Loading...
EKONOMI
Penulis: Prasasta Widiadi 21:31 WIB | Selasa, 23 Desember 2014

Indonesia Berpotensi Jadi Produsen Bahan Bakar Terbarukan

Prof. Dr. Rinaldy Dalimi, M.Sc, salah satu Anggota Unsur Pemangku Kepentingan Dewan Energi Nasional (AUPK-DEN), pada peluncuran Indonesia Energy Outlook 2014 (IEO 2014) di Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Selasa (23/12).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia kemungkinan bisa menjadi negara penghasil minyak terbarukan terbesar di dunia.

“Kita bisa jadi Arab Saudinya energi biofuel dan para petani sawit bisa berdasi, walau akhir-akhir ini lahan sawit mendapat penentangan dari para aktivis lingkungan di Indonesia,” kata Prof. Dr. Rinaldy Dalimi, M.Sc, salah satu Anggota Unsur Pemangku Kepentingan Dewan Energi Nasional (AUPK-DEN), pada peluncuran Indonesia Energy Outlook 2014 (IEO 2014) di Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Selasa (23/12).

Rinaldy mengatakan demikian karena Indonesia memerlukan kebijakan strategis terkait pengelolaan energi, dan diperlukan adanya kedaulatan energi.

Arab Saudi sejak lama menjadi salah satu negara pengekspor minyak terbesar di dunia, walau saat ini di tengah situasi kritis dan krisis di Timur Tengah posisi tersebut mulai perlahan-lahan tergeser dengan Amerika Serikat (AS) yang menurut sebuah laporan dari Bank of America mengungkapkan produksi minyak mentah AS dari batuan (shalegas) telah mencapai level yang tinggi tahun ini. Bahkan produksi minyak mentah dan sampingannya berupa gas alam dari batuan shale telah melebihi produksi di Arab Saudi dan Rusia.

Disebutkan, produksi harian di AS melebihi 11 juta barel pada semester pertama tahun ini dan diperkirakan akan meningkat menjadi 13,1 juta barel per hari pada 2019. Laporan itu mengatakan produksi akan tetap pada tingkat yang sama selama setidaknya 10 tahun.

Dalam kaitannya dengan lahan biofuel di Indonesia, beberapa waktu lalu mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan pengembangan biofuel di Indonesia dilakukan dengan memanfaatkan lahan kritis atau lahan tidur (unused land). Selain itu juga memanfaatkan produk dari lahan yang sudah berproduksi. Oleh sebab itu, pengembangan produk biofuel Indonesia tidak merusak lingkungan hidup dan tidak merusak hutan.

Untuk itulah, menurut Menteri ESDM, dalam pengembangan biofuel tidak dilakukan dengan membuka lahan baru dengan membuka lahan baru pada hutan, tetapi memanfaatan lahan kritis dan memanfaatkan produk yang sudah ada di Indonesia. Penanaman Jarak Pagar, misalnya, menggunakan lahan pekarangan.

Sedang untuk biopremium memanfaatkan tebu yang memang sudah ditanami oleh para petani di lahan atau areal perkebunan tebu. Sedang untuk biosolar memanfaatkan produk crude palm oil (CPO) yang dihasilkan dari perusahaan yang sudah mendapatkan izin hak pengelolaan hutan yang izinnya dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan.

Efisiensi Energi

Dalam kaitannya dengan efisiensi energi, Rinaldy mengemukakan Indonesia tidak hanya menjadi produsen untuk energi biofuel tetapi penting untuk melihat efisiensi dalam kelistrikan yakni dengan sel surya untuk pembangkit daya yang lebih murah dari segi ongkos daripada milik Perusahaan Listrik Negara (PLN).

“Salah satu cara yang ada untuk menggenjot produksi energi terbarukan yaitu solar cell (panel surya), saat harga listrik solar cell lebih murah dari listrik PLN semua orang akan menggunakan roof top sebagai sumber energi kita,” kata Rinaldy.

Rinaldy menyebut bahwa sumber energi dari panel surya sudah diterapkan di banyak negara seperti Australia, Jerman, Malaysia.

“Pemerintahnya memberi insentif ke siapa saja yang membuat solar cell di rumahnya, sehingga penghuni rumah bisa memperoleh listrik yang lebih murah daripada yang disediakan negara,” Rinaldy menambahkan.  

Rinaldy membeberkan tentang panel surya dengan perhitungan andai penduduk Indonesia pada 2030 atau 2050 mendatang mencapai 300 juta jiwa, dan satu rumah ada lima orang, maka setidaknya 60 juta unit rumah yang akan ada maka, menurut dia akan ada kemungkinan efisiensi listrik sebesar 40 persen. “Contohnya saat ini yaitu Australia, yang telah menemukan efisiensi energi ini,” kata Rinaldy.

Rinaldy membandingkan apabila berhasil melakukan penghematan 400 watt, maka panel surya sesungguhnya sangat efektif karena bisa memproduksi listrik 48 gigawatt untuk satu unit rumah, sedangkan untuk perhitungan total seluruh kawasan Indonesia PLN hanya dapat menyediakan pasokan listrik 45 gigawatt per hari.

“Itu artinya solar cell adalah masa depan kita, kalau tidak maka akan diambil alih negara lain di kawasan yang sama,” Rinaldy mengakhiri penjelasannya.  

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home