Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 12:41 WIB | Senin, 04 Mei 2015

Agenda Siapa Di Belakang Polri?

SATUHARAPAN.COM – Masalah dalam institusi penegakan hukum dan keadilan di Indonesia tampaknya memang serius. Dan hal ini sedang dipertontonkan secara vulgar dalam kasus penangkapan penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Novel Baswedan, pada akhir pekan lalu.

Novel datangkap Polisi dan dibawa ke Bengkulu untuk proses rekonstruksi kasus penganiayaan pada tahun 2004 ketika dia menjabat Kasatreskrim di Polres Bengkulu. Kasusnya tentang penganiayaan oleh anak buahnya terhadap tersangka kasus pencurian sarang burung walet.

Namun rekonstruksi tidak melibatkan Novel. Menurut pengacaranya, dia tidak pernah dimintai keterangan, padahal rekonstruksi adalah proses konfirmasi atas keterangan.  Sedianya dia juga ditahan, namun akibat sorotan publik, hal itu ditangguhkan.

Novel adalah perwira polisi yang kemudian bekerja sebagai penyidik KPK dan menangani sejumlah kasus penting, termasuk korupsi di institusi kepolisian dan politisi. Menurut pihak Polri dan Kompolnas, apa yang dilakukan polisi telah memenuhi prosedur. Novel  disebutkan mangkir dua kali pemanggilan, dan karenannya bisa dijemput paksa. Menutut Kapolri, kasus ini juga perlu segera dituntaskan, karena hampir kadaluwarsa.

Menyentuh Profesionalisme

Apa yang sedang dipertontonkan secara vulgar terhadap publik dengan kasus ini?

Kasus Novel adalah peristiwa tahun 2004, ketika dia sebagai perwira penyidik Polri di Bengkulu. Begitu lama kasus ini dibiarkan menandai bahwa ada yang tidak beres dalam tubuh Polri. Apakah kasus itu dibiarkan begitu, karena menyangkut sesama polisi? Atau terkait kasus yang pernah dan tengah disidik Novel di KPK?

Alasan penangkapan telah memenuhi prosedur, memang demikian. Namun tidak bisa menafikan kenyataan bahwa ini kasus lama, dan diangkat kembali ketika ada masalah antara Polri dan KPK, yaitu tahun 2012, dan yang terakhir ini.

Kasus di Bengkulu itu sepuluh tahun lalu. Begitu lama dibiarkan menunjukkan ada masalah dalam profesionalisme polisi. Apalagi, para tersangkanya bukan orang yang buron, dan mudah ditemukan. Tidak ada kesulitan yang signifikan bagi Polri untuk memproses. Sementara, publik juga dijejali pengalaman tentang banyak kasus kriminal serius yang lama dibiarkan, karena menyangkut pihak kuat atau dekat dengan Polri, bahkan di dalam institusi Polri.

Kasus yang sekarang ditangani Polri  terkait KPK mempunyai pola, yaitu target orang penting di KPK. Pertama komisioner dan kemudian penyidiknya. Kasus yang digunakan untuk menjerat mereka adalah kasus lama yang dibiarkan, atau ‘’dianggap’’ selesai. Hal ini terlihat nyata pada kasus yang melibatkan Novel, Bambang Wijodjanto, dan Abraham Samad.

Pertunjukan Polri ini menggiring publik pada persepsi bahwa penanganan kasus ini tidak murni untuk menegakkan hukum dan keadilan, tidak murni tindakan hukum terhadap kasus kriminal. Publ;ik tidak bisa menginghindari untuk membuat berbagai dugaan.

Agenda Siapa?

Yang lebih memprihartinkan adalah bahwa apa yang dilakukan Polri dalam kasus ini mencerminkan masalah dengan KPK ternyata belum tuntas, bahkan ada kecenderungan mengabaikan arahan pimpinan tertinggi Polri, Presiden sebagai Kepala Negara.

Kasus ini adalah drama kepiluan penegakkan hukum dan keadilan, karena ada indikasi kuat membawa pesan ada agenda lain yang dibawa Polri. Polri adalah aparat negaran yang hanya boleh membawa agenda negara, yaitu mengayomi seluruh rakyat dengan menegakkan hukum dan keadilan.

Aganya sulit dijelaskan bahwa penanganan Polri terhadap tiga orang penting di KPK itu untuk kepentingan dan agenda negara. Ini adalah bahaya yang bisa menjadi bencana serius bagi Indonesia. Setidaknya, agenda ini memberi dampak lain melemahkan KPK dan menguatkan koruptor. Akibatnya, sekarang publik bertanya agenda siapa yang dibawa Polri?

Kasus Novel adalah peringatan keras pada Kapolri dan Wakapolri baru tentang jati diri lembaga ini, dan sinyal gagalnya reformasi Polri. Dan hal ini adalah tanggung jawab Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti dan Wakapolri, Komjen Budi Gunawan. Kasus ini juga mengingatkan Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin tertinggi Polri, terutama untuyk mensejalankan agenda Polri  dengan misi pemerintahannya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home