Loading...
OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Senin, 07 Juli 2014

Terima Kasih, Jokowi!

SATUHARAPAN.COM – Tulisan ini dibuat beberapa hari menjelang Pilpres 9 Juli mendatang. Jadi, percayalah, saya belum mengetahui hasilnya. Seperti Anda, saya pun masih was-was siapa akhirnya pemenang pertandingan akbar yang, nantinya, akan mendapat mandat rakyat menjadi Presiden Indonesia.

Juga, percayalah, ini bukan kampanye untuk pasangan Jokowi-JK, walau simpati saya jatuh pada mereka. Setelah debat terakhir Capres-Cawapres Sabtu (05/7) kemarin, musim kampanye yang riuh rendah resmi ditutup. Kini saatnya orang kembali pada suara hati masing-masing untuk menimbang-nimbang dengan jernih, sebelum nantinya menjatuhkan pilihannya di bilik suara.

Tetapi, menurut saya, terlepas dari siapapun figur yang akhirnya terpilih oleh rakyat, kita harus mengucap terima kasih pada Jokowi. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, kehadiran figur Jokowi dalam pentas politik mutakhir di tanah air telah mewarnai, dan bahkan mengubah, hampir seluruh konstelasi serta dinamika politik.

Bukan hanya karena ia hampir selalu diunggulkan dalam setiap survei – elektabilitas pasangan Prabowo-Hatta malah mampu meroket tajam, sehingga membuat banyak pengamat terheran-heran. Begitu juga, bukan hanya karena massifnya kampanye hitam (atau lebih tepat: kampanye fitnah) pada figur itu, yang konon punya pola sama seperti kampanye fitnah terhadap Barrack Obama saat melawan John McCain di Amerika. Konon, seorang peneliti senior malah menduga, pola strategi yang sama itu datang dari konsultan strategi kampanye yang sama.

Benar, semua itu membuat dinamika kampanye Pilpres kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya, dan membuat dunia media sosial, seperti Twitter dan Facebook, selalu riuh rendah setiap hari. Tetapi, saya kira, ada sisi lain yang lebih substantif yang membuat Pilpres 2014 sangat berbeda. Dan sebagian besar, kalau bukan semuanya, bisa dirujuk pada kehadiran figur Jokowi. Mengapa?

 

Demokrasi yang mendengar

Figur Jokowi menghadirkan wajah kekuasaan dan pemerintahan yang sama sekali berbeda dibanding sebelumnya, seperti pernah saya tulis sebelumnya. Untuk pertamakalinya sejak Bung Karno dulu, kekuasaan yang selalu berjarak jauh kini justru terasa akrab, langsung menyapa dan menyentuh masyarakat. Ia sudah melakukannya di Solo, lalu di Jakarta, lewat gaya blusukan yang menjadi trade marknya.

Dalam kampanye Pilpres, gagasan itu berulang kali digarisbawahi. Demokrasi bagi Jokowi, seperti ditandaskan sejak debat pertama Capres-Cawapres, adalah “mendengar suara rakyat dan melaksanakannya”. Tema ini diulangi lagi dalam debat terakhir, maupun saat ia membacakan “Manifesto Jokowi-JK” di hadapan puluhan ribu pendukung yang memadati stadion Gelora Bung Karno saat Konser Salam 2 Jari digelar. “Kami berdemokrasi untuk mendengar,” kata Jokowi lantang. “Kami datang untuk ikut menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah. Kami hadir untuk ikut memberi rasa damai, bukan jadi pemicu konflik.”

Prinsip sederhana itu, “berdemokrasi untuk mendengar”, rupanya bergema kuat dalam kesadaran publik dan mampu mengundang simpati. Setelah sekian lama “rakyat” hanya jadi pembicaraan lima tahunan, dan wajah kekuasaan terasa dingin dan berjarak, hanya digenggam segelintir elite, figur Jokowi menyodorkan alternatif segar. Demokrasi yang ditawarkan adalah “demokrasi partisipatoris”, di mana seluruh komponen masyarakat ikut serta menentukan masa depan.

Saya kira, ini sumbangan utama Jokowi. Lewat tampilannya yang sederhana, malah terkesan ndeso, ia telah menyentuh bagian paling dalam dan membangkitkan energi yang disebut “rakyat”. Tiba-tiba, “rakyat” yang hanya disebut dalam kampanye lima tahunan para elite politisi maupun Capres-Cawapres, menemukan dalam figur Jokowi orang yang mirip mereka, bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, dan sedang memperjuangkan nasib mereka.

Itu sebabnya kita menemukan gejala paling menarik dari Pilpres sekarang: bangkitnya kesukarelawanan (voluntarisme) yang melangkaui segala penyekat ras, etnis, agama, maupun kelas sosial. Dalam sejarah politik Indonesia belum pernah kita menemukan gairah serupa ini. Orang-orang dari berbagai latar belakang kelas sosial, etnis dan agama berbeda, bergotong-royong serentak tanpa komando mengambil bagian dalam proses politik. Bahkan mereka yang dulunya “Golput” pun, memakai ungkapan sebuah poster, “Batal Demi Jokowi”.

Ada banyak kesaksian yang membuat bulu kuduk merinding saat menyaksikan dari dekat bangkitnya energi “rakyat” itu. Goenawan Mohammad, eseis terkemuka itu, lewat laman Facebooknya menulis catatan tentang Bubun, sopirnya yang memutuskan jadi relawan, bekerja tanpa lelah dan bayaran, walau seorang diri. Atau kisah dari Sabtu kemarin, ketika puluhan ribu orang menghadiri Konser Salam 2 Jari, termasuk Masal (49 th) dan anaknya, Ahmad Dewanto (17 th), dari Karanganyar, Jawa Tengah. Sang bapak mengayuh becak selama sepekan, tidur di becak, di masjid, atau di mana saja demi menghadiri acara itu (Kompas, 6 Juli 2014).

Atau fenomena yang tak pernah terjadi sebelumnya: sumbangan sukarela masyarakat untuk kampanye Jokowi-JK hampir menembus angka Rp. 145 milyar! Padahal, selama ini, orang justru kerap berbicara tentang money politics, di mana sang elite dengan gampang membeli suara rakyat. Kini fenomenanya justru terbalik: rakyat bangkit mendanai jagoan mereka!

 

Menyelamatkan Indonesia

Semua itu membawa pesan jelas: Figur Jokowi mampu mengembalikan makna “politik” sebagai bagian dari pergulatan “rakyat” banyak, bukan hanya sekadar utak-atik elite. Dan untuk itu, kita harus berterima kasih padanya – terlepas apakah nanti ia terpilih atau tidak.

Namun gairah berpolitik ini membawa persoalan serius lain yang perlu dipikirkan. Pertama, gairah itu makin menegaskan sifat “emoh partai” dari proses demokratisasi sekarang. Kemunculan figur kharismatis seperti Jokowi jauh lebih bermakna ketimbang partai pendukung. Malah, dalam kasus Pilpres ini, sudah banyak pihak menuding kinerja buruk mesin partai, seperti ditengarai Marcus Mietzner. Padahal kita juga tahu, stabilitas tatanan demokratis akan sulit dibayangkan jika menafikan peran partai politik.

Kedua, dalam kontestasi Pilpres, mungkinkah strategi yang lebih mengandalkan kesukarelawanan ala gerakan sosial baru (new social movement) menghadang kekuatan koalisi partai-partai politik? Keberhasilan Obama melawan McCain (2008) kerap dirujuk untuk menegaskan kekuatan politik kesukarelawanan. Tetapi Obama “hanya” melawan Partai Republik. Jokowi harus menghadapi tantangan lebih besar dengan masuknya Partai Demokrat ke dalam Koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta. Sebab, dengan itu, boleh dibilang Jokowi-JK harus bekerja mati-matian melawan seluruh koalisi “politik kartel” yang selama ini ada.

Dan akhirnya, ketiga, politik kesukarelawanan kerap melahirkan fanatisme tersendiri pada tokoh kharismatis yang dipujanya. Pada saat bersamaan, efektivitas kampanye fitnah terhadap Jokowi juga menimbulkan kebencian mendalam pada sebagian kelompok masyarakat. Polarisasi dwi-kutub ini dapat menimbulkan gejolak sosial berbahaya pasca Pilpres.

Di situ sesungguhnya pertaruhan ultim kita sebagai bangsa pada Pilpres mendatang. Seandainya kita mampu keluar dari polarisasi dwi-kutub ini, dan menerima siapapun yang kelak terpilih dengan legowo, maka proses demokratisasi yang sedang berjalan akan menemukan kematangannya. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, perjalanan bangsa ini akan mundur jauh ke belakang.

 

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home