Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 11:16 WIB | Rabu, 21 Agustus 2019

Australia: Rekor Baru Jumlah Pelajar Internasional, Indonesia Naik 6 Persen

Ilustrasi. Belajar di Australia. (Ilustrasi: visasforaustralia.co.uk)

AUSTRALIA, SATUHARAPAN.COM – Jumlah visa pelajar yang dikeluarkan Pemerintah Australia kepada pelajar Indonesia untuk periode 2018 - 2019 berjumlah 4.435, atau naik lebih dari enam persen dibandingkan periode sebelumnya.

Data dari Departemen Dalam Negeri Australia, seperti dilaporkan Erwin Renaldi dari ABC News Indonesia, juga menunjukkan pelajar internasional terbanyak berasal dari China, dengan jumlah 21,4 persen dari keseluruhan pelajar internasional. Padahal, jumlah pelajar asal China yang mendapatkan visa sekolah ke Australia di tahun ini menurun tiga persen, mencapai kurang dari 40.000 orang.

Sementara itu, jumlah pelajar India ke Australia telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, dengan lebih dari 29.000 pelajar India yang mendapatkan visa di periode 2018 - 2019.

Menurut Biro Statistik Australia (ABS), jumlah pelajar internasional yang datang ke Australia telah mencatat rekor baru pada Juni 2019, dengan jumlah mencapai 612.000 orang.

Angka terbaru menunjukkan pendapatan Australia di sektor pendidikan dari pelajar internasional telah mencapai AU$ 32,4 miliar, atau lebih dari Rp313 triliun dan lebih dari 60 persen berasal dari perguruan tinggi dan setingkatnya.

Secara umum pendidikan adalah ekspor ketiga terbesar di Australia, tapi banyak pula kritikan terhadap sektor ini.

Menurunkan Standar Nilai Minimum Bahasa Inggris

Laporan ABC dalam program 'Four Corners' bulan Mei lalu menemukan bagaimana sejumlah universitas terpaksa harus menurunkan standar, termasuk nilai minimum bahasa Inggris, atau bahkan membuatnya fleksibel demi mendapatkan pelajar asing lebih banyak.

Visa pelajar Australia mengalami perombakan besar pada tahun 2016, dengan menyederhanakan proses aplikasi visa dan memberikan kewenangan universitas untuk menilai kemampuan bahasa Inggris calon mahasiswanya sebelum memberikan visa.

Pada satu sisi pihak universitas mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan standar penerimaan, tapi pada sisi lain mereka juga bekerja di bawah tekanan pemasaran dan komersial.

'Four Corners' mendapatkan dokumen yang menunjukkan bagaimana pekerja di bagian penerimaan siswa baru di Murdoch University, Australia Barat, diminta agar menerapkan aturan yang lebih fleksibel soal standar masuk.

“Saya akan ketemu lebih banyak siswa dan telah disarankan agar kami mempertimbangan 2 band [IELTS] di 5,5 asalkan bukan untuk bagian menulis,” surel (email) tersebut menyebutkan.

“Kami perlu membuat ini lebih kompetitif karena ini yang dilakukan oleh universitas lain, meski tidak mereka publikasikan.”

Dokumen yang dilihat oleh ‘Four Corners’ juga menunjukkan beberapa universitas di Australia tidak mengikuti standar masuk bahasa Inggris, seperti yang dicantumkan di situs mereka sendiri.

Sejumlah surat elektronik internal menunjukkan beberapa contoh ketika Murdoch University menurunkan nilai bahasa Inggris, karena para calon mahasiswa juga ditawari tempat di universitas lain.

Survei Nasional Keberadaan Mahasiswa Internasional

Meski mendapat banyak pemasukan bagi negara, tidak semua warga Australia menerima keberadaan mahasiswa internasional.

University of New South Wales di Sydney, misalnya, pernah membuat survei nasional dan hasilnya lebih dari 54 persen mengatakan “ya” pemerintah harusnya membatasi jumlah pelajar yang datang ke Australia.

Kebanyakan yang setuju adalah mereka yang berusia 18 hingga 34 tahun dan menganggap alasan pelajar asing ke Australia adalah agar mereka bisa mendapat pekerjaan dan menetap di Australia.

Blogger yang juga dosen ekonomi di University of Queensland, Dr Cameron Murray, pernah mengatakan di akun Twitter-nya jika setengah dari mahasiswa di kelas tutorialnya mengaku “butuh poin lebih banyak untuk visa residensi”, saat ditanya alasan mereka kuliah.

Tapi di kalangan mahasiswa asal Indonesia, tentu tidak semua ingin bekerja dan menetap di Australia setelah mereka lulus.

Seperti diakui oleh Adisa Manalu yang telah menyelesaikan gelar sarjana di bidang komunikasi dan media dari Monash University.

Ia memutuskan meninggalkan Australia, setelah melihat perkembangan industri kreatif di Indonesia.

“Setelah melihat prospek di Indonesia dengan segala macam startups yang bertumbuh, jadi mau pulang dan kerja di sana,” katanya kepada ABC Indonesia. (abc.net.au)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home