Loading...
FOTO
Penulis: Dedy Istanto 14:43 WIB | Minggu, 19 Maret 2017

Pameran Lorong Genosida 65 Digelar di Komnas HAM

Pameran Lorong Genosida 65 Digelar di Komnas HAM
Salah satu korban/penyitas peristiwa 1965-1966, Depa Komara (68) yang menghadiri acara pameran bertajuk Lorong Genosida 65-66 yang diselenggarakan oleh Panitia International People’s Tribunal (IPT) 1965 bersama dengan Komisi Nasional AntiKekerasan terhadap Perempuan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di pelataran gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Minggu (19/3) sebagai bagian dalam rangka mendesak Komnas HAM untuk melakukan penyidikan lanjutan atau baru berdasarkan hasil putusan sidang Den Haag, termasuk melakukan langkah hukum dengan mendata dan memproteksi temuan kuburan massal. (Foto-foto: Dedy Istanto)
Pameran Lorong Genosida 65 Digelar di Komnas HAM
Salah satu korban yang hadir dalam acara pameran bertajuk Lorong Genosida 65-66 yang merupakan bagian dalam rangka mengkampanyekan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, khusunya 1965-1966.
Pameran Lorong Genosida 65 Digelar di Komnas HAM
Beberapa karya repro yang menggambarkan sosok wanita dari para seniman yang terlibat dalam acara pameran Lorong Genosida 65-66 yang digelar di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta.
Pameran Lorong Genosida 65 Digelar di Komnas HAM
Sri Sulistyowati (76) mantan wartawan era tahun 1965-1966 yang menjadi korban penahanan selama kurang lebih 11 tahun saat menghadiri acara pameran bertajuk Lorong Genosida 65-66 yang digelar di pelataran gedung Komnas HAM.
Pameran Lorong Genosida 65 Digelar di Komnas HAM
Poster pameran bertajuk Lorong Genosida 65-66 yang diikuti oleh sejumlah seniman dalam rangka menyuarakan keadilan dan kebenaran penyelesaian peristiwa 1965-1966 yang telah diputuskan dalam sidang di Den Haag bulan November 2015 lalu.
Pameran Lorong Genosida 65 Digelar di Komnas HAM
Para korban dan keluarga korban yang tergabung dalam Panitia International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang menghadiri acara jumpa pers bersama dengan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dalam rangka menyuarakan penyelesaian kasus pelanggaran genosida tahun 1965-1966.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Para penyintas dan keluarga korban pembunuhan massal yang tergabung dalam Panitia International People’s Tribunal (IPT) 1965 bersama dengan Komisi Nasional AntiKekerasan terhadap Perempuan menggelar pameran karya seni rupa bertajuk “Lorong Genosida 65-66”.

Selain pameran seni rupa, berbagai kegiatan seperti peluncuran buku Laporan Akhir IPT65 dan Dari Beranda Tribunal, serta diskusi publik, dan pemutaran film juga diselenggarakan sejak tanggal 17-19 Maret 2017.

Acara untuk mengangkat permasalahan pengungkapan kebenaran dan jalan berkeadilan para korban/penyitas 1965-1966 pasca sidang Mahkamah Rakyat Internasional bagi kejahatan serius atau International People’s Tribunal di Den Haag pada tanggal 10-13 November 2015 lalu memutuskan sembilan butir yang menjadi bahan rekomendasi.

Berbagai kampanye dan advokasi dilakukan oleh para penyitas pasca sidang Den Haag untuk memerangi impunitas dan menuntut perwujudan empat pilar hak korban atas kebenaran dan keadilan serta jaminan untuk tidak berulang kembali kejahatan tersebut mengalami jalan buntu.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak hasil putusan sidang serta putusan Hakim IPT 1965 untuk ditindaklanjuti sebagai bahan penyelidikan lanjutan atau baru. Salah satu contoh mengenai temuan kuburan massal yang telah diserukan dalam penandatanganan petisi tidak diwujudkan.

Para penyintas dan keluarga korban menilai Komnas HAM tunduk pada Kejaksaan Agung dan Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan untuk menempuh jalur non-yudisial yang bukan mandat utamanya. Komnas HAM melompat jauh ke ujung menyelesaikan dengan melakukan rekonsiliasi tanpa proses pengungkapan kebenaran.

Sikap pemerintah atas penyelesaian kejahatan serius di masa lalu yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 dengan membentuk Komite Kepresidenan dalam mengungkap kebenaran pun dinilai kandas dengan adanya rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Pembentukan DKN di bawah Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan dinilai menjadi lembaga yang memanipulasi langkah-langkah rekonsiliasi menjadi “kerukunan” dan menyingkirkan prasyarat pengungkapan kebenaran.

Atas kondisi itu, Panitia IPT 1965 bersama dengan Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya, pertama, mendesak Komnas HAM untuk melakukan penyidikan lanjutan atau baru berdasarkan hasil putusan sidang Den Haag, termasuk melakukan langkah hukum dengan mendata dan memproteksi temuan kuburan massal.

Kedua, meminta kepada pemerintah untuk mewujudkan pembentukan Komite Kepresidenan dalam rangka mengungkap kebenaran dan keadilan serta reparasi bagi korban sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 2015-2019. Ketiga, mendesak bakal calon anggota Komnas HAM yang terpilih untuk menyuarakan aspirasi para korban dan menunjukan komitmennya dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berasa di masa lalu, khususnya genosida 1965.

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home