Loading...
BUDAYA
Penulis: Reporter Satuharapan 15:25 WIB | Minggu, 19 November 2017

Diskusi Kisah Nyata dan Rekaan dalam Karya Sastra

Maria Matildis Banda. (Foto: Bentara Budaya Bali)

DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Berangkat dari novel “Suara Samudra Catatan Dari Lamalera” karya Maria Matildis Banda, Dialog Sastra di Bentara Budaya Bali (BBB) pada Minggu (19/11) mengetengahkan seputar “Kisah Nyata dan Rekaan dalam Karya Sastra”. Diskusi ini akan berlangsung mulai pukul 18.30 WITA di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra 88A, bypass Ketewel, Gianyar, menghadirkan dua narasumber mumpuni, beserta sang penulis. 

Sebagai narasumber yakni Dr. I Wayan Resen, M.Hum (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana) dan Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana). Pada seri Dialog Sastra ke-57 ini, keduanya membincangkan perihal kekuatan kisah nyata di dalam karya fiksi, serta rekaan macam apakah kiranya yang memungkinkan sebuah pengkisahan atau tuturan menjadi menarik bagi pembacanya. 

Novel “Suara Samudra” bercerita tentang tokoh Lyra yang selama 27 tahun memendam rindu bertemu Arakian, ayah kandungnya, seorang lamafa (penombak ikan paus), lulusan SMAK Suryadikara, Ende. Pencariannya berawal dari kisah di masa lalu, di mana hubungan cinta Arakian dan ibu Lyra, Mariana tidak mendapat restu orangtua Mariana. 

Lyra, bersama kembarannya Dika berada dalam kandungan, ketika Arakian diusir mertuanya. Lyra kemudian tinggal di Bali dan Dika menjadi pastor. Kisah Arakian, yang memikul dosa masa lalu, kemudian berakhir miris, saat peledang (perahu yang dipakai untuk menangkap ikan paus) menghadapi bencana. Saat itulah Lyra justru datang mencari ayahnya.

Dr. I Wayan Resen, M.Hum, menyebut novel ini memiliki mutu estetis yang tinggi. 

“Sumber kehebatan novel ini adalah pada kedua tataran yang membangun karya, yaitu tataran (pemilihan) tema (tataran isi) dan tataran bagaimana tema itu dikemas melalui kepiawaian pengarang (tataran bentuk) membangun struktur/komposisi cerita dengan mengeksploitasi potensi satu-satunya medium yang terdia baginya, yakni bahasa, “ ungkap Resen yang menyelesaikan S2-nya di Macquarie University, Sydney (1996). 

Lebih jauh, Resen mengungkapkan bahwa membangun efek ketegangan yang beruntun juga merupakan salah satu  representasi kepiawaian pengarang dalam menguasai, membina, dan mengendalikan perhatian pembaca untuk terus melanjutkan pembacaan sampai habis.

Catatan Dari Lamalera

“Suara Samudra Catatan dari Lamalera” adalah novel ke-10 karya Maria Matildis Banda. Novel ini ditulis dalam proses yang panjang, sekitar sepuluh tahun (2007—2017). 

Menurut Maria, yang meraih Doktor Bidang Kajian Budaya di Universitas Udayana tahun 2015, gagasan penulisan novel dengan latar penangkapan ikan paus di Lamalera, berawal dari sebuah film dokumenter tentang tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera. Pada Juni 2007 Maria pergi ke Lamalera. Melewati jalan panjang, berlubang dan berbatu-batu.

“Setelah dua sampai tiga jam perjalanan, saya tiba di Lamalera, dan langsung ke pantainya. Benar di sana sedang berlangsung serangkaian kegiatan nelayan membagi-bagi ikan paus,” katanya.

Dalam perjalanan pertama, Maria mendapatkan banyak data dan informasi langsung di lapangan tentang nelayan, lamafa (penikam ikan paus), peledang (perahu), breung alep (pembantu lamafa), matros (pendayung perahu), lama uri (juru mudi) naje (rumah pelindung perahu), sistem pembagian ikan, sistem barter, dan lain-lain.

Lebih lanjut, Maria menuturkan bahwa baginya, Lamalera, laut Sawu, dan tradisi nelayan ikan paus adalah sebuah tempat, ruang, dan waktu imajiner. Perjuangan di laut, bencana yang terjadi di laut adalah sesuatu yang sangat dalam maknanya untuk memenuhi hakikat karya sastra yang universal.

Pada peluncuran novel yang sebelumnya digelar di Jakarta, 11 Oktober 2017, Yoseph Yapi Taun, dosen Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang menjadi pembedah novel ini mengatakan, novel ini bukan sebuah karya etnografis biasa.

“Selain mempermasalahkan pandangan dunia orang Lamalera dengan warna lokal Lamalera, Lembata, Flores, Kupang dan Bali yang sangat kental, novel ini menggarap sebuah persoalan yang sangat mendasar jika dilihat dari perspektif sosial budaya dan religiositas,” katanya.

Dalam testimoni di sampul belakang novel, Pastor Paul Budi Kleden SVD, misionaris SVD yang kini menetap di Roma, menyebut Maria “dengan keterampilan bertutur yang memikat, merangkai gejala alam, tradisi dan falsafah hidup orang-orang Lamalera dengan kisah anak-anak manusia yang jatuh cinta, terlibat permusuhan dan dendam, namun tak kuasa mendiamkan kerinduan untuk mencari akar. Suara Samudra adalah suara untuk kembali ke yang asli, ke kampung, ”.

Maria Matildis Banda memang penulis yang terbilang produktif. Tahun 2015 lalu ia baru saja meluncurkan novel “Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga”, disusul “Doken” pada tahun 2016. 

Ia juga menulis cerpen, drama radio, drama panggung, puisi, cerita anak, dan dongeng. Kolumnis Parodi Situasi HU Pos Kupang sejak 2001 sampai sekarang (15 tahun). Maria sudah udah menulis sekitar 750 judul parodi situasi (2000 halaman) yang siap dibukukan, tentang isu pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan isu sosial budaya lainnya. Menulis buku Lota Aksara Ende. Aktif sebagai pemakalah dan peserta seminar dan lokakarya. Peserta Sandwich like Program di KTLV dan Universitas Leiden di Leiden Belanda Oktober – Desember 2011. Pemateri “Lota Script in Ende Flores” dalam Internasional Workshop on Endangered Scripts of Island Southeast Asia pada Februari – Maret 2014 Tokyo University di Tokyo Jepang. (PR)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home