Loading...
BUDAYA
Penulis: Tunggul Tauladan 10:45 WIB | Selasa, 02 Juni 2015

Kearifan Lokal dalam Bingkai Seni

Pengunjung pameran mempraktekkan jemparingan (panahan tradisional gaya Mataraman). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Budaya mempunyai pertalian yang erat dengan kearifan lokal (local wisdom). Pasalnya, dalam suatu budaya, kearifan lokal turut larut di dalamnya. Meskipun kearifan lokal pada satu budaya pasti berbeda dengan budaya lain karena sesuai dengan pengalaman manusianya, namun esensi dari kearifan lokal tetaplah sama, yaitu buah dari kecerdasan umat manusia.

Pada prinsipnya, kearifan lokal merupakan jatidiri karena dia melekat pada budaya masyarakat setempat. Kenyataan yang ada saat ini, di mana kearifan lokal semakin tergerus oleh budaya urban, membuat jatidiri suatu kelompok, pelan tapi pasti mulai hilang. Berangkat dari kepedulian akan eksistensi jatidiri inilah, digelar Pameran Semarak Kearifan Lokal (Sakral) 2015.

“Sekarang ini menurut pandangan saya, banyak orang kehilangan jatidirinya,” kata Imam Satriadi, SH., Direktur Keuangan Koran Kedaulatan Rakyat dalam pembukaan Pameran Sakral 2015 pada Senin (1/6) malam.

Pernyataan Imam cukup beralasan, pasalnya saat ini kenyataan menunjukkan tidak banyak anak muda yang tahu akan kearifan lokal. Padahal, tambah Imam, banyak hal yang bisa digali dari kearifan lokal tersebut. Bahkan lewat penggalian tersebut, manusia sekarang bisa mendapatkan bekal untuk menuju masa depan.

“Saya yakin dengan adik-adik menguasai dan mengerti apa itu kearifan lokal Indonesia, khususnya Yogyakarta akan lebih baik di masa yang akan datang. Contohnya yang dikaji dari kearifan lokal tersebut, seperti ada permainan, kuliner, dan sebagainya. Itu yang bisa nantinya jadi sangu (bekal) adik-adik sekalian ke depan. Saya kira ini bisa menjadi modal utama,” tambah Imam.

Dalam pameran yang digelar selama 1-4 Juni 2015 di Benteng Vredeburg ini, banyak kearifan lokal yang tersaji dengan bungkus seni. Pameran yang digawangi oleh Mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini menampilkan kearifan lokal dari berbagai sudut pandang, mulai dari kuliner, daur hidup (mulai kelahiran hingga kematian), tradisi (seperti perkawinan), hingga seni-budaya (misalnya Dalang Tingklung).

Mahasiswa yang tergabung dalam Tim Insula misalnya menampilkan kearifan lokal dengan tema “abdi dalem”. Nilai filosofi yang diangkat melalui tema “abdi dalem” adalah “urip urup”, yaitu nilai adiluhung yang terpacak melalui sosok seorang abdi dalem di keraton, baik dalam penampilan maupun sikap.

Kearifan lokal lain adalah sosok pencerita atau dikenal dengan nama Dalang Tingklung. Sosok ini merupakan penyampai pesan secara oral (tradisi lisan) yang mulai pudar di tengah masyarakat Jawa. Melalui Dalang Tingklung, beragam pesan moral disampaikan kepada masyarakat.

Dari sisi kuliner, tampil dua penganan tradisional, yaitu gathot dan thiwul. Banyak makna filosofis dari penganan yang menjadi camilan favorit Raja-raja Mataram pada zaman dulu ini. Masih dari ranah kuliner, pameran ini juga menampilkan minuman tradisional, yaitu jamu (Jawa: djampi). Dalam pameran ini, ditampilkan 8 jamu yang merepresentasikan siklus kehidupan manusia.

Seni panahan tradisional gaya Mataraman atau yang dikenal dengan nama Jemparingan juga ditampilkan dalam pameran ini. Jemparingan merupakan seni memanah yang melibatkan olah pikir dan olah rasa. Jemparingan tidak hanya sekadar olahraga, tetapi juga sekaligus seni mengolah rasa, “Pemanthenging Gendewo mujudake Pemanthenging Roso.” 

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home