yang merupakan wujud dari satu persaudaraan yang rukun dan alami itu  berakhir, ketika MUI mengeluarkan fatwa haram memberikan ucapan selamat natal. Fatwa itu berdampak pada kebiasaan hangat yang kental dengan semangat persaudaraan, menabuh beduk. Persaudaraan yang rukun dan alami tergilas habis oleh fatma haram MUI. Jangan heran, ketika tiba hari natal, kebiasaan bersalaman sambil mengucapkan selamat natal yang biasa dilakukan pun tidak pernah terjadi lagi.

Gus Dur

Mantan Presiden RI keempat ini sangat dikenal di Indonesia dan dunia internasional sebagai seorang pegiat HAM, budayawan, pejuang pluralisme, dan pembela kaum tertindas. Biasanya kelompok yang dilabelkan sebagai minoritas menjadi perhatian Gus Dur. Di mana terjadi penindasan pada kelompok itu di situ Gus Dur, tanpa diminta, hadir. Ia membela dengan tidak tanggung-tanggung. Pembelaan itu dibuktikan sampai akhir hayatnya. 

Biasaya para tokoh agama sangat memperhitungkan untung ruginya ketika melakukan pembelaan. Gus Dur tidak demikian. Gus Dur tidak takut mendapat kecaman. Dia juga tidak  takut ditinggalkan pengikutnya. Gus Dur malah sering melontarkan wacana yang sangat kontroversial. Misalnya, dia pernah menganjurkan mengganti ucapan asalamu alaikum dengan selamat pagi, selamat malam. Sebutan salam yang khas Indonesia. Bagi mereka yang melihat salam asalamu alaikum sebagai salam yang sakral pasti sangat mengecewakan. Gus Dur dinilai tidak lagi Islami. Padahal, itu dilakukan Gus Dur justru karena ia sangat Islami. 

Itu merupakan contoh sederhana dari usaha Gus Dur melakukan kontekstualisasi pemikiran Islam di Indonesia. Gus Dur sendiri lebih menyukai istilah pribumisasi Islam. Menggantikan assalam mualaikum dengan selamat pagi/malam tidak sama sekali menolak Islam. Ini sebuah cara Gus Dur meng-Indonesia-kan Islam. Dan bukan meng-Islam-kan Indonesia. Lebih tepatnya, meng-Indonesia-kan kata Arab, dan bukan meng-Arab-kan kata Indonesia. Di sini dapat kita lihat bagaimana Gus Dur sangat menghayati dan menghargai sekali ke-Indonesia-an. 

Gus Dur sering melakukan perlawanan terhadap usaha pengislaman Indonesia. Ketika ICMI terbentuk, bukan memberi respos positif, ia malah mengeritiknya. Kritik Gus Dur diwujudkan juga dengan mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Ini sebentuk perlawanan terhadap kecenderungan primordialisme agama. Dari namanya “Forum Demokrasi” sudah terlihat jelas, bahwa di dalamnya semua golongan orang yang berbeda latarbelakangnya ada di sana. 

Ketika menjabat sebagai Presiden, Gus Dur malah hendak mencabut Tap MPRS XXV/1966 mengenai pelarangan Komunisme di Indonesia. Tak ayal lagi Gus Dur menuai kontroversial yang luas. Kontroversial ini semakin meluas dan memanas ketika Gus Dur  ingin membuka hubungan diplomatik antara RI dengan Israel. Keruan saja  suasana politik di Indonesia memanas karena hal itu. Dengan enteng Gus Dur menanggapi “wong dengan China yang ateis kita mempunyai hubungan diplomatik, kenapa dengan Israel yang beragama malah tidak?”. 

Gus Dur seakan hendak mengajarkan keterbukaan dan mendorong masyarakat dan rakyatnya untuk mau belajar dan membangun persaudaraan dengan siapa pun tanpa berprasangka buruk. Gus Dur hendak mengajak masyarkat untuk menjadikan semua orang sebagai saudara, karena Islam yang dipahami oleh Gus Dur adalah rakmat bagi alam, bagi semua makhluk.

Rosnida

Rosnida adalah seorang dosen UIN Ar’Raniry di Aceh. Ia dikenal di kalangannya di Aceh sebagai seorang perempuan aktivis HAM. Ia menyelesaikan studi S3 di salah satu Universitas di Australia. Rosnida mulai dikenal “sejagat” karena tulisannya di media Australia Plus. Tulisan ringannya itu menuai banyak kontroversi. 

Ia dinilai telah mengajak mahasiswinya murtad karena membawa mereka belajar gender di gereja. “Mengapa harus di gereja? Bukankah bisa jika pendeta di gereja itu diajak mengajar di tempat lain?” begitu komentar beberapa orang. Gereja seakan menjadi tempat yang sanggat “kotor” yang tak layak dikunjungi. Apalagi, menjadi tempat belajar. Sekalipun kotor, namun ada kesan, seolah gereja punya kecanggihan yang luar biasa yang dapat menjadikan orang lain dalam sekejap, hanya satu jam, menjadi Kristen. Murtad.

Jika kita simak dengan tenang dan sedikit bijaksana cerita kunjungan Rosnida dengan mahasiswinya ke gereja, kita akan menemukan motivasinya yang sangat luhur. Lewat belajar dari yang lain, Rosnida hendak membangun jembatan pendamaian antara umat Kristiani dengan Islam. 

Hal itu tentunya dilakukan oleh Rosnida bukan tanpa alasan. Jika kita melihat dan menyimak pemberitaan mengenai relasi agama-agama di dunia dan di Indonesia, maka kita akan menyaksikan di media massa maupun sosial bagaimana kekerasan atas nama agama marak terjadi. Pertikaian Palestina-Israel yang sangat politik diberitakan dan dinterpretasikan seolah merupakan perang antaragama. 

Fenomena ISIS bahkan dilihat sebagai perlawanan Islam pada dunia kafir, Barat/Kristen. Bukan saja di dunia internasional. Di Indonesia sendiri, kita bisa menyaksikan pemberitaan konflik antaragama sering terjadi. Kelompok garis keras seakan mempunyai kekuasaan yang absolut untuk menilai salah dan benarnya seseorang/kelompok lain. Atas nama agama kelompok garis keras tega menyakiti, bahkan membunuh saudaranya sendiri. Pendirian rumah ibadah agama dan aliran lain seakan menjadi masalah besar, sehingga harus ditolak keberadaannya di sekitar mereka. Alasan ‘menggagu dan meresahkan masyarakat’ menjadi senjata yang ampuh. 

Lebih parahnya lagi, pemerintah seakan membenarkan tindakan kelompok garis keras/kaum intoleran dengan mengatakan bahwa rumah ibadah tersebut belum mempunyai izin. Bagaimana mau diberi izin, yang sudah mendapat izin pun kembali dicabut izinnya. Bahkan, tuduhan sesat tanpa ragu dilontarkan oleh tokoh agama dan pemerintah pada kelompok tertentu yang dianggap sesat dan menyimpang dari yang seharusnya.

Menabuh Beduk Bersama

Tentunya latarbelakang seperti itulah yang mendorong Rosnida ingin membangun semacam jembatan perdamaian, seperti yang ia ceritakan. Berita di media massa yang dapat membentuk prasangka buruk pada kelompok lain menjadi kekuatiran Rosnida. Ia berusaha menghilangkan prasangka buruk tentang umat lain. Caranya, yaitu dengan datang dan belajar dari “tangan pertama”. Entah itu dari orang Kristen, atau dari kelompok orang yang beragama lainnya. Untuk mencari informasi bagaimana kedudukan perempuan dalam Kristen, ia mengajak mahasiswinya mendengar secara langsung pada pendeta. Karena itu, ia datang ke gereja.

Apa yang dilakukan oleh Rosnida adalah hal yang sangat biasa dalam dunia akademik. Masyarakat akademik bisa menimba ilmu dan pengetahuan dari dan di manapun, serta pada siapa pun. Semua hal yang didapat akan dikritisi dan dibedah secara sistematis dan mendalam. Karena itu, usaha yang dilakukan Rosnida pada mahasiswinya untuk belajar tentang kelompok lain selayaknya mendapat apresiasi. 

Kekuatiran menjadi murtad adalah sebentuk kekuatiran yang berlebihan. Hal ini, justru merupakan sebentuk pengerdilan pada jatidiri Rosnida dan mahasiswinya sebagai orang yang mengimani Tuhan dan agamanya secara kuat. Bahkan, kekuatiran itu sebentuk ketidakpercayaan terhadap usaha ilmiah di dunia akademik. Sayangnya, dalam menyikapi hal itu, UIN Ar’Raniry terkesan malah kehilangan independensi akademiknya dan terpengaruh dengan berita miring di media massa/sosial. Padahal, UIN Ar’Raniry sebagai lembaga pendidikan seharusnya menjadikan “fenomena Rosnida” ini sebagai kesempatan untuk mengajar keterbukaan pada masyarakat umum dalam membangun persaudaraan, sehingga perlahan bisa mengikis prasangka buruk pada kelompok lain yang barangkali sudah tertanam sejak lama. 

Dalam konteks nasional, UIN Ar’Raniry dapat mencontoh teladan dari seorang Guru bangsa, Gus Dur, yang selalu tulus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan menerima semua orang sebagai saudara yang setara dalam segala perbedaan mereka. Jamak kita ketahui, bahwa penghayatan Gus Dur semacam itu sangat berakar kuat dalam tradisi Islam yang diimani dan ditekuninya sejak kecil.  

Mungkin kita patut bertanya, "Kapan kita bisa menabuh beduk bersama lagi?"

 

Penulis adalah Ketua Umum PGI Wilayah Aceh


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home