Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 10:27 WIB | Kamis, 21 Januari 2016

ICW: Parpol Harus Pro Agenda Penindakan Korupsi

Abdullah Dahlan, Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam wawancara khusus dengan satuharapan.com, hari Rabu (20/1). (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Damayanti Wisnu Putranti (DWP) memang sudah selayaknya dikeluarkan dari partainya. Kalau partai punya komitmen berarti harus bersikap tegas terhadap kader-kader yang bermasalah, bukan justru tidak mendukung agenda penindakan yang dilakukan aparat penegak hukum terkait dengan kader yang bermasalah,” kata Abdullah Dahlan, Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam wawancara khusus dengan satuharapan.com, hari Rabu (20/1).

Abdullah yang ditemui oleh satuharapan.com di kantor ICW, Jakarta, dimintai pendapat mengenai kasus suap yang menjerat salah satu anggota Komisi V DPR RI, Damayanti.

Kasus ini terbongkar dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) oleh satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hari Rabu (13/1), dengan menetapkan empat orang sebagai tersangka pada hari Kamis (14/1). Tiga diantaranya sebagai penerima suap, yakni Damayanti serta dua orang stafnya, Julia Prasrtyarini dan Dessy A Edwin. Pemberi suap adalah Direktur PT Windu Tunggal Utama (PT WTU), Abdul Khoir.

Pemberian uang suap ini diduga terkait dugaan suap pengamanan proyek jalan di Ambon, Maluku yang akan digarap oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) tahun anggaran 2016 dengan perkiraan total nilai suap 404.000 SGD dari barang bukti yang berhasil diamankan 99.000 SGD.

“Ada sebagian partai yang justru memberikan proteksi atau fasilitas dengan menyiapkan pengacara kepada kader yang jelas-jelas bermasalah dan bersalah. Itu bukan sikap yang pro pada agenda pemberantasan korupsi yang selama ini mereka usung,” ujar Abdull.

Menurut Abdull, disorientasi sebagai anggota DPR adalah ketika seharusnya sebagai pemegang mandat rakyat menjalankan fungsi dengan kewenangan yang dimiliki, seperti dalam isu kebijakan infrastruktur, seharusnya arah orientasinya lebih kepada mengawasi, bukan malah mentransaksikan kebijakan-kebijakan strategis.

“KPK dalam melakukan OTT sudah mempunyai mapping yang tergambar dari relasi-relasi yang terbentuk. Pola-pola umum yang terjadi ketika KPK melakukan OTT adalah pasti penangkapan tidak secara tunggal, ada operator penampung sebelum langsung kepada yang bersangkutan. KPK pasti punya bukti tentang peran masing-masing aktor korupsi,” ujar Abdull.

Abdull mengatakan “DPR dan partai harus merefleksikan bahwa sebenarnya kasus ini tidak hanya dilihat sebagai kasus DWP, tetapi secara kelembagaan, DPR harus menyadari bahwa lemah dalam fungsi dan pencegahan korupsi.”

Abdull berharap partai mempunyai instrumen yang tegas dalam mengendalikan kader partai. “Kalau tak ada instrumen, ada dugaan partai turut diuntungkan atas tindak korupsi kadernya dengan melihat fakta bahwa partai juga butuh logistik politik dan modal politik yang cukup. Ada dugaan kader sebagai alat untuk mendapatkan logistik politik bagi partai. Kader yang berhasil duduk di jabatan publik tidak dipungkiri bisa terbebani untuk memberikan kontribusi bagi partai politik dalam membantu memenuhi logistik politik dan modal politik partai.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah DWP mengalirkan dana ke partainya, kata Abdullah, “tentu harus digali lebih jauh lagi oleh tim penyidik KPK dan aparat yang berwenang.”

Ketika disinggung apakah posisi atau jabatan DWP dapat dikatakan strategis dalam meloloskan suatu proyek pemerintah, Abdullah mengiyakan, karena jika tidak, maka tidak mungkin DWP sampai bisa diberi uang pelicin atau uang suap oleh PT WTU sebagai pihak yang mempunyai kepentingan.

“Pembagian-pembagian kewenangan di DPR pasti melibatkan tidak hanya dari satu partai, oleh karena itu, tetap harus dibuktikan lebih mendalam,” kata Abdull.

Abdull sebagai anggota ICW berpesan agar penindakan tetap dilakukan atas segala kasus korupsi oleh KPK. “Design system di parlemen dalam mekanisme formal pembahasan anggaran juga harus mulai dibangun. Kegagalan kader merupakan kegagalan partai juga dalam mengendalikan kader, jika tidak ada upaya pembenahan mulai sekarang, maka kasus-kasus seperti  DWP akan terus berulang. Fungsi fraksi atau partai politik bisa menjadi instrumen pengendali bagi kadernya.”

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home