Loading...
DUNIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 09:01 WIB | Selasa, 24 Februari 2015

Inggris: Rusia “Menghina” Kesepakatan Gencatan Senjata

Barisan tentara Ukraina meninggalkan Artemivsk, di wilayah Donetsk, Ukraina timur pada 22 Februari 2015. Tentara Ukraina dan pemberontak hari Minggu (22/2) mengumumkan mereka sepakat menarik senjata berat dari garis terdepan, bagian terpenting dari gencatan senjata. Namun, satu-satunya tanda kepatuhan terhadap perjanjian gencatan senjata adalah pada Sabtu malam terjadi pertukaran hampir 200 tawanan yang ditahan kedua belah pihak. (Foto: AFP)

TALLINN, SATUHARAPAN.COM - Inggris mengkritik Rusia karena tidak melaksanakan ketentuan gencatan senjata di Ukraina timur di tengah serangan yang sedang berlangsung oleh separatis pro-Rusia.

“Saya harus bicara dari kejadian 10 hingga 12 hari terakhir, keterlibatan Rusia dalam proses (pelaksanaan perjanjian) di Minsk cukup menghina,” ungkap Menteri Luar Negeri Inggris Philip Hammond di ibu kota Estonia, Tallinn, Senin (23/2).

“Itu seperti kesepakatan di atas kertas yang dengan segera dilanggar.”

Meski gencatan senjata tersebut disetujui di ibu kota Belarusia sepekan lalu, pemberontak meluncurkan serangan di kota Debaltseve pada pekan lalu dan pasukan pro-Rusia kini berkumpul di dekat kota pelabuhan Mariupol.

Inggris “sangat meragukan komitmen Rusia dalam upaya mencapai perdamaian sejati di Ukraina dalam hal apa pun,” tambah Hammond.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pekan lalu mendesak Rusia untuk menarik semua pasukan dari Ukraina timur dan mengakhiri dukungannya untuk separatis pro-Moskow.

Pasukan pemberontak pro-Rusia, yang berada di kota pelabuhan Mariupol, terus melakukan serangan ke posisi-posisi pasukan pemerintah, kata pemerintah Ukraina, Senin (23/2). 

Keadaan itu mengobarkan kekhawatiran terhadap nasib gencatan senjata yang diperantarai oleh pihak internasional itu. 

Ketegangan sedang tinggi, menyusul terjadinya ledakan bom pada Minggu di kota bagian timur, Kharkiv, yang biasanya dalam keadaan tenang. 

Berdasarkan data terakhir mengenai korban tewas, pihak berwenang mengatakan tiga orang kehilangan nyawa dalam serangan "teroris" itu. 

Pihak Barat telah memperingatkan bahwa mereka akan menjatuhkan sanksi-sanksi tambahan terhadap Rusia jika gencatan senjata yang rapuh itu terus memburuk, terutama setelah para pemberontak pada pekan lalu menduduki kota strategis, Debaltseve. 

Pendudukan itu melanggar kesepakatan gencatan senjata, yang mulai diberlakukan pada 15 Februari. 

Penarikan persenjataan berat dari garis depan pertempuran, yang merupakan langkah kunci dalam kesepakatan itu, masih belum dilakukan kendati kedua pihak pada Minggu sepakat untuk memulai proses tersebut. 

"Kalau posisi-posisi Ukraina masih ditembaki, pembicaraan soal penarikan senjata masih belum bisa diwujudan," demikian tulis juru bicara militer Vladyslav Seleznyov di Facebook, Senin. 

Sementara itu, para pemberontak menunjukkan sikap yang campur aduk, dengan mengatakan bahwa mereka telah menarik sejumlah persenjataan atau bahwa mereka baru akan mulai melakukannya pada Selasa. 

Seorang komandan militer Ukraina, Kolonel Valentyn Fedichev, mengatakan, Senin, sementara "jumlah serangan telah menurun" pada umumnya di seluruh wilayah konflik, posisi-posisi pasukan masih mengalami serangan tembakan sebanyak 27 kali sejak Minggu. Dua tentara Ukraina tewas dan 10 lainnya luka-luka, ujarnya. 

Pasukan pemberontak "belum menghentikan upaya mereka untuk menyerang posisi-posisi kami di kota Shyrokine dan daerah Mariupol," kata Fedichev. 

Pejabat-pejabat pertahanan lainnya mengatakan para pemberontak menembakkan mortir ke Shyrokine --yang terletak di sebelah Mariupol, dalam upaya terang-terangan untuk memprovokasi pasukan agar menembak balik sehingga mereka melanggar kesepakatan gencatan senjata. 

Kiev mengatakan Rusia telah mengirimkan 20 tank dan kendaraan-kendaraan lainnya serta persenjataan berat menuju Mariupol. Pejabat-pejabat Ukraina mengatakan, Minggu, dua serangan tank dilaporkan terjadi di sana. 

Mariupol adalah kota pelabuhan berpenduduk setengah juta orang dan berada di pesisir Laut Azov.

Moskow membantah tuduhan bahwa pihaknya memberikan dukungan militer kepada para pemberontak. Namun, Moskow telah melancarkan bantahan serupa menyangkut Crimea --semenanjung Laut Hitam milik Ukraina yang dicaploknya tahun lalu-- sebelum akhirnya mengakui bahwa pihaknya memang telah mengerahkan pasukan. 

Jika Mariupol jatuh ke tangan pemberontak pro-Rusia, hal itu akan menghapus satu hambatan kunci bagi pembentukan koridor wilayah separatis yang membentang dari perbatasan Rusia dengan Ukraina hingga Crimea. 

Amerika Serikat dan Uni Eropa telah memperingatkan akan adanya kemungkinan bahwa pelanggaran akan terus terjadi. (AFP)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home