Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 01:01 WIB | Senin, 01 Juni 2015

Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata

Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Acara Pagelaran Wayang Wong gagrag Ngayogyakarta dibuka dengan tari kreasi baru Matirta dari sanggar tari Banyumili Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu, (30/5). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Tari kreasi Matirta dari mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Btara Wisnu memasuki panggung mengawali pementasan Wayang Wong gagrag Ngayogyakarta, Sabtu (30/5).
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Gatotkaca menghadap Btara Wisnu.
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Gatotkaca menghadap Btara Wisnu menyampaikan pesan keinginan pamannya Arjuna untuk mempersunting Dewi Wara Sembadra.
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Buto terong.
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Sembadra.
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Burisrawa.
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Gatotkaca menantang Burisrawa untuk perang tanding karena menghalangi keinginan pamannya.
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Perang tanding Gatotkaca dengan pengawal Burisrawa.
Parta Krama: Merajut Cerita Cinta Ramayana-Mahabharata
Pernikahan Parta/Arjuna dengan Sembadra di hadapan Wisnu setelah seluruh bebana dipenuhi.

SATUHARAPAN.COM - Pertunjukan wayang selalu berkaitan dengan proses ritual dan keberadaannya dalam masyarakat Jawa seakan telah menjadi mitos. Pendekatan dari sudut mitologi untuk mendudukkan kapasitas tokoh dalam sebuah lakon dari aspek mite, sementara pendekatan ritual untuk memahami proses yang dilampaui masing-masing tokoh. 

Bertempat di Pendopo Agung nDalem Mangkubumen, pada hari Sabtu (30/5) Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardowo menggelar pementasan Wayang Wong gagrag Yogyakarta dengan lakon Parta Krama.

Lakon Parta Krama memiliki kekhususan tersendiri dibanding lakon-lakon perkawinan lainnya yakni semua bebana (syarat-syarat) pengantin putri berupa perlengkapan panggih pengantin dari kahyangan yang terdiri dari tujuh syarat. Syarat itu lain srah-srahan Kebondanu 144 ekor, kereta kencana dengan kusir kera putih sebagai kendaraan pengantin, cucuk lampah kera putih, 144 bidadari sebagai pengiring pengantin, tanaman dari kahyangan, gamelan Lokananta dan penggunaan nama Parta sebagai inkarnasi Dewa Wisnu. (Arts Wahyudi, 2002)

Kebondanu dalam tradisi pedalangan disebutkan sebagai hewan Btara Indra yang dipelihara oleh Dhadhungawuk. Kebondanu dapat diartikan sapi yang keadaannya sangat gemuk, Keberadaan Kebondanu sebagai syarat perkawinan memiliki keterkaitan antara kapasitas Arjuna dan Btara Indra. Pemahaman bahwa Arjuna memiliki aspek Indra dan Syiwa ditransformasikan dengan mengaitkan Kebondanu dengan kepentingan perkawinan Arjuna. Penggunaan bilangan 144 mengandung makna filosofi, dimana jika dijumlahkan nilainya 9. Bilangan 9 menurut pandangan masyarakat Jawa untuk menunjukkan suatu kedudukan tertinggi atau kesempurnaan.

Kereta merupakan lambang dari kebesaran prajurit tertinggi. Arjuna merupakan pengendara perang terbaik dalam kedudukannya sebagai kstaria Pandhawa yang setiap saat harus melindungi negara dan seluruh rakyatnya sekaligus predikatnya sebagai lelananging jagad. Keberadaan kereta kencana dalam Parta Krama menunjukkan hubungan antara Arjuna dan Btara Indra.

Keberadaan Anoman sebagai cucuk lampah menunjukkan adanya peran Btara Wisnu (Rama) sebagaimana peran Anoman sebagai "bahu kanan" Wisnu. yang berdiri di barisan depan dalam menumpas Rahwana. Peran Anoman sebagai kusir kereta pengantin merupakan simbol kehadiran unsur kebijaksanaan yang akan menyelimuti kehidupan pengantin. Sementara 144 bidadari yang mengiring pengantin ditafsirkan sebagai simbol ilmu pengetahuan yang membawa kesejahteraan. Perempuan sebagai personifikasi keindahan, kehalusan, dan keikhlasan.

Tanaman sebagai perlambang kehidupan, kesuburan serta kesejahteraan merupakan kebutuhan utama kehidupan di bumi. Sementara gamelan dari sisi permainan dipandang sebagai lambang keselarasan dan keharmonisan. Penonjolan salah satu instrumen selalu dihindari. Sementara penggunaan nama Parta yang tak lain adalah nama Arjuna menunjukkan bahwa Arjuna merupakan inkarnasi Wisnu suami pertiwi. Arjuna selain titisan Indra sekaligus sebagai titisan Wisnu

Ketujuh persyaratan perkawinan dalam lakon Parta Krama mengarah pada pemahaman Arjuna dalam kapasitas Indra, Wisnu, dan Syiwa sementara Dewi Wara Sembadra adalah titisan Dewi Widowati yang tak lain adalah penjelmaan Dewi Sri yang menitis ke Dewi Citrawati istri Prabu Arjuna Sasrabahu kemudian menitis ke Dewi Sinta istri Prabu Rama dan kemudian menitis ke Dewi Wara Sembadra yang menikah dengan Arjuna.

Proses perkawinan dalam lakon Parta Krama berkaitan dengan peristiwa di masa lalu dan yang akan datang. Lambang bebana dalam lakon Parta Krama memiliki makna yang berkaitan dengan tujuan di masa kemudian. Kebondanu mengandung makna bahwa perkawinan tersebut menjadi pusat perhatian dan pemujaan bagi semua makhluk di bumi akan sumrambah kepada anak hasil perkawinan Arjuna dan Sembadra. (Arts Wahyudi, 2002)

Perkawinan Arjuna dan Sembadra merupakan penyatuan dua dinasti besar dari siklus Ramayana dan Mahabharata. Dewi Wara Sembadra sebagai putri dari Prabu Basudewa adalah keturunan dinasti Prabu Ramawijaya dalam epos Ramayana dan Arjuna sebagai putra Prabu Pandu Dewanata seorang raja besar di Astina dalam epos Mahabharata. Perkawinan itu adalah menyongsong kelahiran keturunan dari dua dinasti untuk melahirkan satu ratu.

Revitalisasi Fungsi nDalem Keraton

nDalem Mangkubumen yang berada di sebelah barat Tamansari Keraton Yogyakarta pada masa lalu adalah rumah putra mahkota raja Keraton Yogyakarta sebelum diangkat menjadi raja berikutnya. Pada masa awal kemerdekaan, kompleks ini digunakan sebagai bangunan perkuliahan mahasiswa kedokteran Universitas Gadjahmada Yogyakarta sebelum pindah ke kawasan Bulaksumur. Pementasan wayang wong gagrag Yogyakarta sendiri pada masa lalu dilaksanakan di sekitar Bangsal Kencana Keraton.

Pemerhati wayang wong di Yogyakarta, Kaneko Putra (72) menyebutkan pementasan wayang wong gagrag Yogyakarta terakhir dipentaskan di nDalem Mangkubumen pada tahun 1965. Baru pada bulan Juni 2011 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Universitas Widya Mataram Yogyakarta dan Humanisma Yogyakarta selama tiga malam mementaskan enam pethilan wayang wong gagrag Yogyakarta dari enam sanggar tari di Kota Yogyakarta.

Dengan mengangkat lakon Parta Krama yang diinisiasi kembali oleh kerjasama ketiga pihak tersebut Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardowo memainkan pethilan Parta Krama selama kurang lebih tiga jam yang sebelumnya didahului dengan acara pembuka pada siang harinya dengan pementasan seni-budaya Nusantara oleh pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta.

Drs. Suparno dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Yogyakarta selaku penanggungjawab pagelaran wayang wong gagrag Yogyakarta menjelaskan bahwa pagelaran ini bertujuan untuk melestarikan wayang wong gagrag Yogyakarta, selain itu juga dilakukan pengembangan namun masih dalam pakem wayang wong dengan komodifikasi pada gerakan-gerakan, sementara dalam hal regenerasi wayang wong gagrag Yogyakarta pihaknya dalam kapasitas pembinaan dimana pelaksanaan sepenuhnya dilakukan oleh pihak sanggar bersangkutan. 

Selain itu, salah satu tujuan pementasan di nDalem Mangkubumen adalah sebagai upaya merevitalisasi fungsi salah satu nDalem yang dimiliki Keraton Ngayogyakarto. 

Wayang wong gagrag Yogyakarta dicirikan dengan penggunaan bahasa bagongan (dialek Banyumasan), dalam tata panggung yang sederhana, namun lebih ditekankan pada penguasaan tari yang mumpuni menjadikan wayang wong gagrag Yogyakarta tetap adiluhung dipentaskan dimanapun, bahkan hanya di bawah pohon beringin sekalipun. Dalam hal ini, rasalah yang lebih berperan.

Dalam khasanah budaya Nusantara, dalam manajemen konflik masyarakat Bugis menerapkan cara penyelesaian konflik dengan menggunakan ujung badik dalam sebuah pertempuran ataupun peperangan, ujung lidah dengan sebuah jamuan makanan dan diplomasi, serta ujung kelamin dalam sebuah ikatan perkawinan. Lakon Parta Krama dalam lingkup sederhana menjadikan ujung kemaluan sebagai bentuk penyatuan kembali, bisa menjadi media rekonsiliasisI konflik yang mungkin (sedang) berkembang.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home