Loading...
OPINI
Penulis: Rahmatul Ummah Assaury 00:00 WIB | Kamis, 18 Juni 2015

Menggugat Dominasi Tafsir Agama

SATUHARAPAN.COM – Meski ditolak dan disangkal, agama hari ini telah menjelma menjadi biang kerok segala kerusuhan, konflik dan tragedi kemanusiaan. Klaim keyakinan agama yang dianggap paling benar, selalu berusaha untuk menegasikan dan memusnahkan keyakinan-keyakinan yang berbeda (the other). Memerangi dan memusnahkan setiap pandangan yang berbeda, dianggap sebagai sebuah kemuliaan dan cita-cita tertinggi dalam kehidupan keagamaan. 

Tengoklah beberapa kerusuhan yang terjadi di dalam negeri Indonesia, maupun di luar negeri. Konflik bertaburan karena perbedaan keyakinan, baik antar-agama maupun inter-agama, antara Islam-Kristen, Islam-Hindu, Islam-Buddha, Kristen-Hindu, maupun di dalam internal agama, syi’ah-sunni, sunni-ahmadiyah, dan seterusnya. Hampir seluruh agama mencatat deretan konflik dan kekerasan yang mengtasnamakan agama. Tak cukup sulit untuk menemukan sejarah rentetan konflik perbedaan keyakinan di masing-masing agama.

Belakangan ini, dunia diramaikan oleh terusirnya Muslim Rohingya dari negerinya, setelah sebelumnya kita dipertontonkan oleh wajah kekerasan agama yang ditampilkan oleh kelompok yang memiliki keinginan kuat mendirikan khilafah dan negara berbasis agama, seperti ISIS dan beberapa turunannya yang masih malu-malu untuk menyatakan perang kepada kelompok yang menolak ide khilafah. 

Sadisme beberapa kelompok pejuang agama dan khilafah yang dipertontonkan di media sosial, seolah semakin membuat keyakinan awam seperti saya, bahwa semakin tinggi tingkat ritual orang beragama semakin tidak toleran dia dengan perbedaan, dan semakin bengis dia atas keyakinan yang lain dari keyakinannya, semakin ia berhasil menuhankan Tuhan, seolah semakin gagal ia menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia.

Tapi benarkah agama bekerja untuk kepentingan Tuhan, sehingga manusia beragama seolah-olah menjadi sangat shaleh dan relegius ketika ia mampu menajamkan perbedaan dengan kelompok yang tak relegius, membuat jarak sebagai orang suci dengan kelompok yang tak suci? Apakah keshalehan dan relegiusitas itu adalah ruang khusus untuk orang-orang yang suci, yang terpisah dari masyarakat umum? Mengelompok seperti sekte, lantas di mana letak agama rahmatan lil alamain, agama kasih, agama yang menyerukan kedamaian di muka bumi?

Belajar dari Ibrahim

Perjalanan panjang spritualitas Ibrahim yang diceritakan Kitab Suci, sebenarnya adalah perjalanan spritualitas yang tak pernah selesai, Ibrahim tidak pernah dijelaskan menemukan hakikat Tuhan, hakikat kebenaran puncak yang sedang ia cari, pelajaran penting dari perjalanan Ibrahim adalah pemahaman akan keterbatasan manusia, keterbatasan yang akhirnya mengharuskan kita bergantung kepada yang Maha Tak Terbatas, yang kemudian kita istilahkan dengan Tuhan dengan nama yang beragam.

Perjalanan spritualitas Ibrahim yang tak pernah selesai, dan seluruh umat manusia yang mengikuti jalannya seharusnya menyadari bahwa proses pencarian kebenaran sebagai perjalanan dari spritualitas juga tidak pernah selesai. Kebenaran-kebenaran yang dijalani adalah kebenaran-kebenaran yang harus terus menerus diuji dan didialogkan, pada ruang tempat dan waktu yang berbeda, sehinga ia tetap keluar sebagai kebenaran. Tidak ada satupun manusia yang berhak mengklaim berada pada kebenaran final, yang memiliki hak prerogratif sebagai penafsir tunggal kata-kata Tuhan, seolah menjadi manusia yang paling mengerti apa yang diinginkan tuhan lewat semua kalam-Nya.

Dominasi Tafsir

Terlepas dari rekayasa atau murni lahir dari rahim agama atau keyakinan kelompok-kelompok tersebut, penulis memiliki hipotesis, bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan agama, lantaran dominasi elite agama atas tafsir. Kelompok elit agamalah yang dianggap paling memiliki hak untuk menafsir “Kalam Tuhan” atau wahyu. Elite agama tersebut dianggap paling memiliki otoritas menerjemahkan teks suci pikiran-pikiran Tuhan dalam tafsiran mereka, bahkan untuk melanggengkan dominasi tafsir itu, para elit agama tersebut membuat kreteria dan prasyarat penafsir untuk melegitimasi kewenangannya.

Dominasi tafsir agama tersebut telah memunculkan banyak perlawanan, nama Martin Luther pernah dikenal sejarah sebagai salah seorang yang melakukan perlawanan dominasi tafsir agama oleh kelompok gereja. Sejarah perlawanan Luther kemudian akhirnya memunculkan pendekatan hermeneutik terhadap teks suci, sebuah pendekatan yang lebih humanis dan terhubung langsung dengan kepentingan kemanusiaan.

Semula hermenutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi filsafat penafsiran kehidupan sosial. Kemunculan hermeneutika dipicu oleh persoalan-persoalan yang terjadi dalam penafsiran Alkitab

Awalnya bermula saat para reformis menolak otoritas penafsiran Alkitab yang berada dalam genggaman gereja. Menurut Martin Luther (1483-1546 M), bukan gereja dan bukan Paus yang dapat menentukan makna kitab suci, tetapi kitab suci sendiri yang menjadi satu-satunya sumber final bagi kaum Kristen. Menurut Martin Luther , Alkitab harus menjadi penafsir bagi Alkitab itu sendiri. "This means that [Scripture] it self by it self is the most unequivocal, the most accessible [facilima], the most testing, judging, and illuminating all things,…” 

Pernyataan tegas Martin Luther yang menggugat otoritas gereja dalam memonopoli penafsiran Alkitab, berkembang luas dan menjadi sebuah prinsip Sola Scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu tradisi). Berdasarkan prinsip Sola Scriptura, dibangunlah metode penafsiran bernama hermeneutika.

Jika Martin Luther terlahir untuk menggugat dominasi tafsir dalam tradisi Gereja, sudah semestinya semua agama melahirkan tokoh-tokoh yang juga secara terus-menerus protes terhadap monopoli dan otoritas tafsir yang melahirkan kekerasan dan sadisme agama.

Kelompok elite agama pro-status quo pasti akan merasa terancam kemudian mengeluarkan fatwa dan stereotipe negatif terhadap para pembaharu tafsir. Melakukan gugatan dan pembaharuan tafsir agama memang bukanlah jalan mulus yang sepi tantangan, ada banyak elite agama yang terlanjur nyaman dengan otoritas dan dominasinya akan setia menjadi penghadang, sehingga para pembaharu justru akan dituduh sebagai kelompok murtad dan kafir lantaran mengganggu stabilitas agama.

Inilah tantangan para pembaharu agama, menggugat dominasi tafsir elite yang bermuara pada kekerasan berwajah agama tak boleh berhenti, setiap orang beragama harus meyakini bahwa puncak tertinggi dari spritualitas menuhankan Tuhan, adalah keberhasilan memanusiakan manusia, menghadirkan wajah agama yang membela kepentingan kemanusiaan, agama untuk manusia, agama yang ramah dan humanis. Karena, sebagaimana ungkapan Gus Dur, Tuhan tak perlu dibela.

Penulis adalah Pegiat Diskusi Majelis Kamisan Cangkir

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home