Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 15:09 WIB | Jumat, 05 September 2014

Khawatir Diserang Milisi NIIS, Warga Kristen Lebanon Persenjatai Diri

Mereka hanya ingin mempertahankan diri; Mereka termasuk pengungsi dari Irak utara dan Suriah utara akibat serangan NIIS; Ancaman serangan militan ke Lebanon menimbulkan kekhawatiran baru.
Keluarga dari Irak yang mengungsi akibat kekerasan oleh NIIs di negara mereka mendapatkan bantuan dari Gereja Chaldean di Beirut. (File photo: Reuters)

LEBANON, SATUHARAPAN.COM - Setiap hari, setelah matahari terbenam, puluhan warga di sebuah desa Kristen kecil di perbatasan Lebanon membawa senapan otomatis dan menyebar di bukit-bukit sekitar seda. Mereka mengambil posisi untuk menghadang kemungkinan penyergapan oleh ekstremis Muslim dari negara tetangga, Suriah.

"Kita semua tahu bahwa jika mereka datang, mereka akan menggorok leher kami tanpa alasan," kata seorang warga saat di melalui jalan-jalan di Qaa, dengan sebuah senapan serbu berada di sampingnya.

Berikut ini adalah laporan dari wartawan AP yang dikutip oleh situs berita Al Arabiya tentang warga Kristen yang mengungsi dari Irak dan Suriah ke Libanon. Mereka telah melarikan diri dari ancaman di kota asal mereka, dan sekarang di Lebanon ancaman itu belum juga berakhir.

Ketakutan di Perbatasan

Selama berbulan-bulan, orang-orang Kristen Lebanon telah menyaksikan dengan ngeri di mana penduduk Kristen lainnya melarikan diri dari serangan ekstremis Islam di Suriah dan Irak yang dikenal sebagai Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Mereka takut mendapat giliran diserang.

Ketakutan menjadi berlipat-lipat setelah militan dari Suriah menyerbu kota perbatasan pada Agustus lalu. Mereka bentrok dengan pasukan keamanan selama berhari-hari dan membunuh serta menculik tentara dan polisi Libanon.

Sekarang, untuk pertama kalinya sejak perang saudara Lebanon yang berakhir pada tahun 1990, orang-orang Kristen Lebanon mempersenjatai diri kembali dan mendirikan unit pertahanan diri untuk melindungi diri. Indikasi kecemasan tumbuh ketika NIIS memperluas jangkauan dan serangan.

Di Timur Tengah, komunitas Kristen sama tuanya dengan agama itu sendiri, dan mereka  merasa kelangsungan hidup mereka tengah dipertaruhkan. Mereka terancam oleh militan dari kelompok NIIS yang membabi buta.

Dipaksa Meninggalkan Rumah

Di Irak, ribuan orang Kristen telah meninggalkan rumah mereka setelah mereka dipaksa untuk memilih antara meninggalkan kota, masuk Islam atau menghadapi kematian. Untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, wilayah Provionsi Niniwe, Irak, dan ibu kotanya, Mosul, telah dikosongkan dari orang-orang Kristen.

Setelah mereka pergi, para militan mengecat rumah mereka dengan huruf "N"dalam aksara Arab yang merupakan singkatan untuk "Nasrani."  Ini merupakan istilah kuno digunakan untuk merujuk kepada orang-orang Kristen. Tanda itu menunjukkan bahwa property itu menjadi milik NIIS.

Di Suriah, ribuan orang Kristen juga telah mengungsi selama perang saudara tiga tahun lebih di negara tersebut. Kota-kota dan desa-desa Kristen telah diserang oleh jihadis. Yang terbaru adalah pusat kota bersejarah, Mahradeh.

Militan Islam di Suriah menyerang melalui kota Kristen kuno dari Maaloula, di dekat Damaskus, awal tahun ini, dan menghancurkan gereja yang merupakan ikon bersejarah. Orang-orang Kristen oleh pihak militan Raqqa dipaksa untuk membayar pajak Agama untuk mendapatkan perlindungan.

Kekhawatiran Hingga ke Lebanon

Pengungsi Kristen dari Irak dan Suriah kini berlindung di Lebanon, mereka merasakan keamanan di negara yang majemuk yang memiliki persentase terbesar penduduk Kristen di Timur Tengah. Lebanon juga satu-satunya negara Arab dengan kepala negara warga Kristen.

Tapi ketakutan juga telah menyebar di kalangan mereka di Libanon. Pekan ini, sebuah video diposting melalui jarinagn internet yang menunjukkan sekelompok anak laki-laki membakar bendera NIIS di lingkungan penduduk Kristen di Beirut. Dan pengacau menulis pada beberapa dinding luar gereja di Lebanon utara dengan kata-kata: "Negara Islam akan datang."

Di Qaa dan Ras Baalbek, dua desa Kristen di timur laut, di perbatasan dengan Suriah, kecemasan bisa dirasakan. Banyak dari ribuan ekspatriat yang menghabiskan musim panas di sini tidak berkunjung pada tahun ini. Restoran dan lapangan utama desa itu sepi pada hari-hari terakhir musim itu.

Penjualan senjata di pasar gelap juga telah naik tajam. Upaya mempersenjatai diri didukung oleh beberapa milisi Lebanon, termasuk sayap kiri dan komunis yang telah lama memiliki senjata. Kelompok bersenjata Syiah, Hizbullah, juga secara tidak langsung mendukung upaya-upaya tersebut, dan  melihat masyarakat sebagai garis pertahanan pertama untuk kota-kota berpenduduk Syiah dan desa-desa di wilayah Bekaa, di Lebanon timur.

Di rumahnya yang beberapa kilometer (mil) dari dari wilayah yang dikuasai oleh pejuang jihad di Suriah, Suleiman Semaan, seorang aktivis politik di Ras Baalbek, mengatakan bahwa mobilisasi di desa itu semata-mata untuk membela diri.

Dia dan warga lainnya mengatakan mereka sangat khawatir terjadinya serangan pada bulan lalu di mana militan dari Suriah menyerbu kota Arsal, di perbatasan Lebanon selama beberapa hari. Mereka membunuh dan menculik sejumlah tentara dan polisi. Serangan itu adalah pertumpahan darah dan kekerasan terburuk di Suriah sejak pemberontakan dimulai pada Maret 2011.

"Kami tidak ingin menyerang siapa pun dan kami tidak ingin orang menyerang kami," kata Semaan.

Mobilisasi Warga

Tapi mempersenjatai kembali orang Kristen bisa meningkatkan ketegangan di Lebanon, yang sudah mengalami kepahitan atas konflik Suriah. Selama 15 tahun perang saudara di Lebanon, Partai Phalangis sayap kanan terlibat dalam pertempuran sengit atas nama Kristen yang pernah dominan di negara itu.

Di Suriah dan Irak, orang-orang Kristen selalu menjadi minoritas yang tersebar, namun tidak memobilisasi untuk melindungi diri mereka sendiri. Mmereka menikmati suasana yang relative aman selama beberapa dekade di bawah kekuasaan diktator sekuler. Sekarang, ketika negara itu terpecah  dan keamanan jatuh di luar kendali pemerintah, banyak orang Kristen mencari tempat lain untuk menyelamatkan diri.

Di timur laut Suriah, unit kecil Kristen telah berjuang di bawah payung Unit Perlindungan Rakyat, sebuah milisi Kurdi. Tapi kebanyakan orang Kristen di Suriah, juga di Irak, mengatakan mereka tidak punya banyak anggota, senjata atau mendapatkan pelatihan untuk berperang melawan militan Islam dalam pertempuran yang keras.

Jumlah orang Kristen di Timur Tengah telah menurun selama beberapa dekade karena gelombang serangan, pergolakan regional dan ketegangan sektarian.

Di Irak diperkirakan ada satu juta orang Kristen sebelum invasi 2003 yang dipimpinan Amerika Serikat yang menggulingkan Saddam Hussein. Sejak itu, militan Islamis sering menjadi orang-orang Kristen sebagai target di seluruh negeri. Mereka melakukan pemboman pada gereja-gereja, dan membunuh pendeta. Di bawah tekanan seperti itu, banyak orang Kristen telah meninggalkan negara itu, dan pejabat gereja sekarang tinggal bersama sekitar 450.000 warga Kristen.

Orang Kristen Suriah, yang merupakan sekitar 10 persen dari 23 juta populasi negara itu sebelum perang saudara di Suriah. Banyak dari mereka pergi ke Eropa selama 20 tahun terakhir, dengan peningkatan yang luar biasa sejak tahun 2011.

Seperti Mawar di Taman

Amir (41 tahun), seorang warga Kristen yang datang ke Libanon tahun lalu, berasal dari wilayah Suriah timur laut, Hassakeh. Di sana orang-orang Arab, Kurdi, Assyria, Syriacs dan Armenia tradisional hidup bersama dalam damai. Dia sekarang mencari pekerjaan di Lebanon, tinggal dengan saudaranya di daerah Kristen di utara Beirut, dan mempertimbangkan apakah akan mengajukan permohonan imigrasi.

"Saya tidak ingin menyerah pada Suriah, tapi saya ingin anak-anak saya tumbuh dengan perasaan aman. Saya ingin mereka tumbuh di tempat di mana mereka bangga bisa membuat tanda salib tanpa rasa takut," kata dia ketika dua anaknya bermain dengan sepupu dekatnya. Dia mengatakan 25 anggota keluarga besarnya telah meninggalkan Suriah selama dua tahun terakhir.

Umm Milad (27 tahun), seorang ibu rumah tangga asal Irak, datang ke Libanon dengan suami dan dua anak setelah militant NIIS menuliskan huruf "N" pada rumah mereka di kawasan Al-Arabi di kota Mosul pada bulan Juli. Mereka diberi waktu 24 jam untuk meninggalkan rumah itu.

"Kami takut," kata dia sambil menunggu untuk mengumpulkan bantuan di sebuah gereja Chaldean di Beirut. "Kami tidak ingin kembali. Kami ingin pergi ke tempat lain. Kanada atau Amerika," kata dia.

Banyak penduduk desa Kristen, seperti seorang supir di Qaa, yang  hanya mau berbicara kepada The Associated Press pada kondisi tidak disebutkan namanya (anonim), karena takut pada keselamatan mereka. Lainnya, seperti Amir dan Umm Milad, hanya memberikan nama pertama mereka atau nama panggilan, karena alasan yang sama.

Selama kunjungan ke Irak pada 18 Agustus, Menteri Luar Negeri Lebanon, Gibran Bassil, seorang anggota dari kelompok sayap kanan, Gerakan Kristen Patriotik Bebas, mendesak orang Kristen untuk tidak meninggalkan wilayah tersebut. "Jika kekristenan menjadi punah di Irak akan berakhir di seluruh wilayah. Irak dan wilayah kami akan kehilangan pluralisme."

Tapi bagi Sahira Hakim, seorang ibu rumah tangga asal Baghdad yang kini tinggal di Lebanon untuk mengajukan migrasi ke negara ketiga, tidak akan kembali ke Irak, dan negara asalnya itu tidak akan pernah sama.

"Kami orang Kristen seperti bunga mawar. Jika Anda menghilangkannya dari taman, hal itu  akan menjadikanya tidak cantik lagi," kata dia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home