Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta Widiadi 12:38 WIB | Kamis, 23 Januari 2014

Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir

Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir
Para pengungsi banjir di areal parkir GPIB Koinonia Jakarta (foto-foto: Prasasta Widiadi)
Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir
Pontas Imert Rajagukguk, salah satu penanggung jawab pengungsi banjir di GPIB Koinonia.
Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir
Para pengungsi banjir di lantai 2 GPIB Koinonia.
Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir
Para pengungsi banjir di Ruang Duka GPIB Koinonia.
Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir
Suasana di dalam posko Ditkes Kesdam Jaya di depan GPIB Koinonia.
Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir
Efrayim Taga (paling kanan) saat menerima sumbangan dari salah seorang donatur.
Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir
Pengungsi banjir di lantai 2 GPIB Penabur.
Gereja Pun Membuka Pintu bagi Korban Banjir
Richard Picauly, salah satu koordinator pengungsi banjir GPIB Penabur.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ada pemandangan berbeda di Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Koinonia, Jatinegara, Jakarta Timur, pada Minggu, 19 Januari lalu. Keramaian di Gereja yang ditetapkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta sebagai cagar budaya pada 2005 itu bertambah seusai peribadatan, yang dilangsungkan tiga kali, pukul 06.00, pukul 09.00, dan pukul 18.00.

Halamannya dipenuhi tenda. Satu di antaranya bertuliskan Tim Kesehatan Posko Banjir Kesdam Jaya (Kesehatan Panglima Daerah Militer Jakarta Raya), dan sudah satu pekan tenda itu berdiri di sana.

Di areal parkir, juga bisa ditemui satu tenda untuk menyediakan makanan, yang didirikan oleh Komando Distrik Militer (Kodim) 0505 Jakarta Timur.

Minggu lalu, seusai peribadatan, puluhan wanita, dengan menggendong bayi, antre untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan. Mereka bukan jemaat gereja. Mereka, sebagian dari korban banjir yang mengungsi di GPIB Koinonia.

Pengungsi tersebut telah berada di gereja yang didirikan Meester Cornelis pada 1889 itu sejak Senin (13/1) malam. Mereka hanyalah sebagian dari ribuan pengungsi yang memadati lantai dua dan tiga Gedung Serbaguna GPIB Koinonia. Mereka adalah warga Kecamatan Jatinegara, dari Kelurahan Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, dan Kelurahan Kebon Pala yang menjadi korban banjir Jakarta awal 2014 ini.

Di luar tenda makanan, beberapa anak muda terlihat duduk-duduk, saling bercanda. Sebagian terlihat berbincang santai dengan beberapa prajurit yang bertugas di bagian urusan makanan.

Di salah satu sudut GPIB Koinonia, yang biasa digunakan anggota jemaat untuk menjual makanan ringan atau makan siang seusai kebaktian, Minggu lalu itu dipenuhi puluhan kendaraan bermotor roda dua. Di tempat itu juga terlihat wanita-wanita yang menggendong atau mengasuh anak kecil dan anak-anak muda. Perbincangan saat itu berkisar pakaian yang mereka kenakan. Beberapa wanita yang menggendong bayi mulai mengeluhkan kekurangan pakaian.

“Biar sajalah, gue nggak ganti pakaian. Mau bagaimana lagi? Yang penting bayi gue nggak kebasahan,” kata salah seorang ibu.

Obrolan singkat itu terhenti, karena salah satu petugas dari Koinonia Crisis Center keluar dan membawakan baju-baju layak pakai. Sontak ibu-ibu pengungsi itu pun berhamburan, untuk mendapatkan baju-baju layak pakai.

Banjir Jakarta

Banjir yang "mengepung” sebagian besar Jakarta pada 2014 ini hampir sama parahnya dengan yang terjadi pada 2007. Saat itu terjadi banjir besar yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada 1 Februari 2007. Banjir melanda Jakarta akibat sistem drainase yang buruk. Banjir saat itu berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari 1 hingga 2 Februari, ditambah banyaknya volume air dari 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur.

Sementara itu pada 2012, Jakarta juga pernah mengalami banjir besar yang terjadi pada 4 April 2012.

Sejak banjir besar melanda Jakarta itu pula GPIB Koinonia membuka pintunya untuk korban banjir dari perkampungan di sekitarnya. Gereja melibatkan Puskesmas Kecamatan Jatinegara pada banjir 2012.

GPIB Koinonia menyiapkan tim khusus untuk mendistribusikan bantuan, sekaligus membuka lantai dua dan tiga di Ruang Serbaguna untuk memberi tempat korban banjir.

Pontas Imert Rajagukguk dan Efrayim Taga, yang pada setiap ibadah GPIB Koinonia menjadi majelis, turun tangan dalam penangangan bencana banjir. Keduanya bertindak sebagai penanggung jawab penerima bantuan dan koordinator lapangan pengungsi banjir.

Efrayim Taga mengatakan kepada satuharapan.com, sejak GPIB Koinonia membuka pintu bagi korban banjir, bantuan datang dari berbagai lapisan masyarakat, tidak terpatok dari agama tertentu.

“Bantuan datang dari seluruh komunitas, dari muslim, Buddha, gereja lain, LSM, segala macam. Siapa saja yang mampu dan mau memberikan,” kata Efrayim Taga.

Menurut pemberitaan satuharapan.com sebelumnya, pada Senin (13/1) di GPIB Jemaat Koinonia tercatat lebih dari 400 warga yang mengungsi sejak dini hari. "Pada siang hari, jumlah itu bertambah 600 pengungsi. Pada malam hari, jumlah pengungsi bertambah, tercatat 825 pengungsi," kata Efrayim Taga.

"Seperti 'pulang' ke rumah saja. Kami tidak repot mengatur karena warga korban banjir sudah membagi tempat tidur yang mereka sebut 'lapak', berdasarkan RT dan RW. Mereka juga turun tangan dalam penanganan sampah bekas makanan mereka," kata Efrayim Taga.   

Menurut data yang dimiliki GPIB Koinonia, seperti dijelaskan Pontas, pada Minggu (19/1), para pengungsi ditempatkan di Ruang Konsistori, Ruang Duka, Ruang Serbaguna Lantai Dua, dan Lantai Tiga. Di Ruang Konsistori terdapat 274 jiwa pengungsi meliputi 66 keluarga, sementara di Ruang Duka terdapat 98 jiwa pengungsi meliputi 25 keluarga. Di Ruang Serbaguna Lantai Dua terdapat 359 pengungsi dari 87 keluarga, sedangkan di Ruang Serbaguna Lantai Tiga ditempati 411 pengungsi meliputi 113 keluarga.

Khusus pengungsi usia balita dan anak-anak, GPIB Koinonia juga mendata dengan spesifik berdasar usia pengungsi, antara lain anak-anak usia 0–6 bulan di Ruang Konsistori terdapat lima anak, di Ruang Duka ada lima anak, di Lantai Dua ada lima anak, dan di Lantai Tiga ada tiga anak.

Selanjutnya anak usia 7 bulan hingga 3 tahun yang ada di Ruang Konsistori sebanyak 25 anak, yang menempati Ruang Duka sebanyak 19 anak, di Lantai Dua sebanyak 21 anak, dan di Lantai Tiga sebanyak 43 anak. Anak-anak usia 6 hingga 10 tahun yang menempati Ruang Konsistori sebanyak satu anak.

Pengalaman bukanlah sesuatu yang membanggakan dalam menangani bencana, hanya saja GPIB Koinonia kebetulan melakukan penanganan yang tepat dan cepat dalam kurun waktu yang berdekatan, sehingga dipercaya masyarakat luas untuk menyalurkan bantuan.

“Banjir 2007 memberi pengalaman kepada kami. Yang penting kami bisa menjalankan manajemen penanganan bencana ini. Pelayanan dalam arti kami membantu apa yang dibutuhkan, akan kami bantu semampu kami,” tutup Pontas.

GPIB Penabur

Penanganan bencana yang sama juga dilakukan GPIB Jemaat Penabur di Jl Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. GPIB Jemaat Penabur membuka posko pengungsian banjir, sejak banjir melanda Senin (13/1) dini hari.

Richard Picauly, penanggung jawab posko banjir GPIB Jemaat Penabur, mengatakan gereja senantiasa siap menyediakan tempat untuk mengungsi, antara lain di ruang serbaguna lantai 1 dan 2, serta belakang kantor gereja bagi warga yang menjadi korban banjir. Tahun ini korban banjir berasal dari RW 6 dan RW 7 Kelurahan Bidara Cina, dan kebetulan masuk wilayah terdampak banjir di sekitar GPIB Penabur, Jakarta.  

“Setiap tahun, kalau ada banjir seperti ini. Gereja selalu membuka posko. Pada intinya kami ingin posko ini tidak hanya bagi warga jemaat, tetapi juga bagi warga yang bukan Kristen juga bisa berkumpul jadi satu, sehingga semuanya tertampung di sini. Jadi ini ada RW 06 dan RW 07, di daerah Gang Tanjung Lengkong (bagian dari RW 07, Red), Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, semuanya itu kena banjir,” kata Richard kepada satuharapan.com.

Mementingkan Kebahagiaan Pengungsi

GPIB Koinonia dan GPIB Penabur membebaskan pengungsi beraktivitas dan berkegiatan. Kapan pun, pengungsi bisa keluar dan masuk barak pengungsian.

Pontas Rajagukguk bahkan mengatakan yang penting pengungsi tidak terlarut dalam kesedihan, dan kekurangan bahan sandang serta pangan.

“Kami langsung bagikan makanan yang ada. Pokoknya selagi masih ada bantuan, ya kami berikan saja. Yang penting saat ini korban banjir bisa senang, dalam kesusahan mereka. Yang paling berat sebenarnya kan perasaan batin. Karena kalau mereka kita kekang lagi dalam kesusahan, maka bisa jadi penyakit yang datang,” lanjut Pontas.

GPIB Penabur pun berupaya memberikan kenyamanan kepada pengungsi, membebaskan pengungsi melaksanakan kegiatan masing-masing seperti biasa, bahkan pada hari Minggu saat GPIB Penabur melaksanakan ibadah Minggu.

“Mereka sudah terbiasa dengan keadaan di sini. Bahkan kalau kami sedang menjalankan ibadah Minggu, ada yang tetap tinggal di dalam, duduk-duduk saja, atau ada yang memanfaatkan waktu itu untuk menengok rumah,” kata Richard. 

Menurut data yang dihimpun Pelkes (Pelayanan Kesehatan) GPIB Penabur, jumlah pengungsi bukan jemaat GPIB Penabur sebanyak 91 jiwa. Sementara ada sebanyak 147 jiwa yang bertahan di rumah masing-masing walau banjir menggenangi sebagian rumah mereka. Berdasarkan pantauan satuharapan.com jumlah jemaat GPIB Penabur yang ada di pengungsian sebanyak 43 jiwa.

Sisil Manuputty, Ketua Pelkes GPIB Penabur, mengatakan ada sebagian jemaatnya yang nekat bertahan di loteng rumah. “Ada yang rumahnya tingkat, jadi kami yang mengirim makanan,” kata Sisil.   

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home