Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 11:57 WIB | Sabtu, 18 Januari 2014

Banjir: Bertempur atau Berdamai dengan Air?

Warga pinggiran Sungai Ciliwung bertahan di atap rumahnya yang telah rendam. Entah sampai kapan hal ini terus terjadi. (Foto: satuharapan.com /Dedy Istanto)

SATUHARAPAN.COM – Sepekan ini, Jakarta dan beberapa kota dan daerah di Indonesia menghadapi masalah banjir. Semacam “pertempuran” tahunan yang terjadi setiap kali musim hujan datang. Air yang banyak  bagaikan pasukan besar bergerak (mengalir) mencari daerah yang lebih rendah untuk diserang. Cekungan-cekungan pun langsung dikuasai dengan menggenanginya.

Serangan makin besar, karena air tak bisa dipaksa masuk tanah akibat permukaan tanah penuh beton dan bangunan. Dalam kasus di Jakarta dan sekitarnya, serangan banjir adalah kawasan situ yang konon dulu jumlahnya ratusan, atau daerah rawa.  Jakarta dan sekitarnya menandai itu dengan banyaknya daerah yang namanya menggunakan kata “rawa” seperti Rawa Belong, Rawa Bunga, untuk sekadar menyebut.

Di luar itu ada juga cekungan yang diberi nama dengan kata “lebak” yang berarti lembah, seperti Lebak Bulus dan Lebak Wangi. Kawasan lain yang merupakan penampungan air dinamai dengan kata “situ” atau “setu.

Kooptasi manusia atas kawasan-kawasan yang secara alami itu “milik” air terjadi bertahun-tahun, dalam beberapa dekade, bahkan mungkin untuk Jakarta dalam hitungan waktu abad. Dan setiap musim hujan, air itu datang seperti hendak merebut kembali wilayah “milik” mereka. Konflik terjadi, pertempuran tahunan terjadi.

Berdamai dengan Air

Kenyataan bahwa Jakarta, juga kawasan-kawasan lain yang mengalami banjir tahunan, menyadarkan bahwa “konflik” manusia dengan air ini sudah tak terhindarkan. Bahkan tak akan berujung selama “para pihak” bertahan dengan posisi untuk menguasai kawasan. Air akan selalu datang ke tempat yang rendah, musim hujan akan selalu berarti debit air meningkat secara drastis.

Permukaan tanah yang tertutup beton dan bangunan menurunkan kemampuannya menyerap air, sehingga saluran air dan sungai dipaksa menampung sebagian besar air yang tengah berlimpah. Namun sungai dan saluran terus mendangkal dan menyempit. Ketidak-mampuan sungai dan saluran membuat air meluber ke mana-mana, termasuk ke ruang kelas sekolah, rumah ibadah dan rumah warga.

Beriring menurunnya curah hujan, serangan air juga turun, dan pada musim kemarau warga mulai ribut dengan kelangkaan air. Tapi pada kesempatan itu, “serangan” warga ke kawasan air makin masif.

Ini adalah “konflik” yang laten antara manusia dan air, dan perlu perdamaian atau islah atau rekonsiliasi yang ujungnya adalah saling hormat pada kedua “pihak” dan sikap pro dan ko-eksistensi pada keduanya. Meniadakan manusia di satu kawasan yang terus dilanda banjir bukanlah solusi, dan meniadakan air di kawasan ini juga mustahil.

Warga, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, tampaknya harus berbagi ruang eksistensi dengan air. Penataan ini tengah dirintis oleh Pemerintah Jakarta dengan membangun rumah susun untuk warga yang keluar dari kawasan untuk air. Ini berarti air diberi ruang “hidup“ yang cukup dan warga tetap bisa memiliki “habitat” yang layak. Hal ini yang memang membutuhkan waktu dan konsistensi, perencanaan dan perhitungan yang adil, karena  itu tampaknya tak cukup diselesaikan dalam satu musim.

Pertempuran Total, Perdamaian Total

Selama ini, banjir di satu daerah bukan saja membuat penderitaan pada warga yang rumahnya tenggelam, namun juga kerugian besar bagi semua. Warga masyarakat yang tampaknya tetap nyaman tinggal di kawasan yang “kering” juga terkena dampaknya.

Kemacetan, hilangnya jam kerja dan produktivitas, terhambatnya bisnis, sakit, bahkan kematian, adalah kerugian sosial yang dialami oleh pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Belum lagi kerusakan material lainnya. Keuntungan yang diraup para tukang gerobag, misalnya, yang menjajakan jasa untuk mengangkut orang dan barang, tak sebanding dengan kerugian yang besar secara sosial, tangible dan intangible.

Jadi konflik air dan manusia adalah pertempuran total di medan banjir, melibatkan semua pihak. Hal ini juga berarti bahwa perdamaian antara manusia dan bajir harus dilakukan dalam perdamaian total meliputi semua pihak, dan banyak aspek.

Air tampaknya cukup “kompak” dalam posisinya di konflik ini. Sayangnya, manusia justru yang tidak  kompak. Di pemerintahan muncul saling tuding, ajakan kerja sama justru menjadi percakapan saling caci. Yang satu teriak-teriak tentang menggunungnya sampah, yang lain enak saja melempar sampah dari mobil yang tetap melaju. Bahkan ibu negara lebih suka terlibat adu komentar di media sosial dengan warga.

Untuk dana mengatasi banjir, pusat melemparkan tanggung jawab ke daerah. Pemerintah daerah merasa kewenangannya tidak menjangkau. Dana untuk kepentingan pejabat berlimpah, untuk mengatasi banjir “pelit” tidak kepalang. Dana yang hilang oleh korupsi bahkan jauh lebih besar dari yang dibutuhkan untuk mengatasi banjir.

Sejauh ini, pihak manusia tidak kompak dan sejalan dalam menghadapi banjir. Maka akan selalu kalah di “pertempuran” tahunan, dan juga tidak akan bisa berdamai untuk mengakhiri pertempuran. Terus bertempur dengan bajir atau berdamai dengan air, tergantung  apakah kita bisa bersatu sebagai satu “pasukan” (bangsa atau komunitas).

Sayangnya, kita belum kompak, sementara pihak air, belakangan mendapat “bala bantuan” perubahan iklim yang membuat serangannya makin dahsyat.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home