Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 13:37 WIB | Kamis, 03 September 2015

Anwar Nasution: Pemerintah Lalai Antisipasi 4 Gejolak Ekonomi Eksternal

Anwar Nasution:  Pemerintah Lalai Antisipasi 4 Gejolak Ekonomi Eksternal
Anwar Nasution (duduk di sisi kanan) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Badan Anggaran DPR RI, di Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Jakarta, hari Kamis (3/9). (Foto: Melki Pangaribuan)
Anwar Nasution:  Pemerintah Lalai Antisipasi 4 Gejolak Ekonomi Eksternal
Anwar Nasution (kiri).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kesulitan ekonomi Indonesia yang terjadi dewasa ini menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar Nasution, merupakan akibat dari kurang baiknya kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengantisipasi dan menghadapi empat gejolak eksternal yang terjadi secara beruntun.

“Kesulitan ekonomi Indonesia yang terjadi dewasa ini adalah akibat dari kurang baiknya kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengantisipasi dan menghadapi tiga atau empat gejolak eksternal yang terjadi secara beruntun,” kata Anwar Nasution dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Badan Anggaran DPR RI, di Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Jakarta, hari Kamis (3/9).

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah gejolak eksternal itu kecuali sekadar menerima nasib, berupaya sambil berdoa,” kata dia menambahkan.

Kemudian Anwar Nasution menyebutkan, gejolak eksternal pertama adalah berupa penurunan permintaan maupun tingkat harga komoditas primer di pasar dunia yang terjadi sejak akhir tahun 2011 semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Gejolak eksternal kedua adalah berkaitan dengan berakhirnya kebijakan pemompaan likuiditas (quantitative easing) oleh Bank Sentralnya. “Kemungkinan peningkatan tingkat suku bunga di negara adidaya sudah mulai menyebabkan aliran dana dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali ke negara itu,” katanya.

Gejolak ketiga, lanjut Anwar, adalah berkaitan dengan musim kering El Nino yang melanda daerah produksi hasil pertanian di Indonesia. “Karena kegagalan panen, Indonesia terpaksa mengimpor beras untuk tahun ini dan tahun depan,” katanya.

Selanjutnya, gejolak keempat, kata Anwar, adalah devaluasi Renminbi (RMB) sebesar 1,9 persen baru-baru ini untuk mengoreksi penguatan yang terlalu tinggi atas mata uang itu yang dianggap oleh pasar sebagai pertanda akan dimulainya perang mata uang (currency war) baru. “Padahal, Bank Sentral Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sudah berjanji pada dunia dan IMF untuk menggunakan sistem kurs mengambang dan melepaskan penentuan nilai RMB pada mekanisme pasar,” katanya.

“Artinya, Bank Sentral RRT tidak lagi menjalankan sistem kurs devisa tetap, tidak lagi melalukan intervensi pasar dan tidak lagi menggunakan kurs mata uang sebagai instrument untuk mendorong ekspor,” kata Pakar Ekonomi itu menambahkan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home