Loading...
SAINS
Penulis: Melki Pangaribuan 19:28 WIB | Senin, 28 Oktober 2013

Kerusakan Dampak Tambang Di Pulau Sagori Kabaena

Daya rusak tambang di Pulau Sagori, Kabaena, Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. (Foto: JATAM)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) membeberkan hasil investigasi 2013, fakta-fakta baru daya rusak tambang di Pulau Sagori, Kabaena, Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. Operasi tambang nikel di atas pulau itu telah menimbulkan tidak saja kasus tumpang tindih dengan beragam kawasan, tapi juga telah terjadi efek serius dan perubahan-perubahan resiko ancaman keselamatan yang harus dihadapi oleh masyarakat.

Menurut Manager Penggalangan Dukungan JATAM, Andika, warga Desa Pongkalaero Pulau Sagori kini mulai resah dan terancam dengan aktifitas penambangan nikel PT Tekonindo. Keresahan itu disebabkan oleh debu akibat hilir mudik mobil perusahaan yang menyelimuti perkampungan setempat yang hanya berjarak sekitar 920 meter.

“Polusi debu tersebut juga telah menyebabkan pohon jambu mente, budidaya rakyat yang berada di dekat lokasi perusahaan banyak yang mati atau tidak berbuah,” ungkap Andika yang disampaikan kepada satuharapan.com pada Senin ini (28/10) di Jakarta. 

Selanjutnya, Andika membeberkan, nelayan setempat turut merasakan turunnya hasil tangkapan ikan pancing setiap kali ada kapal perusahaan yang memuat pertambangan pada sore hari. “Sejak hadirnya pertambangan di Desa Pongkalaero (Kabaena), harga ikan dan sayur menjadi meningkat tajam akibatnya terjadi penurunan tangkapan nelayan tradisional, yang dipicu oleh aktifitas pengapalan perusahaan di perairan antar pulau tersebut,” ungkap Manager Penggalangan Dukungan JATAM perihatin.

“Sebanyak 308 Kepala Keluarga setempat itu harus hidup dalam pusaran harga ikan yang semula paling mahal Rp 10 ribu hingga 15 ribu per tusuk (satu ikat), tetapi sekarang menjadi Rp. 20 ribu hingga 25 ribu per tusuk,” kata Andika membedakan harga penjualan ikan di daerah Kabaena.

Selain itu, Andika mengungkapkan, sebagian warga Desa Pongkalaero dan Puununu yang bekerja sebagai karyawan atau buruh di perusahaan tersebut merasakan bahwa mereka telah dieksploitasi karena gaji yang mereka terima hanya Rp.53.000 per hari. “Kalau dibandingkan menjadi buruh bangunan atau upah membersihkan lahan jambu, mereka bisa menerima upah mencapai Rp 80.000 hingga 120.000,” kata Andika merincikan.

Koralobari Bisnis

Sementara itu di tempat terpisah, Pemerintah Kabupaten Bombana kini pun telah turut serta membuka penambangan. Menurut Andika, mereka membentuk sebuah perusahaan daerah, salah satu unit usahanya adalah melakukan penambangan dengan cara menambang di wilayah IUP PT Tambang Bumi Sulawesi  (TBS) yang telah mengantongi IUP Produksi. Dalam hal itu, pemerintah setempat memaksa pemilik IUP itu melakukan kolaborasi bisnis.

Menurut aktivitas JATAM itu, modus yang mereka lakukan terbilang sederhana namun merugikan warga setempat. “Saat PT Tambang Bumi Sulawesi hendak mengajukan izin peningkatan status, Bupati mau memberikan izin dengan syarat, pihak TBS mau memberikan lahan kepada perusahaan daerah (Perusda) untuk menambang, dan akhirnya terjadi lah kolaborasi percepatan keruk nikel di atas pulau mungil tersebut.”

“Tetapi setelah beberapa bulan berjalan, Perusda hanya mampu mengumpulkan ore (bongkahan tanah mengandung mineral) dan tidak mampu melakukan ekspor. Akibatnya, lahan-lahan warga yang sudah di arsir sebagai kawasan produksi nikel tidak terbayar, karyawan pun demikian, upah mereka juga tidak dibayarkan,” ungkap Andika.

“Parahnya, lahan-lahan bekas penambangan hanya dibiarkan begitu saja tanpa ada reklamasi dan menyisahkan lubang maupun tebing seluas enam hektar. Padahal, operasional Perusda itu diperoleh dari APBD Kabupaten Bombana. Rakyat juga mencurigai terjadi kongkalikong, sebab Direktur Teknik Perusda dipegang oleh adik ipar Bupati Kabupaten Bombana sendiri,“ kata perwakilan JATAM itu.

Tumpang Tindih

Kemudian Andika mengatakan, di atas pulau Sagori Kecamatan Kabaena, Pemda Bombana menerbitkan sebanyak 32 IUP, dan secara keseluruhan Kabupaten itu telah memproduksi ruang ruang komoditi nikel lewat 74 IUP. “Saat ini yang aktif melakukan ekspor tersisa tiga (3)  perusahaan sejak  permen No 7 tahun 2012 dikeluarkan. Sebelumnya terdapat  tujuh (7) perusahaan yangg aktif melakukan ekspor ore nikel China,” sebut Andika.

Berdasarkan Peta tata guna lahan kesepakatan dan peta penunjukan kawasan dan perairan Sultra dalam skala 1 : 720.000, No. SK 454/Kpts-II/1999, tertanggal 17 Juni 1999, menunjukan adanya tumpang tindih beberapa lokasi pertambangan nikel, salah satunya lokasi eksplorasi PT. Billy.

“Perusahaan ini tumpang tindih dengan penunjukan kawanan perairan serta penggunaan lahan untuk masyarakat, yakni kegiatan hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Sedangkan yang lainnya adalah perkebunan kelapa rakyat, jambu mete, pertanian palawija, usaha budidaya serta pemukiman penduduk,” kata Manager Penggalangan Dukungan JATAM itu.

“JATAM melihat, pola ‘penjarahan’ mineral nikel sejak penerapan UU Minerba ini semakin massif dan menjadi-jadi. Pemerintahan SBY telah menciptakan ‘teror’ terhadap keselamatan rakyat dalam satuan pulau seperti Kabaena. Kami khawatir Pulau Kabaena bisa benar-benar mengalami masalah serius di masa mendatang jika tidak segera diambil tindakan penyelamatan,” ungkap Andika seperti disampaikan dalam siaran pers JATAM.

“Selain itu, sampai saat ini seluruh cerita evaluasi dan koreksi terhadap berbagai kasus-kasus pertambangan melalui sejumlah mekanisme dan peraturan-peraturan pemerintah hanya bersifat retorika belaka. Tidak ada sanksi tegas dan tak satu pun yang konsisten dijalankan oleh pihak terkait,” kata Manager Penggalangan Dukungan JATAM itu.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home