Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 15:53 WIB | Kamis, 17 Mei 2018

“Nama Saya Muhammad…”

Ilustrasi. Warga menyalakan lilin dalam aksi lilin kebersamaan Suroboyo Wani di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). Aksi yang diikuti ratusan orang dari berbagai lapisan itu mengecam aksi terorisme bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya. (Foto: Dok satuharapan.com/Antaranews.com/Didik Suhartono)

Teror bom mengguncang tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018). Serangan bom bunuh diri terjadi hampir serentak di Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuno. Daniel T Hage, Ketua Majelis Jemaat di GKI Jl Diponegoro, menuliskan pengalaman menghadapi saat-saat dramatis itu di laman blognya, pada 14 Mei 2018. Atas seizin Daniel T Hage, Satuharapan.com, menurunkan tulisan tersebut.   

SATUHARAPAN.COM – Hari kemarin (Minggu 13/5/2018, Red) itu memang dimulai dengan keenganan membawa charger HP. Rasanya saya cuma akan sebentar ke gereja, lalu balik ke rumah lagi.

Mungkin itu rencana Tuhan bagi saya. Saat sosmed (medsos, media sosial, Red) menjadi ribut, telepon menjadi sering berbunyi, entah itu telepon, entah itu WA voice call, dan ada juga yang WA video call. Sambung-menyambung rasanya.

Mau tidak diterima, saya merasa ini tanggung jawab saya sebagai ketua majelis dari gereja yang sedang jadi sorotan. Mau semuanya diterima, itu mengganggu konsentrasi saya. Mau terus pakai HP, saya juga sadar kalau tidak membawa charger, dan charger yang saya pakai bukan tipe yang banyak dipakai.

Takut kehabisan baterai, ini yang membuat saya lebih konsentrasi untuk bisa mendampingi korban ledakan bom.

Diawali dengan evakuasi semua jemaat menuju tempat yang ditunjukkan oleh polisi, membubarkan mereka, mengantar pulang beberapa jemaat. Balik ke TKP (tempat kejadian perkara, Red), ada lagi keluarga korban yang bingung mencari  tempat perawatan korban. Saya hanya berusaha mengantar mereka ke rumah sakit untuk meneduhkan hati mereka.

Memang sejuta rasa seharian itu. Ada bela rasa yang kuat untuk mendampingi keluarga korban. Ada kebingungan dengan telepon yang meminta ikut menyambut pejabat yang mau ke TKP. Sempat ada juga rasa curiga berlebih saat ada yang minta info dengan alasan akan memberikan sumbangan. Ada juga rasa gemas saat mendengar gonjang-ganjing di sosmed yang liar. Ada rasa haru yang memuncak saat mendengar empati yang tulus dari Ibu Wali Kota (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Red).

Kepedulian yang Indah

Melihat parahnya luka korban dan potongan logam yang berhasil diangkat dari tubuh korban, ini bisa memicu perasaan lain yang liar. Benarkah nilai-nilai kebaikan itu telah sirna? 

Dokter yang menangani korban, memang seorang teman lama yang beberapa saat lalu juga mengobati saya. “Beberapa minggu ini kondisi saya drop, baru hari ini saya merasakan kesehatan yang baik. Ternyata Tuhan memberikannya sehingga saya bisa membantu korban,” kata dokter. Tiga minggu yang lalu memang saya menjenguknya, dan melontarkan pertanyaan, “Dokter juga bisa sakit ya?”

Operasi yang dilakukannya adakah operasi pertama setelah beberapa saat ia sakit. Tuhan memulihkan kesehatannya untuk menghadirkan kesehatan bagi sesamanya.

Saat duduk di ruang tunggu karena ada peraturan sterilisasi ruangan dalam rangka kunjungan pejabat tinggi negara, saya berbincang dengan ibu-ibu dari Polsek Tegalsari yang hadir memberikan perhatiannya. Kepedulian yang indah melebihi nilai dari buah-buahan yang mereka bawa.

Saat ibu-ibu itu masuk, ada juga seorang bapak yang tidak saya kenal sebelumnya, yang menyampaikan keprihatinan dengan menyerahkan bantuan dari Yayasan Hainan Peduli untuk disalurkan kepada keluarga korban.

Kalau mungkin bimbang itu pernah muncul, rasanya sirna saat melihat dan merasakan perhatian mereka.

Malam hari saat proses administrasi korban mulai dikerjakan, diperlukan banyak fotokopi beberapa berkas: Kartu BPJS, Surat Elegibilitas Pasien, dan surat keterangan. Tempat fotokopi di dalam rumah sakit sudah tutup, saya mencari di luar.

Saat berjalan keluar dengan berkas di tangan, saya bingung mau ke arah mana? Ke kiri atau ke kanan? Tiba-tiba, “Mau fotokopi, ya?” Ada suara seorang penarik becak yang mangkal sambil menunjukkan arah toko itu.

Saya menuju arah yang ditunjukkannya. Bapak penjaga toko itu mulai memfotokopikan. Ternyata, mesinnya berbunyi agak keras, “Maaf ya, mesin saya rusak. Di sana ada toko lain. Coba ke sana saja. Tapi kalau tidak ada, datang lagi ke sini. Saya akan perbaiki mesin ini.”

Sikap yang sangat indah dari orang di sekitar rumah sakit ini. Saya ke toko yang dia tunjukkan. Semua berkas itu difotokopi. Puluhan lembar jumlahnya.

Saat menanyakan jumlah yang akan dibayar, ia bertanya, “Siapa yang sakit?”

Saya menjawab, “Ini korban bom yang tadi pagi itu, Pak.”

“Sudah, Bapak bawa saja,” katanya, sambil menolak uang yang saya sodorkan.

“Terima kasih, Pak, boleh saya tahu nama Bapak untuk saya ingat?”

“Nama saya Muhammad....”

Saya sangat terharu. Saat bom yang dibuat dengan sarat makna pertikaian agama, ada orang yang bisa berempati dengan baik. Ia menyampaikan empati dengan tulus, yang menyiratkan ketulusan hati banyak teman dan masyarakat Muslim yang saya kenal jauh sebelum model kekerasan ini merebak.

Kedamaian Hati Terus Disuarakan

Kejadian ini menguatkan saya. Di luar sana, ada banyak sesama yang punya ketulusan hati. Ada banyak orang dengan kedamaian hati yang bila terus disuarakan akan memadamkan bara perpecahan yang hendak dikobarkan.

Ayo, saatnya kita suarakan kedamaian dan rasa kemanusiaan kita demi Indonesia yang harus jaya.(*)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home