Loading...
OPINI
Penulis: Eka Pangulimara Hutajulu 17:50 WIB | Minggu, 24 November 2013

Gelombang Pasang Intoleransi

SATUHARAPAN.COM - Laporan Deutschwelle menyebutkan jaringan ekstrimis sayap kanan di tatanan internasional meningkat. Kekerasan neo-Nazi bahkan terjadi di luar Jerman. Pembunuhan Pavlos Fyssas menjadi peringatan bagi pemerintah Yunani. Musisi rap berhaluan kiri dan aktivis itu tewas pada hari Rabu (18/09) di sekitar Athena dengan beberapa luka tusukan. Para pelaku mengaku sebagai pengikut partai neo-Nazi "Fajar Emas".

"Fajar Emas" memiliki sekutu di seluruh Eropa. Pada tahun 2004 mereka bergabung membentuk "Front Nasional Eropa" dengan organisasi ultra kanan seperti Partai Nasional Demokratis Jerman (NPD) dan " La Falange" dari Spanyol. Ekstrimis sayap kanan tampaknya berusaha untuk beraliansi secara internasional. Untuk memulai proses itu, kelompok teroris bawah tanah Jerman “Sosialis Nasionalis" (NSU) telah menunjukkan bahwa kini ada jaringan internasional yang besar, yang mengambil keuntungan dari keberadaan ekstrimis sayap kanan.

Tak perlu menjelaskan panjang lebar apa itu neo-Nazi atau bahkan Nazi itu sendiri. Nazi mungkin penggambaran fasisme paling ujung yang tak mengenal toleransi sedikit pun terhadap apa yang mereka gambarkan sebagai lawan atau musuh. Pengusiran di muka bumi (baca: pembunuhan) merupakan sikap instan mereka demi memberangus pihak lain.

Intoleransi semacam itu manifes dalam bentuk sama kasarnya atau lebih halus dalam banyak turunan. Praktik kasar dan brutal diperankan secara sempurna oleh belasan teroris terlatih dari Somalia yang menyerbu mal milik orang Yahudi di Kenya, belum lama ini. Mereka menodong pengunjung mal, yang tak mampu membaca syahadat atau Al Quran langsung ditembak mati. Hasilnya, 60 orang lebih harus meregang nyawa. Logika normal sulit mencerna motivasi dan tujuan para teroris ini.

Mewabah

Di tanah air, Reformasi 1998 ibarat kotak Pandora. Dia membuka keran demokrasi, tapi bukan spirit demokrasi saja yang mengalir keluar. Residu demokrasi, yang mengandalkan term kebebasan dalam demokrasi itu sendiri, ikut membuncah dan menyebar. Mereka hidup dalam alam demokrasi, tapi menolak demokrasi. Dan sementara itu, sikap-sikap intoleran juga mewarnai karakter mereka. Apa yang tak sesuai keyakinan dan cara-cara hidup mereka dianggap lawan yang harus disingkirkan.

Harus diakui, praktik intoleransi demikian mewabah di Indonesia beberapa tahun terakhir. Konflik maut berbasiskan perbedaan agama sempat merebak di berbagai tempat. Seturut konflik-konflik ini mereda dengan sendirinya, intoleransi bermetamorfosa dalam banyak wajah. Aksi-aksi teror bermunculan, situasi yang jarang ditemui di masa-masa sebelumnya. Bahkan beberapa individu siap mati demi membunuh orang-orang lain yang tak ketahuan sangkut-pautnya dengan gerakan mereka.

Kini, aksi teroristik masih akan timbul sewaktu-waktu. Namun, intoleransi lain yang lebih halus dan tak kalah bahayanya bertumbuhan laiknya cendawan di musim hujan. Kaum Ahmadiyah diserbu, diusir dari rumah dan desa-desa yang membesarkan mereka dan keturunannya. Setiap kali terusir, tak ada jaminan daerah baru akan menerima dengan terbuka akan keberadaan mereka. Penganut Ahmadiyah itu seperti kehilangan kewarganegaraan (stateless). 

Belakangan, target baru adalah penganut Syiah di Sampang, Madura, dan daerah-daerah lain. Seperti halnya kaum Ahmadiyah, penganut Syiah (Sampang) juga terusir dari kampung halamannya. Mereka terlunta-lunta di negaranya sendiri hanya karena menganut sesuatu yang berbeda dari keyakinan mayoritas. Di media-media sosial, mulai pula digaungkan bahaya keyakinan Syiah, yang mungkin memicu gerakan anti-Syiah lebih besar lagi di masa-masa yang akan datang. 

Menurut Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat, jumlah penganut Syiah di Indonesia mencapai 2,5-5 juta orang di seluruh Indonesia. Meski jumlahnya tergolong banyak, hanya segelintir orang yang terbuka soal identitas Syiah. Mereka mempraktekkan taqiyah atau menyembunyikan identitas asli demi menghindari konflik.

Salah satu alasan yang kerap didengungkan adalah Syiah dan Ahmadiyah bukan Islam tapi tetap mengaku Islam. Seandainya mereka mengaku bukan Islam, mungkin mereka tak diperlakukan seperti sekarang. Sayangnya – meskipun alasan tersebut juga tak bisa dibenarkan untuk melakukan kekerasan – konsistensi sikap ini tidak terbaca saat kelompok dalam garis pemikiran sama bersikap intoleran terhadap penganut agama lain.

Mereka, penganut agama minoritas, kesulitan membangun tempat ibadah sendiri (Bogor, Bekasi, Tangerang) lantaran terus menerus diprotes dan diteror. Jemaat gereja dari Bogor sampai harus menyelenggarakan kebaktian di depan Istana Negara agar pemerintah mafhum terhadap situasi yang mereka alami. Terbaru, sebuah protes besar dimobilisasi untuk mencegah pembangunan tempat ibadah di Tangerang.

Tak hanya urusan beribadah saja, kepemimpinan politik pun dipermasalahkan. Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama pernah menjadi target kebencian kelompok-kelompok tertentu hanya karena anutannya yang berbeda dengan kebanyakan warga Jakarta. Proses pencalonannya sebagai wakil gubernur sempat memantik keributan karena kampanye ”mayoritas tak boleh dipimpin minoritas”.

Logika yang sama diterapkan pada kepemimpinan Lurah Susan Jasmine Zulkifli di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Dia bahkan tidak dipilih dalam kontestasi publik (baca: pemilu), melainkan ditunjuk pemerintah provinsi menurut rekam jejak dan prestasinya. Namun karena perbedaan keyakinan, sejumlah pihak menyatakan tidak setuju dan menggelar protes yang simultan. Beruntung, Gubernur Joko Widodo tak terpengaruh demo-demo bermuatan SARA itu.

Harus Dicegah

Situasi makin sulit oleh karena sikap abu-abu pemerintah. Meskipun tidak mendukung aksi-aksi intoleran tersebut, pemerintah juga tak berusaha mencegahnya. Pemerintah lebih suka berdiam diri dan parahnya, tak memiliki keberpihakkan yang jelas terhadap kondisi para korban (kasus Ahmadiyah dan Syiah). Secara sarkastis, pemerintah terlalu malas untuk melakukan tindakan tertentu yang setidaknya penting untuk meringankan korban-korban praktik intoleransi.

Penelitian yang diprakarsai oleh yayasan Friedrich Ebert Stiftung, Jerman, menemukan paham ekstrem kanan mudah menyebar pada kalangan yang berpendidikan rendah. Selain itu, ekstremisme kanan mudah menyebar di kawasan yang punya masalah sosial tinggi, seperti kemiskinan dan pengangguran. Warga miskin dan kurang pendidikan mudah digiring dengan slogan-slogan populis. Sikap menolak terhadap orang asing misalnya, justru paling banyak muncul di kawasan yang jumlah warga asingnya sedikit. Kecemburuan sosial dengan mudah disulut oleh sekelompok orang.

Hendra Pasuhuk (2012) menyatakan, masyarakat sipil dan pemerintah harus menyadari kecenderungan ini, dan tegas menyatakan penolakan. Berbagai upaya harus digalang untuk menghadang pandangan intoleran. Perlu penelitian sosial, mengapa masalah ini mencuat. Bersamaan dengan itu, pendidikan dan penyelesaian masalah sosial harus mendapat prioritas. Selalu akan ada kelompok yang berusaha memanfaatkan kecemburuan sosial dan kesempitan berpikir. Masyarakat dan pemerintah harus punya strategi meredam intoleransi.

Tidak melakukan pencegahan dini hanya akan membuat wadah-wadah intoleransi mendapat angin dan leluasa melebarkan organisasinya. Masyarakat juga akan belajar bahwa melalui cara-cara semacam itu, beberapa tujuan mungkin bisa dicapai, meski pada prosesnya mengorbankan kepentingan orang lain. 

 

Penulis adalah pemerhati sosial dan politik


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home