Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 19:26 WIB | Senin, 25 Januari 2016

5 Tahun Musim Semi Arab

Protes rakyat di Tunisia akibat tingginya pengangguran dan kemiskinan, dan merupakan isu yang memicu Revolusi Musim Semi Arab. (Foto: ist)

SATUHARAPAN.COM - Pada 17 Desember 2010, seorang pedagang muda Tunisia, Mohammed Bouazizi, yang putus asa akibat memburuknya ekonomi dan pengangguran menggelar protes dengan aksi membakar diri.

Protes ini telah menjadi awal dari pemberontakan rakyat yang dikenal sebagai Jasmine Revolution (Revolusi Melati) dan menyebar menjadi Arab Spring (Musim Semi Arab) ke berbagai negara di Afrika Utara dan Arab. Revolusi ini pun mempengaruhi dunia dan disorot secara luas.

Di Tunisia, revolusi akhirnya menggulingkan rezim Zine El Abidine Ben Ali. Tiupan musim ini hingga ke Libya dan revolusi mengakhiri kekuasaan Moamar Khadafi. Di Mesir revolusi rakyat yang dimotori pemuda ‘’Tamarrod’’ menumbangkan Hosni Mubarak, dan di Yaman, menggulingkan Presiden Abdullah Saleh.

Di Suriah, sejauh ini, revoluwsi rakyat gagal menggulingkan Presiden Bhasar Al-Assad, dan pertempuran mengerikan terus berlangsung di negeri itu. Munculnya kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) dengan tindakannya yang membabi buta dan sadis telah membuat situasi makin kacau dan mengerikan.

BACA JUGA:

Darah di Musim Semi

Revolusi di Suriah telah membuat paradoks bagi Musim Semi Arab: musim semi yang berasosiasi dengan harapan dan keindahan baru justru menjadi horor kemanusiaan yang paling berdarah dan mengerikan dalam beberapa dekade terakhir. Jumlah pengungsi telah melampaui angka Perang Dunia II, 60 juta jiwa, dan pelanggaran kemanusiaan sangat mengerikan.

Libya juga masih dengan nanar melihat hari depan dengan dua kelompok yang mengaku sebagai pemerintah yang sah. Di sisi lain, tumbuh kemepok-kelompok kesukuan dan politik yang memiliki milisi bersenjata dan terus bertempur di antara mereka.

Di tengah situasi NIIS atau ISIS terdesak di Irak dan Suriah, banyak pihak dan pemimpin dunia menyebut Libya akan menjadi ‘’medan’’ baru bagi ISIS dengan aksi teror yang terus meningkat di wilayah itu. Ini adalah gambaran yang makin suram di negeri itu.

Di Yaman, Abd Rabbuh Mansur Hadi menggantikan Abdullah Saleh yang tercampak oleh Arab Spring di negara Teluk ini, tetapi harus menghadapi pemberontak Syiah, Houthi. Pertempuran kedua pihak bahkan menyeret Arab Saudi yang mendukung Hadi, dan Iran yang mendukung Houthi terlibat dalam pertempuran di Yaman.

Mesir reklatif lebih baik dengan transisi politik setelah Hosni Mubarak digulingkan. Pemilihan persiden yang diselenggarakan menjadikan Mohammed Morsi dari Ikhwanul Muslimin menjadi presiden pada Juni 2002.

Namun Mesir gagal membangun demokrasi, bahkan Morsi cenderung membawa Mesir menjadi negara Muslim. Tamarrod bangkit kembali dan menggulingkan Morsi pada Juli 2013. Revolusi di Mesir yang pekan ini diperingari sekarang dikendalikan oleh Presiden Abdel Fattah El-Sisi dengan menghadapi perlawanan pendukung Ikhwanul Muslimin.

Tunisia: Model Yang Gagal?

Revolusi Melati di Tunisia tak kalah berdarah, namun proses politik berjalan lebih mulus. Konstitusi baru disusun melalui proses yang inklusif, dan menghasilkan konstitusi yang inklusif yang memberi dasar jaminan bagi hak asasi manusia, kebebasan dan demokrasi.

Pemilihan umum parlemen dan presiden telah diselenggarakan, dan Beji Caid Essebsi yang sebenarnya masih terkait rezim lama yang digulingkan akhirnya terpilih menjadi presiden, karena dia dinilai paling moderat. Pertumpahan darah bisa dicegah, meskipun sejumlah aksi teror masih terjadi.

Tak pelak bahwa revolusi yang berganti menjadi proses politik di Tunisia dipuja-puja di berbagai belahan dunia. National Dialogue Quartet Tunisia yang mendorong proses politik melalui dialog pun mendapat penghargaan Nobel Perdamaian 2015. Empat organisasi itu adalah Serikat Buruh Umum, Konferensi Industri, Perdagangan dan Kerajinan, Liga Hak Asasi Manusia dan Organisasi Pengacara Tunisia.

Namun pekan lalu menyebar berita tentang kerusahan dari aksi protes di Tunisia dengan isu yang sama dengan lima tahun lalu yang membangkitkan Jasmine Rovelution, pengangguran dan kemiskinan. Para demonstran pun meneriakkan: "Kerja, Kebebasan dan Martabat" seperti pada aksi tahun 2011.

Tunisia mampu melewati Musim Semi Arab yang berdarah dengan proses politik dan demokrasi, namun gagal membangun ekonomi yang rusak oleh otoritarian dan makin hancur oleh awal revolusi yang berdarah.

Bisa saja dikatakan Tunisia bukan gagal, tetapi memang belum menemukan jalan reformasi ekonomi, karena baru sekitar setahun negeri itu relatif tenang. Tetapi setelah lima tahun revolusi, Ridha Yahyaoui, seorang pemuda yang bunuh diri karena frustrasi setelah dia ditolak untuk bekerja. Aksinya itu yang menyulut protes di kot Kasserine dan menyebar ke kota-kota miskin lain, mengecam  Essebsi.

Setelah lima tahun, Musim semi Arab masih bersimbah darah, dan dunia masih menyaksikan dengan kengerian jalannya revolusi ini.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home