Loading...
FOTO
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 09:53 WIB | Jumat, 11 Mei 2018

Keep The Fire On#4: Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring

Keep The Fire On#4: Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring
Pameran seni rupa "Keep The Fire On#4: "Don't Quit " di SURVIVE! garage Jalan Nitiprayan No. 99, Ngestiharjo, Kasihan-Bantul, 2 Mei - 2 Juni 2018. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Keep The Fire On#4: Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring
Dinding bersama dalam Pameran seni rupa "Keep The Fire On#4: "Don't Quit"
Keep The Fire On#4: Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring
Contemporary Art is confusing me - stensil di atas cardboard - Wimbo Prahaso - 2018.
Keep The Fire On#4: Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring
Salah satu anggota fan familia Awan Setiawan (kaos hitam) memberikan penjelasan tentang karya kepada pengunjung.
Keep The Fire On#4: Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring
PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) - marker dan akrilik di atas plastik - Ismu Ismoyo - 2017.
Keep The Fire On#4: Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring
Keluarga Oplosan - botol/kaca/keramik/lampu - Arya Pandjalu - 2017
Keep The Fire On#4: Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring
Display pameran minimalis caption pada pameran seni rupa "Keep The Fire On#4: "Don't Quit ".

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Jika tahun lalu SURVIVE!garage dalam gelaran Keep the Fire on (KTFO)#3 mengangkat tema "Thinklusif", pada perhelatan KTFO #4 mengangkat tajuk "Don't Quit". KTFO #4 dibuka Rabu (2/5) malam.

Sebanyak 88 seniman-perupa fan familia dan sahabat SURVIVE! memamerkan karya dua-tiga dimensi hingga 2 Juni 2018. Tajuk pameran diangkat dari fenomena yang muncul dari keterhubungan manusia dari berbagai belahan dunia dalam dunia maya melalui internet telah membawa pada realitas peperangan di berbagai ranah-wilayah: elit politik yang hanya sibuk berebut kekuasaan, politik identitas telah menyaru sebagai alat pemecah-belah, munculnya masalah kesehatan mental, silang pendapat yang semakin liar-banal, hingga hal remeh-remeh semisal swa-foto pada seluruh kelompok usia yang kesemuanya terjadi pada dunia dalam jaringan (online).  Dunia tanpa batas tersaji dalam hitungan waktu yang cepat mengantarkan pada situasi yang disebut Jean Baudrilard sebagai simulakra, sesuatu yang yang tak tampak sebagaimana mestinya.

Menariknya dari pameran KTFO yang telah berlangsung untuk keempat kalinya adalah memberikan ruang yang cukup besar bagi seniman mula-muda. Lebih dari 50 % seniman mula-muda mengikuti KTFO. Untuk KTFO #4 tercatat hampir 70 % seniman mula-muda baik dari fan familia, sahabat SURVIVE!, ataupun seniman yang dalam berprosesnya memberikan inspirasi bagi perkembangan seni rupa.

Sebagai sebuah ruang kerja kolektif, selain memberikan ruang presentasi-apresiasi SURVIVE!garage menjadi ruang dialog diantara mereka yang berkunjung. Diskusi-perdebatan dalam berbagai arah yang bisa berlangsung setiap saat sepanjang tahun menjadikan SURVIVE!garage sebagai ruang kerja kolektif yang relatif dinamis. Dengan demikian rekam jejak seniman mula-muda serta seniman sahabat SURVIVE! relatif terpetakan dalam proses kreatifnya. Kondisi tersebut tentunya menguntungkan bagi peta perkembangan seni rupa Yogyakarta dan Indonesia.

"Tidak ada kurasi khusus. Selama karya yang diajukan masuk dalam tema yang ditawarkan, kita terima. Satu hingga tiga karya. Jika memungkinkan (ukurannya) kita display semua. Namun jika tidak, kita pajang yang paling kuat. Karya lainnya kita taruh di stock-room." jelas salah satu panitia KTFO #4 Ervance Havefun pada satuharapan.com. Rabu (9/5).

 

Simulakra dalam Realitas Dunia Berjejaring

Menjalani kehidupan akhir-akhir ini yang hampir-hampir sudah tidak bisa terlepas dari dunia daring (online) begitupun dalam dunia seni rupa. Dalam dunia yang hampir sudah tanpa batas menjadi tidak terhindarkan saling memengaruhi adalah sebuah keniscayaan.

Dalam tulisannya Mega Nur menjelaskan bahwa kehadiran internet di tengah medan seni rupa Indonesia, tidak hanya dapat dilihat sebagai ihwal yang komplementer melainkan perlu pula ditinjau dari kajian kritis. Kemudahan berbagi informasi, mengakses, serta menjadi, nyatanya memberikan jalan bagi adagium “semua orang adalah seniman” untuk menunjukkan tajinya. Hari ini, semua orang bisa menjadi seniman tanpa perlu melewati serangkaian ritus untuk ditasbihkan sebagai seniman—dengan segala kemudahan teknologi dan akses informasi. Tentu saja, tersebut kemudian beberapa konsekuensi yang menghampiri. Sebab karya seni, meminjam Pierre Bourdieu, merupakan aset simbolis—di mana nilai simbolis tersebut diperoleh dari serangkaian ‘permainan’ dalam sebuah arena. Sedemikian itu, menunjukkan bahwa jelas internet memiliki porsi besar bagi para perupa maupun medan seni rupa.

Sebelum internet menjadi pengalaman sehari-hari, lanskap yang terjadi untuk menyematkan nilai-nilai simbolis pada sebuah karya atau pada diri perupanya, merupakan jalan panjang. Berpameran di galeri seni, misalnya, adalah salah satu pintu yang harus dijelajahi untuk menambah modal sosial. Selain itu, ketika sebuah karya mampu hadir di ruang-ruang yang sebelumnya telah dimistifikasi atau laku terjual dengan bandrol harga fantastis di balai lelang kenamaan, secara otomatis akan menambah modal kultural bagi si seniman. Jika tidak mampu sendiri, berjejaring melalui kolektif menjadi pilihan. Proses demikian, diamini atau tidak, merupakan kultur yang terus direproduksi untuk menginstitusionalisasikan seni.

Namun, berkaca pada realitas hari ini dimana internet memiliki porsi besar dalam kehidupan, kultur tersebut seolah mengalami pergeseran. Pameran tidak lagi melulu dilakukan di ruang fisik bernama galeri untuk mendistribusikan informasi akan dirinya. Art dealer bukan lagi entitas yang perlu dipikirkan untuk menjual karya. Setiap individu bisa mejadi kurator bagi karyanya sendiri. Transformasi modal sosial dipepatkan dalam angka, sedang modal kultural bukan satu-satunya soal. Potret serupa ini dapat ditemukan dengan mudah di jejaring internet seperti Instagram yang mulai booming circa 2012.

Pembacaan Mega Nur pada realitas kehadiran dunia berjejaring (online-internet) dalam seni rupa menjadi penting. Setidaknya dengan kehadiran dunia tanpa batas dalam jejaring internet setiap seniman bisa memiliki virtual art gallery yang bisa diakses oleh masyarakat dunia di belahan dunia manapun. Saat ini banyak seniman muda dari Yogykarta yang menawarkan ide-karya segarnya melalui internet, entah sebatas sebagai ruang ekspresi, presentasi-apresiasi, ataupun masuk dalam pasar.

Kritik pada dunia seni rupa hari ini tersaji dari beberapa karya pada pameran KTFO #4.  Sebutlah karya Wimbo Prahaso dengan medium corrugated cardboard (bahan kardus). Dengan teknik stensil Wimbo membuat figur Raden Saleh dalam kekinian, bercelana panjang dan sepatu sneaker dengan memegang kuas menuliskan sebuah kalimat "seni kontemporer membuat saya bingung". Tanpa penjelasan berlebih ada banyak kritik Wimbo pada karya berjudul "Contemporary Art is confusing me".

Karya yang berkisah sejak awal proses ditawarkan Ismu Ismoyo dalam dua karyanya berjudul "NYIA" dan "PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad)". Pada karya "NYIA", Ismu memanfaatkan bekas penutup ban becak dengan lukisan tentang rencana pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo berhadapan dengan realitas dunia agraris masyarakat setempat. Kritik Ismu menukik pada kenyataan bagaimana realitas masyarakat agraris yang terikat pada area pertanian sebagai tempat beraktivitas harus berhadapan dengan perubahan yang begitu cepat. Ketika industri (pariwisata) sebagai salah satu komoditas yang dikedepankan sebagai penyumbang PAD Yogyakarta harus berhadapan dengan matapencaharian masyarakat setempat, dimanakah petani dengan dunia pertanian akan ditempatkan? Bagaimanapun areal pertanian bagi masyarakat petani adalah rumah kedua dimana seluruh hidup digantungkan.

Sementara pada karya "PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad)", Ismu memotret kaum sub-urban yang memanfaatkan jasa transportasi kereta api untuk mengais rejeki dari remah-remah perputaran uang di kota besar (Jakarta dan sekitarnya). Ismu memanfaatkan papan kereta api yang didapatkan dari lelang saat sebuah kereta api berganti nama. Ismu melepas stiker yang menempel pada papan plat dan ditempelkan pada papan kayu. Di atas papan baru itulah Ismu merekam drama pulang jumat kembali ahad perjalanan kaum komuter antar kota antar propinsi dalam karyanya.

"Dalam gerbong yang berisi masyarakat perantau yang pulang jumat kembali ahad itu jika diamati akan banyak kisah, kejadian, dan drama kehidupan yang mungkin jauh dari hingar-bingar dunia." jelas Ismu kepada satuharapan.com saat pembukaan pameran KTFO #4, Rabu (2/5) malam.

Penempatan karya pada satu dinding pameran dengan jumlah yang banyak dan caption karya dibuat secara bersama-sama memaksa pengunjung untuk mengapresiasi karya tanpa harus direpotkan tentang tema karya, medium, teknik, dan siapa senimannya. Penataan ini menarik sehingga pengunjung bisa lebih bebas mengapresiasi karya. Dan dalam penataan demikian, setelahnya pengunjung bisa membaca informasi dari caption yang ada. Diantara pameran seni rupa yang ada di Yogyakarta, bisa jadi caption yang demikian hanya ada di KTFO dimana dinding pameran seolah berubah menjadi LCD monitor laptop atau layar internet. Jika ingin tahu lebih detail, mendekatlah, nikmati karya secara bebas tanpa harus dibebani oleh keterangan-keterangan yang ada. Dan pada posisi ini, KTFO menempatkan pengunjung sebagai penikmat seni, apresiator, sekaligus kurator yang terbebaskan dari informasi-informasi pendukung. Jika ingin tahu lebih detail tentang karya yang menarik bagi Anda, berbincanglah dengan senimannya ataupun pengelola ruang kolektif SURVIVE!garage. Anda akan mendapatkan lebih dari sekedar informasi.

"Dengan pameran yang dihelat setiap tahun, kita menjaga semangat teman-teman seniman-perupa untuk tetap berproses kreativit-karya. Kalaupun ada art lover ataupun kolektor yang membelinnya, itu adalah bonus penyemangat lainnya." jelas salah satu inisiator ruang kolektif SURVIVE!garage Bayu Widodo kepada satuharapan.com, Rabu (2/5) malam.

Pameran "Keep The Fire On#4: "Don't Quit" akan berlangsung di SURVIVE!garare Jalan Nitiprayan No. 99, Ngestiharjo, Kasihan-Bantul hingga 2 Juni 2018 dengan rangkaian acara workshop, diskusi, serta artist talk.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home