Bisbul, si Apel Beludru Berkhasiat Obat
SATUHARAPAN.COM – Pohon peneduh jalan yang ditanam di sepanjang Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur, mulai memasuki masa berbuah, Maret hingga Mei. Buahnya berwarna kuning, berbulu, dan akan berubah menjadi merahkecokelatan jika matang. Mirip apel, atau lebih mirip kesemek. Warga asli Cawang, menyebutnya bisbul atau bisbol.
Bisbul, seperti dapat dibaca di Wikipedia, adalah tumbuhan pohon yang tingginya mencapai 10-30 meter. Berbatang lurus, bercabang mendatar dan bertingkat. Tajuk keseluruhan berbentuk kerucut lebat dan rapat. Daun-daun tersusun berseling, dengan sisi atas daun berwarna hijau tua, mengkilap, seperti kulit, sementara sisi bawahnya berbulu halus, keperakan. Daunnya yang muda berwarna hijau muda sampai merah jambu.
Bisbul adalah tumbuhan berumah dua, yang hanya memiliki satu jenis kelamin dalam satu tumbuhan.
Buahnya adalah buah buni bulat atau bulat gepeng, berbulu halus seperti beludru, yang berubah warna merah terang, dan lalu agak kusam apabila masak, dengan “topi” dari kelopak bunga yang tidak rontok.
Daging buahnya berwarna keputihan. Teksturnya agak keras dan padat, agak kering, rasanya manis agak sepat dan berbau harum, ditutupi kulit buah yang tipis berbulu. Bisbul, seperti dapat dibaca di tropical.theferns.info, memiliki aroma mirip keju dan durian, yang kadang membuat mual. Biji buahnya hingga 10 butir, berkulit kecokelatan, berbentuk baji agak mirip keping buah jeruk.
Bisbul, dikutip dari Wikipedia, disebutkan berasal dari Filipina, yang kemudian menyebar ke negeri-negeri tropis lain, termasuk Indonesia. Bisbul juga dikenal dengan nama lain, seperti buah mentega atau buah lemak (bahasa Melayu) dengan merujuk pada daging buahnya ketika masak. Di Jawa, bisbul juga dikenal dengan nama sembolo.
Di Filipina, buah ini disebut kamagong, tabang, atau mabolo dalam bahasa Tagalog, merujuk pada kulit buahnya yang berbulu halus. Masyarakat Thailand menyebutnya marit.
Merujuk pada kulitnya sehalus beludru, bisbul punya nama dalam bahasa Inggris velvet apple. Apa pun namanya, secara internasional bisbul memiliki nama ilmiah Diospyros blancoi A. DC., namun sering pula disebut dengan nama Diospyros discolor Willd.
Bisbul dikonsumsi mentah, layaknya apel, atau diolah terlebih dulu. Aromanya yang kuat berasal dari kulitnya, yang dibuang sebelum buah disantap, karena kulitnya dapat menyebabkan iritasi. Bisbul biasanya diperam tiga-empat hari setelah dipanen.
Bisbul segarnya biasa dimanfaatkan sebagai campuran salad atau dirujak. Sebagian orang memilih untuk menyantapnya dalam keadaan tidak terlalu matang karena lebih terasa renyah seperti apel.
Bisbul dibudidayakan untuk diambil kayunya, dimanfaatkan sebagai tanaman peneduh, sebagai tanaman hias karena pemandangan buahnya yang menarik, atau dipanen buahnya. Batang pohon bisbul punya nilai ekonomi tinggi, biasanya dimanfaatkan untuk industri kerajinan, untuk seni pahat.
Seduhan daun mudanya, seperti dikutip dari tropical.theferns.info, biasa dimanfaatkan secara tradisional sebagai obat hipertensi, diabetes, dan penangkal sakit jantung. Daun-daun bisbul, dicampur daun jintan, yang dipanaskan dan dihaluskan, dipakai sebagian masyarakat sebagai obat batuk parah.
Kulit kayunya secara tradisional biasa diseduh untuk mengobati batuk, demam, disentri, dan diare.
Campuran kulit kayu dan daun-daunnya biasa dimanfaatkan pula untuk obat gatal dan obat pencuci mata. Secara tradisional pula seduhan kulit kayu dan daunnya dipakai untuk obat jika digigit ular.
Sari buah yang belum matang adalah astringent, biasa dimanfaatkan untuk membersihkan luka.
Bukan hanya kulit batang kayu, daun, dan buahnya, minyak dari bijinya pun sudah lama dimanfaatkan orang, untuk obat diare dan disentri.
Di Filipina, bisbul merupakan bahan kerajinan yang berharga dan dilindungi undang-undang.
Editor : Sotyati
BKSDA Titipkan 80 Buaya di Penangkaran Cianjur
CIANJUR, SATUHARAPAN.COM - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah I Bogor, mengakui 80 ek...