Loading...
INDONESIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 12:46 WIB | Kamis, 12 Maret 2015

Kementan: Setiap Tahun 500.000 Petani Beralih Profesi

Petani di Bengkulu Tengah beralih profesi sementara menjadi pengumpul kayu karena lahannya kering. (Foto: Antara/Andra Meda)

PEKANBARU, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Pertanian menyatakan setiap tahun 500.000 rumah tangga petani beralih profesi ke bidang pekerjaan lain, karena selalu mengalami kerugian, disebabkan berbagai faktor termasuk akibat tingginya biaya produksi yang meningkatkan risiko kerugian.

"Itu adalah salah satu persoalan yang menjadi temuan Menteri Pertanian selama menjabat tiga bulan terakhir ini, yang telah berkunjung ke-22 provinsi dan sejumlah kota di Indonesia. Ada lima masalah yang menjadi temuan berkaitan dengan rencana swasembada pangan," kata Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pertanian (Kementan)  Dr Ir Momon Rusmono MS, dalam pidato di acara pembukaan Rakernas XIV Perhiptani di Hotel Tiga Dara, Kubang Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Rabu (11/3) malam.

Acara itu dihadiri juga oleh Ketua Umum DPP Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani) Isran Noor, serta Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Perhiptani Riau Jefry Noer, yang saat ini juga menjabat sebagai Bupati Kampar. Hadir juga 60 anggota Perhiptani perwakilan 17 provinisi di Indonesia.

Lima masalah tersebut, menurut Momon Rusmono, yang pertama adalah kerusakan infrastruktur terutama pada jaringan irigasi yang mencapai 52 persen. Banyak irigasi baik primer maupun skunder tidak tertangani dengan baik setelah sekian lama. Karena itu, ia mengatakan melalui revolusi anggaran Kementan, perbaikan jaringan irigasi menjadi skala prioritas termasuk dari dana APBN Perubahan.

"Kementan menargetkan jaringan irigasi ke depan bisa mengairi 3 juta hektare lahan pertanian. Kemudian Kemen PU juga mendukung dengan memperbaiki 49 waduk, termasuk jaringan irigasi primer maupun sekunder dengan anggaran yang mencapai Rp 4 triliun pada 2015," katanya.

Masalah kedua adalah persoalan benih karena pada 2014 realisasi benih secara nasional tidak lebih dari 20 persen.

"Jadi bisa bayangkan, 80 persen anggaran yang telah disediakan pemerintah tak terserap baik oleh para petani, dan pihak-pihaknya yang terlibat dalam sektor pertanian," katanya.

Masalah ketiga adalah ketersediaan pupuk terutama untuk memenuhi enam tempat di Jawa Tengah yang sempat masuk distributor pupuk ilegal, yang tadinya subsidi kemudian diubah menjadi pupuk nonsubsidi sehingga mendatangkan kerugian besar bagi petani. Untuk mengatasinya, Kementan bekerja sama dengan TNI/Polri hingga telah berhasil menangkap para pelakunya.

Masalah keempat, menurut dia, adalah masalah tenaga kerja. Pada 2003 berdasarkan data Biro Pusat Statistik ada sekitar 31 juta tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi pada 2013, tinggal 26,5 juta, sehingga rata-rata setiap tahun rumah tangga petani yang beralih profesi mencapai 500.000 rumah tangga.

Kenyataan itu, yang kemudian mengakibatkan pada saat tanam atau panen negara ini kekurangan tenaga kerja, sehingga sekarang peranan petani dan alat yang ada untuk sektor pertanian harus dioptimalkan.

"Masalah terakhir adalah persoalan di Perhiptani, yakni belum optimalnya peran penyuluhan dalam program-program pertanian. Dan di sinilah saya berharap Perhiptani meningkatkan peran penyuluhan dalam mendukung program-program pertanian," katanya.

Pihaknya juga meminta peranan setiap pemerintah daerah, dalam mendukung rencana swasembada pangan di Tanah Air, "Termasuk Kampar yang sejauh ini memang telah menjalankan program-program pertanian berkualitas."

Bupati Kampar Jefry Noer yang juga Ketua DPW Perhiptani mengatakan kesiapannya untuk swasembada pangan bahkan telah menjalankan berbagai program jauh sebelum era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.(Ant)

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home