Loading...
INDONESIA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 01:46 WIB | Sabtu, 30 Januari 2016

Bincang Santai dengan KGPAA Paku Alam X

Bincang Santai dengan KGPAA Paku Alam X
Bincang Santai dengan KGPAA Paku Alam X diselingi dengan melukis langsung di Kampayo XT-Square Yogyakarta, Jum'at (29/1). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Bincang Santai dengan KGPAA Paku Alam X
Indro 'Kimpling' Suseno (berkacamata), KGPAA Paku Alam X, Cahyo Alkantana (baju hitam) bersama-sama menceritakan proses evakuasi korban Kawah Jolotundo (Gunung Sindoro) tahun 1985 pada acara Bincang Santai.
Bincang Santai dengan KGPAA Paku Alam X
KGPAA Paku Alam X menggoreskan lukisan pada sembilan kanvas untuk diselesaikan oleh sembilan perupa dari kelompok Oplosan Yogyakarta.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - KBPH Prabu Suryodilogo yang diangkat pada Jumenengan 7 Januari 2016 menjadi KGPAA Paku Alam X pertama kali menyapa langsung warga Yogyakarta di Kampayo XT-Square Yogyakarta, pada hari Jumat (29/1) malam.

Acara yang dikemas dalam bincang santai tersebut dipandu oleh Indro 'Kimpling' Suseno, Pemimpin Redaksi Kabare Magazine dibuka dengan pembicaraan ringan tentang latar belakang pendidikan Paku Alam X. Hingga jenjang sekolah menengah pertama, Paku Alam X menyelesaikannya di SMPN XI Jakarta satu angkatan dengan Lukman Hakim Saifuddin Menteri Agama serta Rachmat Gobel mantan Menteri Perdagangan.

Paku Alam X meneruskan sekolah lanjutan atasnya di SMA N 1 Yogyakarta lulus tahun 1982 dan melanjutkan ke UPN "Veteran" Yogyakarta mengambil jurusan ekonomi manajemen. Kegemaran pada petualangan alam bebas seolah tersalurkan saat menjadi mahasiswa meskipun tidak ikut dalam organisasi kepecintaalaman di kampus, dimana panjat tebing menjadi semacam spesialisasinya. Diluar itu kegemarannya pada perbengkelan menjadikannya mengoleksi lebih dari 3.000 mur-baut. Hobi membengkel banyak membantu dalam membuat peralatan panjat dinding semacam karabiner dan sejenisnya yang pada masa itu susah didapatkan serta harganya relatif mahal.

Dari hobi membengkel saat SMA dan kuliah inilah terjalin kedekatan hubungan antara Paku Alam VIII dengan Bimo (nama remaja Paku Alam X). Bimo sering diberi tanggungjawab Paku Alam VIII untuk mengurusi peralatan panah bahkan membuat alat bidik untuk standar ronde FITA. Dengan keahliannya pula, kunci-kunci bangunan serta peralatan yang ada di Pura Pakualaman hingga saat ini terawat sebagaimana aslinya.

Kawah Jolotundo 1985

Nama kawah Jolotundo tentu akrab bagi para pendaki gunung dan petualang alam bebas. Kawah yang berada di puncak Gunung Sumbing berbentuk sumur, selain mengandung gas beracun topografinya juga berbahaya. Curamnya tebing, membuat korban yang terjatuh ke dalam kawah Jolotundo di masa lalu tidak dievakuasi mengingat sulitnya medan, keterbatasan alat, serta keselamatan tim evakuasi.

Tahun 1985, anak kepala desa sebuah desa di sekitar Jolotundo terjatuh ke dalam kawah dan hilang. Dengan keterbatasan yang ada evakuasi urung dilakukan. Kabar yang ada tersiar sampai ke wilayah sekitar hingga ke Yogyakarta. Ini merupakan korban ke-29 yang tercatat.

Sembilan mahasiswa pecinta alam dari Yogyakarta yang banyak berlatih dalam susur gua serta panjat tebing mencoba memberanikan diri untuk melakukan evakuasi. Berangkat dari Yogyakarta sekitar pukul 10 malam, sesampai di lokasi langsung memetakan jalur evakuasi dengan peralatan yang dimilikinya.

"Saat itu ada perbedaan teknik yang kita coba gunakan untuk menuruni tebing kawah serta mengevakuasi korban. Cahyo dengan teknik menuruni gua (secara vertikal) yang dimilikinya dia menggunakan tali karmantel statis. Sementara saya sendiri yang biasa panjat tebing menggunakan tali dinamis. Dua-duanya kita coba. Yang kita khawatirkan adalah gas beracun serta kandungan airnya sendiri yang kita sendiri tidak tahu. Saat itu nge-check-nya cuma pakai ayam yang kita turunkan mendekati kawah. Kalau ayamnya hidup, berarti kondisi (gas) relatif aman untuk penurunan. Ini tugasnya Cahyo," jelas Paku Alam X Jum'at (29/1) malam.

Cahyo yang dimaksud Paku Alam X adalah Cahyo Alkantana yang saat ini tercatat sebagai ketua Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI), sebuah kelompok pegiat gua di Indonesia, yang pada malam itu didaulat untuk menceritakan proses evakuasi bersama kedelapan mahasiswa yang berangkat ke kawah Jolotundo. Cahyo yang selamat saat Tsunami melanda Aceh pada tahun 2004 tercatat telah menghasilkan banyak film dokumenter terutama hidupan bawah air-laut (underwater-wildlife filmmaker).

"Waktu itu saya pamit sama orangtua hanya bilang 'mau latihan di Dieng'. Kalau bilangnya mau evakuasi korban yang jatuh (di kawah Jolotundo), pasti tidak diperbolehkan. Orangtua tahunya setelah kita pulang dan mendengar kabar tentang keberhasilan mengevakuasi korban di Jolotundo." Paku Alam X memberikan penjelasan lebih lanjut.

Revitalisasi Perpustakaan Pura Pakualaman

"Harusnya ada banyak naskah kuno di perpustkaan Pura Pakualaman, namun saat ini mengapa hanya ada sekitar 260 naskah? Setelah ditelusuri ternyata naskah yang sebagian besar berkaitan tentang pendidikan memang disumbangkan ke Taman Siswa dan (museum) Sonobudoyo. Ini tentu merupakan kebijakan para pendahulu untuk turut mengembangkan pendidikan. Yang masih ada (di perpustakaan Pura Pakualaman) ini coba kita gali lagi dalam konteks saat ini," papar Paku Alam X tentang pengembangan perpustakaan Pura Pakualaman.

Saat ini sedang dalam proses muterani yakni penulisan ulang naskah secara tulisan tangan untuk kemudian didigitalkan dan dibuatkan indeks atau semacam database naskah yang dapat diakses masyarakat luas tanpa harus menyentuh naskah asli yang merupakan benda pusaka Pura Pakualaman.

Selain dalam bentuk aslinya, naskah tersebut nantinya akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sehingga bisa dibaca oleh masyarakat luas yang tidak bisa berbahasa Jawa. Untuk mendukung langkah tersebut, Pura Pakualaman merekrut pengelola yang ahli dan kompeten terhadap naskah-naskah kuno serta manajemen perpustakaan.

Pengemban Kebudayaan

Dalam sebuah pembicaraan bersama kedua adiknya, Paku Alam IX (alm) melontarkan sebuah pertanyaan kepada Bimo "Mau dibawa kemana Kadipaten Paku Alam?". Dalam pembicaraan yang egaliter dimana dalam perbincangan yang menggunakan bahasa Jawa ngoko disepakati untuk mengemban kebudayaan bersama masyarakat.

"Budaya yang meluber untuk warga-masyarakat. Mengalir seperti air yang menuju lautan. Menampung semua yang ada. Baik-buruk (adalah realitas yang ada) semua diterima." jelas Paku Alam X. "Silaturahmi itu akan membawa barokah, sehingga kita perlu memperbanyak agar terjalin komunikasi dengan yang lain."

Dengan mengambil posisi sebagai pengemban kebudayaan, Pura Pakualaman menempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral dimana masyarakatlah yang menjadi pusat dari kebudayaan itu sendiri.

Dalam mendorong perekonomian serta kesejahteraan, wilayah Yogyakarta dengan keterbatasan SDA yang dimiliki serta keterbatasan wilayah memerlukan kreativitas yang terus tumbuh dengan melibatkan peran serta masyarakat. Lebih lanjut Paku Alam X menekankan bahwa di masa datang pariwisata yang menjadi salah satu andalan Yogyakarta harus lebih berkualitas secara keseluruhan dengan memperhatikan kelangsungan lingkungan, ekonomi masyarakat, serta kreativitas-keterlibatan masyarakat luas.

Membangun kebudayaan adalah membangun dialektika di masyarakat dalam komunikasi berbagai arah. Masyarakat menjadi lebih berdaya ketika ruang-ruang komunikasi dibuka seluas-luasnya agar terbangun dialektika yang berkembang secara alami. Pada titik inilah kebudayaan akan teremban secara humanis: masyarakat yang kreatif dalam memandang eksistensi dirinya.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home