Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 16:01 WIB | Rabu, 25 Juni 2014

Analisis: Ateisme, Tantangan bagi Agama-agama

Ilustrasi. (Sumber: huffingtonpost.com)

SATUHARAPAN.COM – Bagaimana melawan paham ateisme? Dengan pendidikan, pengetahuan, dan pemahaman keagamaan yang luas dan kuat terhadap umat beragama. Juga, teladan.

Pada Maret 2014, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan peraturan yang melarang warganya membicarakan ateisme.  Ini karena belakangan ini ada trend atau kecenderungan orang-orang Arab Islam menerima ateisme lalu mengaku diri sebagai ateis walau tidak secara resmi. Beberapa stasiun televisi sudah membicarakan ateisme dalam acara-acara talk show-nya.  Pemerintah Arab Saudi menganggap ateisme berbahaya dan bahkan disebut sebagai teroris. Belum lama ini, seorang remaja di Irak dipukuli karena mengaku sebagai penganut ateis. Demikian juga di Palestina, banyak orang yang juga menjadi ateis, mengikuti banyaknya orang Israel yang sudah ateis.

Ateisme adalah paham yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak ada, atau kepercayaan yang tidak mengakui bahwa Tuhan ada. Jadi seorang ateis tidak mempercayai ada sosok atau oknum berpribadi yang disebut Tuhan atau Allah atau Being atau Ultimate Reality yang menjadi sumber atau pencipta alam dan semua isinya. Ada yang memahami bahwa ateisme, di samping sebagai falsafah, juga adalah agama, tetapi agama yang mengajarkan tidak-adanya Tuhan. Jadi ateisme bertentangan dengan agama,  umumnya yang mengajarkan adanya Tuhan.  

Trend peningkatan ateis di Timur Tengah tentu tidak saja menjadi tantangan Islam melainkan juga agama-agama lain yang memiliki ajaran paling utama, yaitu adanya Tuhan.  Ini karena peredaran ateisme saat ini tidak hanya di Timur Tengah tetapi di dunia. Jadi ateisme adalah isu global. Diskusi atau debat-debat  agama di jejaring sosial memperlihatkan makin banyak, khususnya kalangan muda dan berpendidikan, yang mempertanyakan agama atau Tuhan dan yang mengusung ide serta membela ateisme.    

Sebenarnya tantangan ateisme terhadap agama sudah dimulai dengan mencolok sejak zaman renaissance,  zaman kebangkitan pengakuan kemampuan manusia atau humanisme, yang mulai berpengaruh di Eropa  tahun 1500-1600-an. Kemudian menyusul merajalelanya rasionalisme dengan seorang pelopornya, Rene Descartes atau Cartesius, tahun 1600-an. Ia mengatakan “cogito ergo sum”, “aku berpikir maka aku ada”.  Pengutamaan akal berimbas pada konsep tentang Tuhan. Orang  memahami bahwa Tuhan ada karena dipikirkan manusia. Jadi Tuhan, Allah atau Sang Ilahi bukan ada pada dirinya sendiri; bukan seperti YHWH-Yahweh (Aku Ada Yang Aku Ada) dalam kepercayaan Yahudi dan Kristen yang ada karena memang Ia ada.

Rasionalisme bangkit dengan mempertanyakan berbagai hal tentang alam dan manusia, termasuk agama yang dianggap tidak rasional. Irasionalitas agama dikaitkan dengan buruknya kehidupan otoritas agama abad pertengahan, tahun 800-1500-an. Di abad ini, katolikisme begitu berkuasa dan menyatu dengan kekuasaan negara yang, sebagaimana menjadi karakter perkawinan antara agama-negara, memperlihatkan keburukan moral-etis para tokoh agama dan penguasa.

Karena agama tidak mampu menjawab pertanyaan rasio ditambah dengan buruknya perilaku lembaga keagamaan dan negara, maka banyak orang mulai meragukan dan akhirnya meninggalkan agama, dan menjadi ateis. Ini juga yang menjadi alasan utama meningkatnya ateisme di Arab Saudi saat ini. (satuharapan.com).

Pada zaman kebangkitan atau renaissance dan selanjutnya pencerahan atau aufklerung di Eropa, rasio menjadi alat utama untuk mengukur kebenaran segala sesuatu, tentang alam semesta, manusia dan Tuhan.  Rasionalisme, sebagai induk liberalisme dan juga ateisme yang berada di bawah payung  sekularisme menghasilkan kemajuan manusia yang spektakuler. Ini ditandai oleh kemajuan IPTEK dengan revolusi industri di tahun 1800-an dengan hasil yang memberikan kemudahan dan kemakmuran.

Efek utama dari rasionalisme-liberal adalah penggembosan terhadap status dan peran agama. Orang berlangsung-angsur mulai meninggalkan agama, termasuk menjadi ateis. Inilah yang membuat gereja-gereja tidak lagi dipenuhi umat yang beribadah, sementara di pihak lain, penganut ateisme bertambah banyak di negara-negara Barat di abad ke-20. Penganut ateisme berkembang sangat pesat di Eropa, apalagi kemudian di Eropa Timur, ketika banyak negara berideologi komunis mendukung ateisme. Penganut ateisme juga banyak terdapat di Tiongkok karena ideologi komunisme yang mendukungnya.

Berbagai usaha kalangan agama dalam berteologi yang dilakukan untuk menanggapi tantangan ini adalah dengan mengubah paradigma. Muncullah misalnya desakralisasi atau demitologisasi sebagai bagian dari studi ilmiah agama. Tetapi ini tidak mampu membendung derasnya arus rasionalisasi dan sekularisasi yang membawa aspirasi ateisme. Bahkan studi-studi ilmiah agama justru berperan dalam melemahkan status dan peran agama karena model dan metodologinya adalah bagian dari pola rasionalisme. 

Trend global ateisme saat ini tentu menjadi tantangan bagi agama-agama. Hal ini karena yang mengalami akibat buruknya adalah agama. Orang-orang yang menjadi ateis kebanyakan sebelumnya adalah penganut agama, apakah Hindu, Buddha, Kristen, Islam atau agama suku-lokal.  Tantangan dari ateisme terhadap agama identik dengan tantangan dari rasionalisme atau sekularisme secara umum. Jadi sebenarnya, tantangan ateisme terhadap agama adalah tantangan rasionalisme. Rasionalisme dan tantangannya tidak hanya ada dan datang dari luar agama (seperti kalangan rasionalis-humanis-ateis), tetapi juga muncul dari dalam agama itu sendiri.

Rasio adalah unsur utama pada manusia. Menjadi rasionalis yang mempertanyakan agama tentu sangat besar. Dalam agama apa pun, pertanyaan terhadap ajaran-ajaran yang tidak jelas, diragukan atau yang tidak rasional dapat muncul.  Mereka juga dapat kritis melihat dan menilai antara ajaran agama yang ideal dan pemberlakuannya secara realistis. Realitas buruk pemberlakuan ajaran agama oleh umat, terutama tokoh agama, sering menjadi dasar penilaian buruk terhadap agama, lalu agama ditinggalkan.

Bagaimana cara agama dalam menghadapi tantangan ateisme ini?  Tentu, cara yang membatasi rasionalisme, liberalisme atau ateisme, seperti dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi atau oleh lembaga-lembaga keagamaan dan negara tertentu, sudah tidak efektif lagi di dunia yang tanpa batas ini, apalagi di jejaring sosial dunia maya. Sekuat apa pun bendungan hukum agama atau negara, tidak mampu menghambat arus rasionalisme. Pikiran tidak dapat dibatasi, “Ideas have wings”. Karena itu, jalan yang sangat efektif dan adil untuk menghadapi tantangan dari rasionalisme-ateisme adalah memperkuat agama itu sendiri, yaitu dengan memberikan pendidikan, pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang luas dan kuat terhadap umat beragama. Juga, umat agama memberikan teladan yang memuaskan di dalam hidup. Jika tidak, agama akan ditinggalkan umat.

Stanley R. Rambitan-Teolog/Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home