Loading...
HAM
Penulis: Wim Goissler 07:20 WIB | Senin, 08 Mei 2017

Aktivis Menilai RI Bersilat Lidah tentang Papua di PBB

Ilustrasi. Ratusan pemuda dan pemudi Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua saat akan masuk ke dalam kendaraan truk aparat untuk diamankan usai menggelar aksi damai di sekitar kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jakarta, hari Kamis (1/12). Aktivis HAM yang tergabung dalam CLD mengatakan masyarakat Internasional menilai Pemerintah Indonesia terkesan menutupi dan menyembunyikan kondisi Papua . (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Para pengacara hak asasi manusia yang tergabung dalam Civil Liberty Defenders (CLD) menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang defensif hingga berkilah tentang kenyataan pelanggaran HAM di Papua, serta atas diamnya pemerintah terhadap desakan-desakan berbagai negara untuk memperbaiki situasi HAM kelompok LGBT, pada sesi ke-27 Universal Periodic Review (UPR) di Jenewa tanggal 3 Mei lalu.

Veronica Koman dan Uchok Shigit dari CLD dalam siaran persnya mengatakan terkait penyelesaian pelanggaran HAM di Papua, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia sudah beritikad baik dengan membentuk tim terpadu penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM. Nyatanya, tim yang dibentuk saat Luhut Pandjaitan masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan ini dikecam berbagai pihak, khususnya para pekerja HAM di Papua, sejak pendiriannya.

“Independensi tim tersebut sangat dipertanyakan mengingat aparat kepolisian dan militer menjadi anggota tim, padahal aparat keamananlah yang selama ini menjadi aktor pelanggar HAM di Papua,” demikian Veronica Koman.

Dibentuknya tim terpadu tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, karena seharusnya medium penyelesaian pelanggaran HAM dibentuk di bawah Komnas HAM. Selain itu, kinerja tim terpadu tersebut hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda ada hasilnya sama sekali.

Tidak hanya kinerja tim terpadu yang tidak ada kemajuannya. Kasus Wasior, Wamena, dan Paniai yang disebutkan oleh Menlu juga sama sekali belum ada kemajuannya. Terkait kasus Wasior dan Wamena, pada tahun 2014 Kejaksaan Agung mengembalikan berkas kepada Komnas HAM karena dianggap barang buktinya belum lengkap. Kemudian kelanjutan kasus tersebut belum pernah terdengar lagi hingga kini. Sedangkan terkait kasus Paniai, Komnas HAM telah membentuk tim ad hoc sejak 2015 namun tidak ada hasil hingga kini. Malahan dua anggota tim sudah mengundurkan diri sebagai bentuk protes akibat ketidakjelasan kerja dari Komnas HAM.

Lebih lanjut lagi, Menlu juga sempat menyatakan bahwa akses jurnalis asing ke Papua telah dibuka dan ada 39 jurnalis asing ke Papua pada tahun 2015. Praktik di lapangan menunjukkan bahwa sekalipun jurnalis asing bisa berkunjung ke Papua, namun mereka selalu diikuti oleh para aparat keamanan sehingga tidak bebas meliput. Jurnalis asing juga masih harus melalui proses clearing house ke 12 institusi negara untuk mendapatkan visa.

“Dengan kenyataan seperti ini, Menlu Retno kami anggap hanya berdalih ketika menyampaikan laporan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua kepada para negara-negara hadirin di Dewan HAM PBB,” kata Veronica Koman.

Salah satu rekomendasi UPR 2012 yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia adalah mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi ke Indonesia. Rekomendasi tersebut sampai saat ini tidak terlaksana karena Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 menolak Frank La Rue (Pelapor Khusus PBB) untuk mengunjungi Papua. Dan pada tahun 2015 menolak David Kaye dalam bidang yang sama. Hal ini mengundang banyak tanya masyarakat Internasional karena Pemerintah Indonesia terkesan menutupi dan menyembunyikan kondisi Papua.

“Untuk itu, kami mendesak agar pemerintah Indonesia mengadopsi rekomendasi dari berbagai negara untuk perbaikan HAM di Papua terkait pemenuhan kebebasan berekspresi dan berpendapat, mengundang Pelapor Khusus tentang Kebebasan Berekspresi, Pelapor Khusus tentang Kebebasan Berkumpul dan Pelapor Khusus tentang Masyarakat Adat. “

Selain isu Papua, CLD juga  menyayangkan bungkamnya pemerintah Indonesia atas berbagai pertanyaan dan rekomendasi dari 12 negara terkait situasi HAM kelompok LGBT. Pembiaran negara terhadap persekusi yang dialami oleh kelompok LGBT terus menerus membuat LGBT menjadi salah satu kelompok yang paling dipersekusi di Indonesia saat ini.

“Kami juga mendesak supaya pemerintah mengadopsi rekomendasi-rekomendasi terkait pemenuhan perlindungan kepada kelompok LGBT.”

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home