Loading...
RELIGI
Penulis: Francisca Christy Rosana 09:20 WIB | Kamis, 19 Maret 2015

Catur Dharma, Pembersihan Diri saat Nyepi

Warga Banjar Bukian Kaja, Payangan, Gianyar, Bali tengah melaksanakan Odalan. (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka rasa-rasanya adalah waktu tepat yang digunakan masyarakat Hindu untuk melakukan pembersihan diri.

I Gusti Ngurah Raka Suartana, warga Gianyar, Bali mengungkapkan makna Nyepi sesungguhnya berkenaan dengan kesempatan  manusia untuk merenungi diri. Pikiran, perkataan, perbuatan pun mulai disucikan kembali.

“Di hari raya Nyepi itu kami melakukan pengendalian diri, membersihkan pikiran sehingga memasuki tahun baru Saka 1937 itu masuk ke lembaran yang baru, lembaran yang putih,” ujar Raka saat dihubungi satuharapan.com pada Rabu (18/3) malam.

Sebagai bentuk pembersihan diri, Nyepi diawali dengan tradisi Melasti. Melasti memiliki makna penyucian. Saat Melasti, umat Hindu mendatangi sumber mata air maupun laut. Melasti biasanya dilakukan tujuh hari hingga tiga hari sebelum Nyepi.

Setelah Melasti, umat Hindu mulai melakukan ritual mengarak ogoh-ogoh atau patung-patung buatan yang merepresentasikan setan atau roh-roh jahat.

“Setelah bersih, besok tanggal 20 ini ada tilem atau bulan mati yang namanya Pengerupukan. Itu di sana diarak ogoh-ogoh dengan gamelan yang heboh-heboh itu. Itu maksudnya setan-setan jahat itu dikembalikan agar sifat-sifat setan menjadi sifat-sifat dewa, sifat-sifat suci dan sifat-sifat yang baik. Ogoh-ogoh raksasa kan merepresentasi sifat jahat. Kita arak keliling kemudian setelah itu kita somyo. Kita bunuh sifat-sifat jahat itu agar muncul sifat-sifat baru,” Raka menjelaskan.

Setelah mengarak ogoh-ogoh, umat Hindu mulai memasuki hari raya Nyepi. Nyepi ditandai dengan melaksanakan catur dharma penyepian.

“Intinya pada tanggal 21 Maret besok dilaksanakan catur dharma penyepian,” Raka menambahkan.

Catur dharma meliputi empat hal yang harus dilakukan umat Hindu selama Nyepi.

Pertama amati geni, yakni tidak boleh menyalakan api. Amati karya, yakni tidak boleh melakukan aktivitas atau pekerjaan. Amati lelungan, yakni tidak boleh bepergian. Amati lelangunan, yakni  berpantang menghibur diri.

“Kita intropeksi diri pada saat itu seharian penuh, puasa, penyepian itu kita merenungkan setelah kemarin kita melakukan somyo, membersihkan diri, kita renungkan di sana. Inginnya mengendalikan diri, kita tidak tergoda lagi dengan hiburan. Api sumber amarah kita padamkan,” ujar pegawai negeri sipil (PNS) yang sehari-harinya bekerja di Dinas Pertanian ini.

Pada saat Nyepi itulah umat Hindu biasanya menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan sehari-hari seperti menonton televisi, mendengarkan musik, bepergian, dan memantaskan diri dengan hiburan duniawi lainnya.

Di Bali, saat Nyepi seluruh stasiun televisi dan radio pun dinonaktifkan dan seluruh aliran listrik dipadamkan, kecuali pelayanan kesehatan darurat seperti di rumah sakit. Seluruh pecalang atau polisi adat dikerahkan berkeliling kampung untuk memastikan masyarakat menaati catur dharma, tak terkecuali umat agama lain.

“Kalau menyalakan handphone tidak sampai dilarang karena tidak menimbulkan kegaduhan. Tapi kan kita niatnya di rumah adalah mengendalikan diri sekalipun itu di kamar dengar musik kecil-kecil kan tidak ada yang dengar, tapi karena niatnya amati lelangunan atau berpantang menghibur diri ya kita bisa mengendalikan diri. Jadi hawa nafsu ditahan dan dikendalikan. Keinginan yang enak-enak harus bisa dikendalikan,” ujar Raka.

Selain itu, fasilitas transportasi seluruhnya ditutup total kecuali untuk ambulan saat darurat.

“Kalau ada warga yang sakit, warga apapun atau agama apapun, kalau darurat harus dibawa ke rumah sakit mendapat pelayanan medis itu wajib. Mobil pribadi boleh kalau keadaan darurat atas izin diantar pecalang,” Raka menegaskan.

Kembali ke Keluarga

Selain untuk upaya pembersihan diri, Nyepi sesungguhnya juga merupakan waktu yang tepat untuk kembali berkumpul bersama keluarga. Saat Nyepi, umat Hindu biasanya lebih intens berbincang-bincang kecil bersama keluarga.

“Di keluarga, satu hari itu kita gunakan untuk berkumpul sama-sama. Ada silaturahmi, langsung pada saat itu. Semua anggota keluarga tidak boleh ke mana-mana. Biasanya kami isi dengan obrolan ringan, ada interaksi sosial di rumah. Ke tetangga pun tidak boleh. Kesempatan itu kita gunakan untuk bercengkrama dengan keluarga, kita juga baca-baca kitab suci,” ujar Raka menjabarkan kebiasaannya saat Nyepi.

“Biasanya paling sembahyang, ngobrol-ngobrol, baca-baca. Intinya lebih banyak istirahat,” Raka menambahkan. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home