Loading...
ANALISIS
Penulis: Fidelis Regi Waton 05:33 WIB | Senin, 12 Januari 2015

Analisis: Antara Satire dan Kebebasan Berpendapat

Lautan manusia dalam aksi damai di Paris hari Minggu (11/1) untuk memprotes aksi terorisme. (Foto: al-Jazeera)

SATUHARAPAN.COM - "Je suis Charlie" (Aku Charlie) atau "Nous sommes Charlie" (Kita adalah Charlie). Demikian ungkapan solidaritas dan loyalitas mondial setelah meletusnya tragedi berdarah di Paris (07/01)15). Para teroris berpayung Islam secara brutal memberondong kantor redaksi majalah kartunis-satiris, Charlie Hebdo dan membunuh seluruh dewan redaksi. Para jurnalis yang tewas diapresiasi sebagai "martir kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat“. Banyak warga sipil, institusi, pemimpin politik dan agama sepakat mengecam kebiadaban dan kejahatan terhadap kemanusiaan dimaksud.

Nama "Charlie“ diadopsi dari nama "Charlie Brown“, figur protagonis seri komik &Peanuts“ garapan kartunis USA, Charles M. Schutz. "Hebdo“ merupakan singkatan populer dalam bahasa Perancis untuk  "hebdomadaire“ (majalah mingguan).

Sejak berdirinya (1970), Charlie Hebdo melancarkan satire dengan sasaran segala arah. Seorang fundatornya, Francois Cavanna menandaskan: "Tujuan dan hakikat eksistensial mingguan satiris ini untuk mengusik kenyamanan. Seandainya ia tidak lagi mengganggu, mencubit, mengusil, mengejutkan, mengagetkan, meneror dan mengumbar amarah, maka majalah ini layak mendarat di tong sampah terdekat.“

Sejak tahun 2006, mingguan yang bertumbuh dari majalah "Hara Kiri“ yang dibredel 1969  menjadi incaran dan intaian kelompok fundamentalis Islam, karena ia mempublikasikan kembali karikatur Nabi Muhammad dari majalah Denmark, Jyllands Posten (2005). Tanpa tedeng aling-aling, para teroris menakar aksi bringas di Paris sebagai balas dendam untuk Nabi Muhammad. Sebelumnya kantor Charlie Hebdo pernah dibakar tahun 2011 sebagai reaksi atas penerbitan karikatur yang menampilkan french-kiss dua pria;  seorang penganut setia Islam dan pembuat karikatur  Charlie Hebdo dengan komentar: "L‘amour plus fort que la haine“ (Cinta lebih kuat dari benci).

Peristiwa horor di Paris bukan saja kejahatan di bidang keamanan dan kemanusiaan. Ia juga  dipahat sebagai serangan terhadap ekspresi kebebasan pers dan berpendapat serta pilar independensi pers, nilai-nilai, prinsip dan kultur kebebasan-demokratis.

Demokrasi menjamin hak dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Dalam perkembangan sejarah hingga awal abad ke-19, di banyak negara satire yang berlebihan dikenakan hukuman (pidana-perdata) dan dilarang. Kini satire dan karikatur dikategorikan sebagai kulminasi kebebasan mengeluarkan pendapat. Objek apa saja dikritik, diserang dan dijadikan lelucon serta parodi: Tuhan, Yesus, nabi, paus, agama, politik, dan sebagainya.

Lazimnya satire tidak bergeming dari pelbagai serangan balik, dakwaan dan vonis yuristis, denda, ancaman bom, sensor, pembredelan, pembakaran dan teror besenjata serta fatwa. Stephane "Charb" Charbonnier, pemimpin redaksi Charlie Hebdo, termasuk korban peristiwa naas di Paris, mengatakan kepada koran Le Monde (2011) sehubungan dengan ancaman terhadap hidupnya: "Aku lebih suka mati berdiri daripada hidup berlutut“. Semboyan penulis Inggris, Edward Bulwer-Lytton melegitimasi dan menjustifikasi elan pantang mundur majalah dan para aktivis karikatur-satiris (juga dunia media massa seluruhnya): “The Pen is mightier than the Sword” (Pena lebih tajam dari pedang).

Sebagai konkretisasi suverenitas kebebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, beberapa media massa Perancis (harian Le Monde, radio nasional dan televisi) beritikad bulat untuk turun tangan memberikan bantuan personil dan materi dengan pekik "Pour que Charlie Vive“ (agar Charlie hidup).  Kolumnis Charlie Hebdo, Patrick Pelloux mengumumkan terbitnya edisi berikut. 

Istilah "satire“ secara etimologis dari kata bahasa Latin "satura“ (penuh, berbuah), yang dihubungkan dengan "lanx“ (mangkuk) – "satura lanx“ (mangkuk yang penuh dengan aneka jenis buah). Satire dalam konteks ini merupakan sajak ejekan, puisi ledekan dan humor-kritis yang diramu dan dirancang dari aneka elemen dan mengajak orang untuk merenungkannya lebih jauh.

Mulanya zona sastra Romawi menggunakan dua wacana dengan maksud yang sama yakni "satire“ dan "sermones“ (khotbah). Dalam perkembangan selanjutnya hanya dipakai istilah “satire”. Termin “satire” dikaitkan dengan bait-bait ejekan atau sindiran dari penyair Romawi, Gaius Lucilius (ca. 180-102 SM). Lucilius adalah penyair elite yang mandiri secara finansial sehingga ia berani merilis syair-syair yang mencemoohkan dan menyindir peristiwa politik dan tokoh-tokoh umum. Satire menandai emansipasi dunia sajak Romawi dari dominasi Yunani. Dengan bangga Fabius Quintilianus, pakar retorik Romawi mengatakan: “Satura quidem tota nostra est” (Satire itu sepenuhnya milik kita).

Satire tergolong dalam gaya bahasa yang bertujuan mengejek atau menyindir keadaan atau seseorang. Ia berjalan pada jalur humoris, kritis, provokatif, ironis, anarkis, parodis, agitatif, sarkastis dan polemis serta didaktis. Tak jarang tampilannya bersifat hiperbolis dan kontras bahkan ke arah patos, karena dilewati batas-batas moral dan selera umum. Satire modern sejak  Renaissance tampil bagaikan senjata dan pisau yang tajam. Dalam jargon Putu Wijaya, satire diumpamakan "menggorok leher (leher sendiri dan leher orang lain)”, menggorok segala situasi dan persoalan. Tak mengherankan bila publikasi satire dan karikatus-satiris acapkali dipandang sebagai suatu keberanian.

Satire sungguh memuaskan dan tujuannya tercapai, jika ada reaksi tersinggung, protes dan amarah. Tampilan satiris banyak kali melukai perasaan khususnya sentimen moral dan agama. Riak emosional ini tidak boleh menghalangi satire yang membedah fakta kehidupan dan figur publik. Jika dipahami dan direnungkan secara rasional dan perasaan yang tenang, maka satire bukan saja mengajarkan kita untuk  mengerti, menerima lelucon dan melatih kesabaran serta memformat kematangan emosinal, melainkan juga menjadi media pencerahan yang harus disyukuri. 

"Was darf die Satire“ - "Apa yang boleh disindir?“ – tanya penulis Jerman, Kurt Tucholsky tahun 1919. Jawabnya: "Semuanya!“ Namun, di sini tidak disinggung soal keharusan.

Penulis adalah alumnus Filsafat Politik Universitas Humboldt, Berlin, Jerman


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home