Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 00:39 WIB | Kamis, 07 April 2016

Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem

Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Pertunjukan terakhir gamelan Kiai Nggower di Lawang Ombo, Lasem - Kab. Rembang, Selasa (5/4). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Sanggar Asri Ana Budaya Lasem sedang melakukan gladi bersih sebelum pementasan. Tampak di depan 2 buah kecapi dengan inisial "H", seruling bambu, serta rebab.
Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Rebab yang sudah tidak berdawai dengan penyangga kayu ukiran bermotif burung Hong dan bunga.
Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Gambang yang dihias dengan ornamen/ukiran Tinongkok burung Hong dan bunga masih terawat semenjak pertama kali dibuat.
Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Gandor Sugiharto Santoso atau akrab dipanggil Opa Gandor, perawat gamelan Kiai Nggower di Lawang Ombo.
Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Para nayaga dari Sanggar Asri Ana Budaya Lasem saat perform bersama gamelan Kiai Nggower.
Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Pelajar SD Dorkas Lasem dengan memanfaatkan batang daun pisang saat memainkan tari Jaranan dengan diiringi gamelan Kiai Nggower.
Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Perform Didik Nini Thowok, seniman tari dari Yogyakarta membawakan tari Gambyong dengan iringan gamelan Kiai Nggower yang dimainkan para nayaga dari Sanggar Asri Ana Budaya Lasem di Lawang Ombo, Lasem - Kab. Rembang, Selasa (5/4).
Gandor "Menutup" Kiai Nggower di Lawang Ombo Lasem
Tari pergaulan Orek-orek yang merupakan tarian khas Rembang mengakhiri pementasan gamelan Kiai Nggower bersama dengan Gandor perawatnya.

REMBANG, SATUHARAPAN.COM - Hari Selasa (5/4) siang di Lawang Ombo, nama sebuah rumah kuno warga Tionghoa di Desa Soditan, Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah nampak sibuk berbenah. Teras depan dihias dengan foto-foto kegiatan, sementara di ruang tamu sudah dipersiapkan buah-buahan. Di teras dalam, seperangkat gamelan sedang dimainkan oleh sekelompok pengrawit (penabuh gamelan) yang sedang mencoba beberapa gendhing sebagai persiapan untuk menyambut tamu.

Gamelan yang sedang dimainkan tersebut adalah gamelan kuno milik keluarga Soebagyo Soekidjan (keluarga Tjoo) yang lebih dikenal dengan nama gamelan Kiai Nggower. "Nggower itu karena bentuknya yang besar-besar," kata Gandor Sugiharto Santoso, lelaki kelahiran 24 November 1945, yang menjadi perawat gamelan sejak dibeli Soebagyo saat ditemui satuharapan.com di sela-sela persiapan acara.

Sejak awal diserahkan pada pemilik pertamanya, kiai Nggower telah mengalami perjalanan panjang dan berpindah kepemilikan. Dalam catatan akta gamelan tersebut hanya dicantumkan bahwa gamelan dijual oleh Tan Siah Mei asal Blora kepada Lie Hwan Jiang asal Lasem. Proses legalnya dimulai pada tahun 1919 dengan perantara Tjan Tok Sien. "Kiai Nggower dibuat di Solo sekitar tahun 1905, tempat pembuatannya sendiri saya kurang tahu persisnya. Hanya bahannya campuran perunggu dan kuningan," kata Gandor.

Nuansa Tiongkok dalam Seperangkat Gamelan

"Sebelum dibeli pak Bagyo, gamelan ini dulu milik Lie Tjien Tjwan atau lebih dikenal dengan nama Bah Banjor (kakek pemilik perusahaan bis Kaloka). Alasan pak Bagyo membeli karena tahu saya sangat mencintai gamelan," lebih lanjut Gandor menjelaskan proses awalnya merawat kiai Nggower tahun 1996.

Selain usianya yang sudah lebih dari satu abad, gamelan dengan laras pelog ini memiliki banyak keunikan. Selain bentuknya yang nggower pada gong, ornamen pada penyangga didominasi dengan ukiran Tiongkok dalam bentuk gajah, kelelawar, burung Hong dikombinasi dengan bunga. Penyangga rebab berupa ukiran kayu dengan kombinasi bunga dan Hong. Dalam budaya Tionghoa ornamen-ornamen tersebut merupakan simbol kemakmuran dan keindahan.

Meskipun sudah berusia tua, gamelan masih mengeluarkan nada dalam laras semestinya. "Sejak merawat pertama kali, saya belum pernah mendatangkan penglaras untuk merawat nada gamelan. Semua (nada) masih sesuai. Ini memudahkan tugas saya, karena saya cukup menjaga kebersihan gamelan dari air, debu, dan jamur. Dengan perawatan yang rutin, jamur yang jadi musuh utama logam gamelan tidak sampai memakan metal (logam) nya. Kalau itu sampai terjadi, (gamelan) harus dilaras ulang agar sesuai nadanya," kata Gandor.

Gandor merawat gamelan secara rutin setiap 3-4 bulan sekali. Sekali pengerjaan perawatan dilakukan selama seminggu dibantu para pekerja. Dalam sekali perawatan diperlukan biaya sekitar 2 juta rupiah diluar tenaga.

"Ada perlakuan khusus pada gamelan Kiai Nggower. Misalnya pemberian bunga setiap Kamis malam pada gong Kiai Nggower. Itu sudah (dilakukan) oleh perawat-perawat sebelum saya. Karena bunga mengandung air, gong Kiai Nggower mendapat perawatan khusus juga agar tidak tumbuh jamur yang merusak. Perlakuan lainnya para pekerja sudah tahu, tapi mereka tidak akan melakukannya sendiri sebelum saya perintahkan," kata Gandor.

Diluar itu, ada satu hal yang belum terungkap dari gamelan Kiai Nggower yakni inisial huruf "H" pada ornamen ukiran. "Kita masih terus menelusuri hal itu. Dokumen (kuitansi/akta) pembelian hanya menyertakan nama. Itupun kuitansi (baru keluar) tahun 1919 dalam bahasa Belanda. Jauh setelah gamelan dibuat," kata Agni Malagina, pegiat pelestarian dan peneliti-pemerhati budaya Cina FIB-Universitas Indonesia. Inisial pada perangkat gamelan biasanya merupakan singkatan dari nama pemilik/pemesan saat pertama kali gamelan dipesan.

Dilimpe Saat Ditutup

"Keinginan saya merawat Kiai Nggower sampai saya tidak kuat lagi. Tapi setelah memasang ring (pada jantung), saya merasakan fisik mulai menurun. Oleh dokter disarankan untuk tidak beraktivitas yang berat-berat. Sejak itu, perawatan gamelan menjadi kurang maksimal meskipun masih tetap saya tangani. Ini kalau diterus-teruskan malah bisa merusak Kiai Nggower sendiri," jelas Gandor.

Kiai Nggower biasa digunakan saat acara sembahyangan di kelenteng Cu An Kiong, Lasem di bawah penanganan langsung Gandor. Di luar itu, hanya dilakukan perawatan. Terakhir kali digunakan untuk acara sembahyangan pada tahun 2011.

"Merawat langsung itu merupakan tanggung jawab saya pada pak Bagyo. Ini masalah kepercayaan. Makanya, begitu sudah tidak kuat lagi, saya kembalikan pada pak Bagyo. Dan setelah ngobrol dengan pak Bagyo diputuskan gamelan "ditutup" saja. Terus terang saya sedih, tapi saya lebih sedih lagi jika sampai gamelan ini rusak," papar Gandor.

Jika pun jadi ditutup, Gandor berharap gamelan Kiai Nggower jangan sampai ke luar daerah (Lasem, Rembang) apalagi sampai ke luar negeri mengingat histori gamelan itu sendiri yang telah menjalani sejarah panjangnya: gamelan Jawa dengan ornamen Tiongkok dan dimainkan di kelenteng untuk ritual sembahyangan. Sebentuk harmonisasi keberagaman.

"Jika kejadian ditutup (terjual), kepada perawat berikutnya saya akan ajarkan cara perawatan beserta seluruh rahasia dan ceritanya. Hanya saja saat penyerahannya, tolong saya dilimpe (tidak diberitahu). Saya tidak sanggup menyaksikannya," kata Gandor. Hubungannya antara Gandor dan Nggower telah melewati dimensi ruang-waktu lebih dari sekedar hubungan benda dan manusia.

Ketukan Terakhir Duet Gandor-Nggower

Kiai Nggower mengawali pertunjukan dengan gendhing pembuka yang dimainkan oleh pengrawit dari Sekar Laras Pancur, Selasa (5/4) sore itu, Kiai Nggower mengiringi perform Tari Dolanan Anak Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Doktri Lagendri, dan Jaranan yang dimainkan pelajar Sekolah Dasar Dorkas Lasem.

Ada yang menarik dalam tarian dolanan anak yang dimainkan yaitu penggunaan dialog dalam logat Rembangan semisal melok (ikut), enjoh (bisa), mbaut (pandai, lihai), linggeh (duduk), matoh (serba bisa), pathak (melempar), bodhoni (berbohong), ngandel (percaya), serta penggunaan akhiran -em untuk menunjukkan pada lawan bicara semisal ngombeem (minummu) serta kata  'leh' di akhir kalimat yang menjadi ciri khas dialog Rembangan.

Acara pementasan merupakan kerja sama Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Desa Karangturi, Lasem dengan keluarga Tjoo (pemilik Lawang Ombo) sebagai salah satu upaya penyelamatan benda-benda bersejarah yang masih tersisa di kawasan Lasem dan sekitarnya. "Ini merupakan sikap kepedulian masyarakat bahwa Lasem memiliki potensi wisata dengan muatan yang beragam: sejarah, religi, hingga kuliner yang bisa dikembangkan," kata Rudi Hartono, ketua Pokdarwis Karangturi kepada satuhararapan.com.

Hadir dalam acara tersebut Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Wisata dan Seni-Budaya Kementerian Pariwisata-Ekonomi Kreatif, Anna Sunarti.

Dalam sambutannya Anna akan menyampaikan terkait pengembangan potensi destinasi wisata di Lasem dan sekitarnya yang cukup beragam terutama tentang sejarah, religi, keberagaman, dan potensi ekonomi kreatif yang sudah tumbuh lama serta rencana 'penutupan' gamelan kuno Kiai Nggower kepada Menteri Pariwisata-Ekonomi Kreatif.

Setelah mengiringi perform Didik Nini Thowok, seniman tari asal Yogyakarta yang membawakan Tari Gambyong, Kiai Nggower menutup penampilannya di Lawang Ombo mengiringi dua pasang penari Orek-orek dari sanggar Ana Asri Budaya Lasem.

Di akhir acara, Kiai Nggower hanya mampu menyaksikan perform Didik Nini Thowok dengan Tari Poncosari yang menampilkan 5 jenis tarian dari berbagai unsur yakni tarian Tionghoa kontemporer, tari topeng dengan nuansa Jawa, tari topeng robot bernuansa barat kontemporer, tari topeng bernuansa Sunda, serta tari topeng monyet yang diadopsi dari ledhek-munyuk.

"Sayang sekali kalau publikasinya (tentang Kiai Nggower), mau 'ditutup'. Kalau pembelinya punya rasa seni tidak masalah. Kalau tidak?" kata Didik Nini Thowok di sela-sela pementasannya.

Ketika tahun 2014 gamelan telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia, pertanyaan Didik menukik pada realitas sejauh mana upaya pelestarian dan pengembangan gamelan telah dilakukan di rumahnya sendiri.

Gandor bisa saja melakukan regenerasi dengan mengajarkan cara perawatan gamelan Kiai Nggower berikut ritual yang menyertainya. Namun merawat gamelan pusaka Kiai Nggower bagi Gandor bukan semata-mata masalah teknis. Lebih dari itu gamelan kuno dengan sejarah panjang yang sudah dilewatinya, seandainya beralih kepada pemilik yang tidak memiliki rasa seni-budaya-sejarah, sesungguhnya sedang memasuki ruang privat yang hanya akan menjadi sebuah pajangan dalam narasi kosong pada sebuah ruang hampa. Pada titik ini, ada sejarah yang harus diselamatkan dan diteruskan. Bagi generasi saat ini dan juga nanti.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home