Loading...
RELIGI
Penulis: Dewasasri M Wardani 15:03 WIB | Selasa, 29 November 2016

Kampanye Radikalisme dan Intoleransi Masif di Indonesia

Direktur Eksekutif the Wahid Institute, Yenny Wahid. (Foto: Voaindonesia.com//Fathiyah Wardah)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Eksekutif the Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan,  hasil penelitian lembaganya menunjukkan kampanye radikalisme dan intoleransi berlangsung masif di Indonesia.

Sekitar 0,4 persen  dari 207 juta ummat muslim Indonesia, bahkan pernah melakukan tindakan radikal atas nama agama, misalnya menyerang rumah ibadah orang lain, dan memberi sumbangan pada organisasi-organisasi radikal. Gerakan radikal dan intoleransi tidak saja dilakukan kelompok massa dan mempengaruhi orang dewasa, tetapi juga sekolah-sekolah dan remaja.

Hasil survei nasional dilakukan the Wahid Institute, atas pelajar berusia 15-17 tahun yang tergabung dalam kegiatan Kerohanian Islam (Rohis), menunjukkan hal mengerikan, yaitu mereka bersedia melakukan tindakan radikal jika memang ada kesempatan.

"60,9 persen bersedia berangkat bila saat ini diajak berjihad ke Palestina, Suriah, dan Poso. 68,33 persen bersedia berangkat bila telah lulus diajak berjihad ke Palestina, Suriah, dan Poso. 30 persen berpendapat Bom Thamrin merupakan perbuatan jihad," kata Yenny.

Dari hasil survei nasional itu, Yenny menambahkan, anak muda laki-laki berpotensi menjadi radikal, sedangkan yang perempuan berpeluang lebih besar menjadi intoleran.

Survei itu juga menunjukkan, hasil yang mencemaskan ketika terbukti bahwa tokoh masyarakat dan bahkan aparat negara ikut berperan dalam praktek intoleransi. Peran mereka semakin besar ketika memiliki jabatan struktural, apalagi jika berwenang mengeluarkan kebijakan.

Profesor Irfan Idris Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengakui ada sekelompok kecil teroris yang memiliki rencana besar untuk mengubah Indonesia. Untuk memberantas hal ini perlu kerjasama beragam pihak dan lembaga terkait. Ditambahkannya, BNPT telah menyiapkan apa yang disebut program nasional deradikalisasi.

 

"Kalau itu bekerja, saya kira terorisme bukan musuh TNI Polri saja, akan tetapi terorisme adalah kejahatan luar biasa. Artinya dituntut juga terapi luar biasa, bukan hanya saat ditangkap, disidang, divonis, habis itu selesai. Tidak ada terapi luar biasa di dalam lapas. Buktinya terjadi radikalisasi," kata Irfan.

Irfan juga mengatakan,  perlunya kesamaan pandangan soal definisi teroris dan terorisme di Indonesia.

Tidak semua hasil penelitian the Wahid Institute mencemaskan. Karena ada pula hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari sekitar 207 juta umat muslim di Indonesia, menolak gerakan radikal atas nama agama, dan tetap mengakui urgensi Pancasila dan UUD 1945. (voaindonesia.com)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home