Bertoleransi dalam Kesulitan

SATUHARAPAN.COM – Pulang dari kantor, di bus saya sering duduk persis di belakang Pak Sopir dan mendengar percakapan antara sopir dan kondektur. Kerap terdengar keluhan bahwa gaji mereka belum dibayar selama berbulan-bulan oleh perusahaan padahal mereka tidak pernah absen. Karena keluarga harus dinafkahi terpaksa mereka berutang di sana-sini. Boro-boro menabung, bisa makan setiap hari saja sudah syukur. Jelas mereka bukannya tidak mau atau tidak serius bekerja. Kesulitan keuangan mereka merupakan akibat dari kelalaian orang lain yang kurang bertanggung jawab memenuhi kesejahteraan mereka.

Saya jadi teringat tukang sayur langganan saya. Meskipun dia wong cilik namun hatinya kaya dengan kemurahan. Dia tidak keberatan jika ada ibu-ibu berutang belanja hari itu karena belum ada uang dari suami. Bahkan sore hari saya melihat dia memberi cuma-cuma sisa sayuran yang tidak laku kepada ibu-ibu yang mau menerimanya. Hati saya lega. Untung ada orang yang suka menolong seperti tukang sayur itu. Kalau tidak, betapa beratnya beban hidup orang yang keuangannya jauh dari cukup.

Mengatur keuangan memang bukan hal mudah. Sebisa mungkin kita tentu tidak ingin berutang. Kalau terpaksa berutang kita ingin segera melunasinya dan bertekad tidak berutang lagi. Namun, kemudahan berutang bisa membuat kita ketagihan untuk berutang.

Jika kita selalu tersandung mengalami kesulitan keuangan, mungkin kita perlu mengevaluasi kebijakan penggunaan uang kita? Keuangan yang cerah dan stabil tidak terjadi begitu saja. Meskipun para pemimpin mengatakan keuangan di negeri kita pada tahun mendatang akan lebih baik, dan masyarakat didorong sering berbelanja untuk meningkatkan perekonomian, seharusnya kita tidak mesti hidup konsumtif, mengingat di sekitar kita masih ada banyak penderitaan. Hidup sederhana dan bertoleransi dengan sesama adalah sikap yang tepat.

editor: ymindrasmoro

email: inspirasi@satuharapan.com