Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 13:48 WIB | Minggu, 16 Februari 2014

Belajar dari Sinabung Hingga Kelud

Sebuah rumah di Ngatang, Malang yang roboh terkena erupsi debu Gunung Kelud. (Foto: @diblitar)

SATUHARAPAN.COM – Hari Kamis (13/2) malam Gunung Kelud di Kabupaten Kediri, Jawa Timur meletus. Hujan abu menyebar sampai Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat. Puluhan ribu orang harus mengungsi karena hujan kerikil dan batu, terutama di kawasan terdekat dengan kawah. Dan tujuh bandar udara ditutup, dengan ratusan penerbangan dibatalkan.

Letusan G. Kelud menimbulkan kekacauan yang cukup besar, dengan banyak aktivitas publik yang terhenti, perkantoran tidak bisa menjalankan pelayanan dan sekolah terpaksa diliburkan. Hal ini bahkan terjadi di daerah-daerah yang sebelumnya tidak diprediksi akan terpapar oleh akibat letusan.

Akhir pekan lalu yang sibuk oleh dampak letusan Kelud terjadi setelah perhatian secara nasional tertuju pada aktivitas letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, dan baru bulan lalu banjir dan tanah longsor melanda banyak kawasan di Indonesia.

Semua itu menandai bahwa bencana yang terkait dengan alam telah menjadi masalah yang serius bagi masyarakat di Indonesia. Sebagai negara kepulauan, perubahan cuaca dan iklim sangat mempengaruhi penduduk dan perlu diantisipasi secara bijak.

Rangkaian gunung api yang menempatkan Indonesia dalam cincin api dunia, memaksa kita harus bijak hidup di antara kemungkinan letusan gunung; apalagi puluhan gunung dalam status yang harus diamati karena kemungkinan sewaktu-waktu meletus.

Selain itu, kawasan Indonesia juga berada pada persinggungan lempeng Asia dan Australia serta lempeng Pasifik yang menempatkan Indonesia pada kawasan dengan potensi besar gempa bumi.

Letusan gunung berapi di Indonesia tercatat sebagai fenomena dunia, seperti letusan Gunung Krakatau, Gunung Tambora, bahkan Danau Toba disebutkan sebagai sisa letusan terbesar di dunia pada ribuan tahun lalu. Demikian juga gempa bumi, seperti di Aceh pada 2004 lalu dengan tsunami yang termasuk terbesar di dunia.

Antisipasi Bersama

Dalam posisi seperti itu, kita memerlukan antisipasi; dan atisipasi ini tidak bisa hanya oleh individu atau kelompok. Sebaliknya justru diperlukan antisipasi bersama, karena akan menyangkut banyak keahlian dan pihak.

Kita memerlukan pengamatan dan pencatatan perubahan-perumahan cuaca dan iklim, pergeseran kerak bumi dan aktivitas gunung api. Kita juga memerlukan pengamatan pergerakan dan migrasi manusia yang terus merangsek ke kawasan-kawasan yang makin berisiko.

Kita juga memerlukan antisipasi dengan membangun manajemen dan sistem untuk mengantisipasi ketika bencana terjadi, agar korban dan dampaknya bisa diturunkan serendah mungkin. Kasus Sinabung, misalnya, kita memerlukan upaya mengatasi bagaimana belasan ribu orang terganggu matapencahariannya, dan anak-anak sekolah terganggu belajarnya selama berbulan-bulan.

Dalam kasus letusan G. Kelud, ribuan hektare tanaman pertanian dan perkebunan rusak. Kasawan itu juga pemasok ternak yang penting, yang akibat letusan akan mengalami masalah serius. Warga yang mayoritas petani dan peternak akan menghadapi masalah, bukan saja kesehatan tetapi juga ekonomi, bahkan dalam jangka yang cukup panjang. Itu sebabnya, dampak ini pun akan  menyentuh wilayah sosial dan sumber daya manusia.

Ikatan Sosial

Oleh karena itu, bencana seperti ini selalu mengingatkan akan ikatan sosial seperti apa yang hidup pada masyarakat kita. Kita merasa bahwa respons masyarakat cukup besar dengan hadirnya para relawan dan bantuan yang dikumpulkan secara cepat untuk membantu korban. Ini adalah modal yang penting.

Dalam situasi seperti ini perbedaan-perbedaan yang ada pada warga masyarakat seperti “ditanggalkan” dan mereka membantu tanpa melihat masalah perbedaan agama, etnis, strata sosial, serta profesi dan jabatan. Dan dalam banyak pengalaman mengatasi dampak bencana, masyarakat dengan ikatan sosial yang kuat mampu menjalani pemulihan di banyak bidang dengan lebih cepat.

Berbagai bencana yang melanda negeri ini, sudah seharusnya mengingatkan kita tentang ikatan sosial sebagai bangsa. Semakin kita lemah ikatan sosial, apalagi terus “dibakar” oleh konflik-konflik sosial yang mempertajam perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan, maka kita akan makin lemah menghadapi masalah bencana, dan terutama tantangan perubahan zaman.

Dari kasus Sinabung hingga Kelud, dan seluruh pengalaman kita tentang bencana, hal itu selalu menantang kita tentang bagaimana kita mengelola ikatan sosial. Dan hal ini akan menyetuh setiap individu, tetapi juga dalam kesatuan sebagai bangsa. Kita sudah seharus menjadi bangsa pembelajar, termasuk belajar membangun ikatan sosial dari bencana yang kita alami.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home