Loading...
INDONESIA
Penulis: Dany Brakha 11:02 WIB | Senin, 29 April 2013

Dies Natalis Ke-51 GAMKI: Menguatnya Intoleransi Beragama

Dies Natalis Ke-51 GAMKI: Menguatnya Intoleransi Beragama
Suasana sebelum dimulainya seminar. (Foto-foto: Dany Brakha)
Dies Natalis Ke-51 GAMKI: Menguatnya Intoleransi Beragama
Dari kiri ke kanan : Dra. Eva Kusuma Sundari, Esther Telaumbanua, seorang pengurus GAMKI, Letjend. TNI Purnawirawan Hotmangaradja Pandjaitan, Hj. Melanie Leimena Suharli, Michael Wattimena.
Dies Natalis Ke-51 GAMKI: Menguatnya Intoleransi Beragama
Pemberian kenang-kenangan setelah seminar usai.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gerakan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) yang berusia 51 tahun mengangkat isu tentang meningkatnya intoleransi Indonesia melalui sebuah seminar nasional di Gedung Joang 45, Sabtu, (27/04) lalu. Isu ini diangkat untuk menyoroti bagaimana Indonesia menjamin kekebasan beragama masyarakatnya.

Sebagai pemapar materi pertama, Wakil Ketua MPR RI yaitu Hj. Melanie Leimena Suharli mengupas mengenai gerakan empat pilar. Gerakan empat pilar yang dimaksud adalah penyangga Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam kesempatan ini, Melanie mengaku sedih karena pernah menemukan ada seorang yang tidak bisa menyenyikan lagu Indonesia Raya. Hal semacam inilah yang membuat penyandang nama besar Leimena melihat peluang meningkatnya intoleransi karena melemahnya perkenalan masyarakat dengan gerakan empat pilar.

Disambung oleh pembicara kedua, anggota Komisi III DPR RI 2012-2013 Dra. Eva Kusuma Sundari. Dia mengatakan bahwa “Toleransi beragama di negara ini terancam karena lemahnya para pemimpin”. Ia juga menambahkan bahwa “Dalam lima tahun terakhir ini Indonesia menjadi perbincangan PBB terkait dengan persoalan kebebasan beragama”.

Hal ini didasari banyaknya laporan yang diterima mengenai kekerasan yang diatasnamakan agama seperti jumlah perusakan rumah ibadah dalam 10 tahun terakhir. Data lain adalah peredaran bacaan yang sifatnya radikalisasi ternyata tiga banding satu dengan bertema pluralisme. Menurut Eva, “kasus-kasus semacam ini menunjukkan ambivalensi pemimpin negara kita dalam menyikapi persoalan intoleransi”. “Kita butuh jamiman kebebasan beragama, bukan jaminan kerukunan”, tutup anggota Komisi III itu.

Sedangkan dari sisi politik, hukum dan keamanan yang dipaparkan mantan sekretaris Menkopolhukam, Letjend TNI Purnawirawan Hotmangaradja Pandjaitan mengatakan bahwa intoleransi beragama juga terjadi karena tumpang tindih kepentingan yang ada. Dia memberi contoh mengenai kasus GKI Yasmin yang belum selesai sampai sekarang karena perdebatannya hanya sebatas tataran akademis. “Persoalan GKI Yasmin belum sampai pada aksi”, tegas Hotmangaradja.

Letjend TNI Purnawirawan itu juga menemukan bahwa selama menjabat sebagai sekretaris Menkopolhukam, kasus-kasus intoleransi beraga yang terjadi karena timpang tindih kepentingan.  “Antar-kementerian perlu ada koordinasi karena seolah ada kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri”, ucap sang Purnawirawan. Dalam penutup paparannya dia mengungkapkan bahwa, “Perlu adanya kerendahan hari untuk tidak menjadikan agama sebagai dasar agama agar intoleransi beragama tidak menguat”.

Editor : Wiwin Wirwidya Hendra


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home