Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 14:57 WIB | Selasa, 18 Agustus 2015

Indonesia Semestinya Jadi Pelopor Obat Alam

Prof Dr Moelyono Moektiwardoyo MS Apt. (Foto: unpad.ac.id/Tedi Yusup)

JATINANGOR, SATUHARAPAN.COM - Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia semestinya dapat membuat negara ini menjadi pelopor di sektor obat alam. Namun, yang terjadi saat ini, bukannya menjadi trendsetter, Indonesia malah lebih sering menjadi follower negara luar dalam menciptakan obat-obatan kimia sintetis.

Dosen Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Dr Moelyono Moektiwardoyo MS Apt, mengatakan industri obat sintetis bukanlah bidang unggulan Indonesia. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia malah belum banyak dioptimalkan sebagai obat-obatan, padahal Indonesia bisa menonjol di sektor itu.

“Sekarang kita ngejar industri. Padahal, lahan kita bukan di situ. Biarkan negara orang main dengan industri, kita tetap pegang apa yang dikaruniakan kepada kita, alam. Kenapa kita mesti tinggalkan?” kata Guru Besar Kimia Farmasi Bahan Alam ini.

Bukannya memberdayakan, lahan hijau luas yang dimiliki Indonesia malah semakin berkurang, hutan pun banyak digunduli. Indonesia bisa terpuruk karenanya. “Karena memang kita meninggalkan yang kita punyai, mengejar yang sepertinya hebat,” kata Prof Moelyono.

Dia bahkan meyakini Indonesia bisa lebih hebat dibanding Tiongkok jika berbicara mengenai obat alam, karena Indonesia memiliki alam yang lebih kaya.

“Jadi buat apa kita mengikuti tren negara luar? Kitalah yang harus menjadi trendsetter. Masalahnya, bukan enggak bisa. Enggak mau,” kata pria kelahiran Banjar, 11 Januari 1950 itu.

Meski industri obat herbal di Indonesia sudah berkembang, Prof Moelyono mengatakan saat ini, pengobatan herbal di Indonesia masih dianggap kelas dua.

Bahkan banyak akademisi yang menyatakan obat herbal itu tidak aman. Padahal, obat herbal sudah digunakan nenek moyang turun temurun sebelum muncul industri obat sintetis.

“Logikanya, kalau nenek moyang sakit, makan tumbuhan ‘A’ lalu dia mati, berikutnya enggak ada yang pakai lagi. Tapi kalau sembuh, terus turun-temurun. Berarti sudah teruji aman kan? Kenapa disebut tidak aman? Kalau disebut katanya tidak ada uji klinik, itu uji kliinik, langsung ke manusianya,” katanya.

Prof Moelyono menjelaskan, obat harus memilihi dua syarat, yakni effective dan efficacy. Obat herbal, memiliki dua syarat tersebut.  Obat herbal juga bukan hanya dapat menyembuhkan, tetapi juga menjaga kesehatan secara menyeluruh.

Ada empat mekanisme dari obat herbal. Pertama, detoksifikasi, pengeluaran racun dari tubuh, biasanya dari urin dan keringat. “Artinya racun yang ada dalam tubuh keluar. Itu tidak bisa sehari. Tidak bisa satu kali makan. Itu kira-kira makan waktu seminggu,” katanya.

Setelah detoksifikasi, selanjutnya melancarkan peredaran darah. Dengan demikian, peredaran darah diperbaiki untuk juga mempermudah peredaran obat. Mekanisme ini bukan hanya sebagai penyembuhan penyakit, tetapi juga dapat menjaga tubuh dari berbagai penyakit lain.

Mekanisme ketiga adalah perbaikan pencernaan. Selain diperbaiki, juga untuk mencegah datangnya penyakit lainnya.  Setelah diperbaiki, tubuh pun siap mekanisme selanjutnya, yaitu repairing atau treatment.

Prof Moelyono menjelaskan, masing-masing tahapan tadi memakan waktu kira-kira seminggu. “Jadi obat herbal itu enggak pernah ada yang sehari,  atau tiga hari. Biasanya satu bulan karena lebih menyeluruh,” kata mantan Pembantu Dekan III Fakultas Farmasi Unpad itu.

Melalui herbal, dia juga mengajak masyarakat untuk hidup sehat. Ia pun menekankan yang terpenting bukanlah menyembuhkan penyakit, tetapi menjaga pola hidup untuk tetap sehat.

“Memang pasti obat herbal menyembuhkan? Yang pasti tidak mencelakakan, Kalau obat sintetis bisa mencelakakan karena kadang bisa berkumpul di ginjal,” kata Prof Moelyono yang juga terlibat dalam penyusunan Farmakope Herbal Indonesia.

Dia juga menyayangkan masih belum banyak orang mendalami mengenai obat herbal di Indonesia. Mahasiswa Farmasi pun belum banyak yang mau mendalami herbal, karena merasa mendalami obat sintetis jauh lebih menguntungkan. Padahal, mendalami obat herbal pun bisa sangat menguntungkan.

Sejatinya, manusia yang berasal dari alam juga dapat kembali pada alam. Manusia dapat memelihara alam, juga dapat memanfaatkan apa yang sudah diberikan alam. Yang terpenting, kata Moelyono, adalah tetap menghormati alam dan selalu belajar dari alam. (unpad.ac.id)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home