Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 09:32 WIB | Rabu, 28 Januari 2015

Standar Etika KPK dan Polri

SATUHARAPAN.COM – Bambang Widjojanto, dalam satatus tersangka kasus kesaksian palsu telah mengajukan pengunduran diri dari jabatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Segera juga muncul pernyataan di publik: kapan Komjen Budi Gunawan, tersangka kasus suap,  mengundurkan diri sebagai calon Kapolri, bahkan juga dari jabatan sebagai Kepala Lmbaga Pendidikan Polisi?

Para ‘pembela dan penyeru’ agar Budi Gunawan dilantik sebagai Kapolri bereaksi dengan mengatakan bahwa soal mengundurkan diri itu masalah etika. Namun karena syarat legal formal sudah dipenuhi justru harus segera dilantik.

Mengapa etika dikesampingkan, bahkan ada di kalangan pengamat, pejabat, akademisi dan politisi mencibir konflik ini seolah-olah tentang suci, jahat atau kotor, atau soal ‘manusia setengah dewa’? Bukankah ini memang masalah etika dan moral. Mengesampingkan hal ini adalah naif dan berbahaya.

KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung dan Polri, gagal meneggakkan supremasi hukum, dan terutama memberantas korupsi. Sumber masalah itu adalah standar etika dan ketaatan hukum di dua istansi itu. Dalam sebuah acara di televisi, hari Selasa (27/1) malam, mantan Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, dengan tegas mengatakan pemberantasann korupsi oleh dua lembaga itu nol.

Standar Etika KPK

Dalam kasus ini, Ketua KPK, Abraham Samad, disorot karena diketahui bertemu dengan sejumlah politisi menjelang pemilihan presiden. Dia dianggap melanggar etika komisioner KPK. Ruki juga pernah akan diajukan ke komite etik, karena bermain golf dengan pejabat lain.

Masalahnya bukan pada bertemu dengan politisi atau bermain golf, tetapi konflik dan bias kepentingan yang akan terjadi dengan kegiatan itu. Kita lihat, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, yang dipidana korupsi. Kasusnya dimulai dengan mengabaikan standar etika ketika menerima dan bertemu pengacara para pihak yang bersengketa. Kasus lain yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap menerima suap dalam menangani kasul BLBI. Bukankah ini dimulai oleh abai pada etika?

Jadi, kalau Bambang Widjojanto mengundurkan diri, itu karena standar etika harus dipenuhi oleh pemimpin KPK. Demikian juga kalau Abraham Samad benar melanggar kode etik komisioner, Komite Etik KPK bisa dibentuk dan menyelesaikannya. Hal itu juga pernah terjadi terkait bocornya draft surat perintah penyidikan (sprindik) kasus Anas Urbaningrum.

Standar etika menjadi penting karena pada tataran kepantasan, kepatutan, kualitas moral, dan kualitas pengendalian diri pada pejabat di lembaga yang penting ini. Ketaatan pada etika berada di atas ketaan hukum yang ditaati karena ketakutan pada huuman. Hanya dengan dipenuhinya standar itu, terutama di level pemimpin, yang akan membangun budaya kredibilitas dan kinerja, terutama dalam pemberantasan korupsi yang merupakan tindakan melawan etika dan moral.

Standar Etika Polri

Lantas bagaimana dengan standar etika Polri? Apakah Budi Gunawan tidak perlu mengajukan pengunduruan diri dari jabatan di institusi Polri? Bagaimana standar etika Polri, jika dia tetap dilantik sebagai Kapolri, meskipun berstatus tersangka kasus suap.

Kalau komisioner KPK sebagai tersangka mengundurkan diri, apakah boleh standar etika Polri lebih rendah dan tersangka suap boleh menjadi Kapolri? Kalau komisioner KPK dilarang bermain golf dan aktivitas lainnya yang potensial menimbulkan bias kepentingan, apakah penyidik Polri boleh ‘bertemu’ dengan pengacara tersangka? Komisioner KPK dipersoalkan karena pertemuan dengan politisi, apakah pejabat Polri tetap boleh ‘terlibat permainan politik’?

Hal itu hanya contoh yang bisa disandingkan dengan kasus KPK. Di luar itu, terutama kalangan Polri sendiri, yang tahu tentang bagaimana kenyataan standar etika polisi diterapkan ketika terkait dengan tindak kejahatan dan para pelakunya.

Jika hal itu terjadi, sama artinya kita akan mengatakan bahwa standar etika Polri sedemikian rendah, atau setidaknya di bawah KPK. Ini berarti Polri belum tersentuh reformasi, dan alasan kuat KPK ada dan didukung sepenuhnya. Kita makin prihatin karena standar etika di DPR juga dipertanyakan, dan terlihat dalam proses uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri. Ini adalah salah satu bentuk dosa sosial yang disebutkan tokoh dunia, Mahatma Gandhi: politik tanpa prinsip.

Selamatkan Polri

Oleh karena itu, kasus ini seharusnya menjadi pijakan bagi Presiden untuk menjalankan revolusi mental di tubuh Polri untuk memiliki standar ketaatan hukum, etika dan moral yang tinggi. Ini juga harus menjadi koreksi kuat terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selama 10 tahun tidak menyentuh bidang ini pada seluruh jajaran Polri.

KPK adalah lembaga ad hock yang bisa dibubarkan, tetapi Polri adalah alat negara yang harus ada, bahkan selama republik ini ada. Maka benar bahwa Polri yang terutama harus diselamatkan. Masalahnya, penyelamatan ini bukan dengan cara membiarkan manusia dengan standar etika yang rendah mengendalikan institusi ini. Sebaliknya, justru membersihkan secara tuntas tubuh Polri, termasuk menerapkan standar etika dan moral yang tinggi. Dan mulailah itu dari Kapolri.

Jadi, tantangannya bukan direspons dengan mencibir tentang KPK seolah-olah ‘suci’ dan  ‘manusia setengah dewa’, tetapi bisakah Polri mempunyai standar etika yang lebih tinggi dari KPK, setidaknya sama dengan KPK. Standar legal formal, termasuk uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR adalah dalam upaya terpenuhinya standar etika pada pejabat, bukan sebaliknya dipertentangkan, apalagi menegasikan standar etika. Hal ini juga semestinya berlaku bagi Kejaksaan Agung dan lembaga peradilan.

Jika hal itu diwujudkan, KPK memang bisa tidak diperlukan. Namun ketika masalah standar etika ini semakin diabaikan, menyelamatkan KPK pada situasi ini adalah keharusan, dan terutama ini ada di tangan Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara.  Dan hal ini sama niscayanya dengan memperbaiki standar etika dan ketaatan hukum Polri, sehingga amanat pemberantasan korupsi bisa kembali pada lembaga ini.

Presiden Joko Widodo, selamat untuk memulai revolusi mental di tubuh Polri, rakyat mendukung Tuan sebagaimana keputusan rakyat memilih Tuan dalam pilpres.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home