Loading...
HAM
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 15:55 WIB | Rabu, 10 Juli 2013

Koalisi Masyarakat Sipil Ajukan Judicial Review Menolak UU P2H Tentang Perusakan Hutan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan ajukan Judicial Review UU Perusakan Hutan. (foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - DPR-RI telah mengesahkan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) pada Selasa (9/7). Pengesahan RUU P2H menjadi babak baru atas ketidakpahaman DPR atas perundang-undangan yang dibuatnya, juga kebutuhan masyarakat yang mendapat dampak langsung dari undang-undang tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai DPR tidak memperdulikan keputusan MK tentang hutan adat. Keadaan ini, berpotensi besar terjadi kekacauan di tingkat lapangan. 

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari HuMa, Epistema Institute, KPA, Walhi, JKPP, Yayasan Silvagama, AMAN, Jatam, Sawit Watch, ICEL, FKKM, Pusaka, ICW, PIL-Net, Elsam, dan Jikalahari telah mempersiapkan materi judicial review UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kami sedang rapatkan dengan koalisi dan tentukan materi yang akan kami ajukan ke MK,” kata Ketua koalisi, Siti Rahma Mary di Jakarta, Selasa (9/7).

Sebelumnya melalui rilis yang diterima satuharapan.com, Koalisi Masyarakat sipil menilai bahwa sejak awal pembentukan RUU P2H, Koalisi Masyarakat Sipil telah menyatakan sikap menolak pengesahan RUU ini. Terdapat banyak permasalahan dalam pembentukan RUU P2H, baik secara formal maupun substansial. Ada beberapa poin penting yang menjadi dasar penolakan pengesahan RUU ini, yaitu:

1. Pembentukan RUU P2H Tidak Disertai dengan Naskah Akademik 

RUU P2H sebenarnya adalah perubahan judul dari RUU Pembalakan Liar (Illegal Logging) yang telah dibahas di DPR sejak 2011 lalu. Naskah Akademik adalah prasyarat mutlak pembentukan RUU, sesuai dengan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Jikapun tidak ada perubahan substansial dari RUU tersebut, paling tidak harus ada penjelasan mengenai perubahan nama RUU. Hal ini untuk memastikan bahwa perumusan dan pembahasan RUU dilakukan dengan dasar dan alasan yang jelas. RUU P2H jelas menyimpangi pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, terlebih lagi karena ada perubahan substansial dari perumusan RUU Pembalakan Liar.

2. Proses Pembahasan RUU P2H Tidak Terbuka

Proses pembahasan RUU P2H terkesan dilakukan secara diam-diam oleh Panja Komisi IV DPR. Hal ini dapat dilihat pertama-tama dari sulitnya akses terhadap Naskah Akademik dan RUU P2H yang sedang dibahas oleh DPR. Keterbukaan dalam proses pembahasan RUU sangat penting, terutama untuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan.

Pembahasan RUU P2H tidak pernah dipublikasikan, baik dari website DPR RI, maupun media massa. Hal ini jelas menutup peluang bagi masyarakat dan media untuk memantau pembahasan dan memberikan masukan terhadap pembentukan RUU ini.

Demikian juga setelah penyampaian posisi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelestarian Hutan di hadapan Komisi IV pada tanggal 8 April 2013, DPR RI tidak pernah mengundang lagi Koalisi untuk memberi tahu perkembangan terbaru mengenai pembahasan RUU ini apalagi memberikan draft terbaru RUU ini. Sehingga proses pembahasan RUU ini melanggengkan ketidakterbukaan yang sudah dilakukan sebelumnya.

3. Tidak Ada Harmonisasi Hukum Antara RUU P2H dengan Peraturan di Sektor Kehutanan Lainnya.

RUU P2H berusaha memformulasikan segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan di dalam satu perundang-undangan. Hal ini berdampak buruk, manakala tidak ada harmonisasi antara RUU P2H dengan peraturan lainnya di sektor kehutanan. Disharmonisasi yang paling mudah dilihat adalah tidak diperhatikannya definisi Kawasan Hutan dalam RUU ini.

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, MK telah membatalkan definisi “Kawasan Hutan”  dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, namun definisi kawasan hutan yang telah dibatalkan tersebut masih digunakan dalam RUU ini. Selain putusan MK tersebut, RUU P2H menambah tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur sektor kehutanan, dan justru menjadikan penegakan hukum di sektor kehutanan menjadi sulit dilakukan.

Demikian juga DPR RI tidak memperhatikan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang telah memutuskan bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan negara dan masuk ke dalam golongan hutan hak. Padahal kenyataannya di lapangan, masih banyak hutan-hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara. Karena itu RUU P2H tidak bisa diberlakukan terhadap kawasan hutan yang belum jelas kepastiannya.

4. RUU P2H Mengkriminalisasi Masyarakat Adat

Dalam beberapa pasal RUU P2H, terdapat definisi-definisi yang membuka peluang lebih besar terhadap kriminalisasi masyarakat adat dan atau komunitas lokal. Definisi terorganisasi dalam Pasal 1 angka 6 misalnya, kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan melakukan tindakan yang merupakan satu kesatuan tujuan.

Kriminalisasi terhadap kegiatan masyarakat adat dan atau masyarakat lokal justru banyak terjadi karena pasal-pasal dengan definisi yang terlalu luas seperti ini. Penegakan hukum yang selama ini cenderung hanya berlaku terhadap masyarakat adat dan atau masyarakat lokal serta pelaku lapangan. Padahal, yang seharusnya disasar adalah korporasi dan atau dalang (mastermind) yang selama ini kerap lolos dari keadilan hukum sehingga merajalela merusak hutan, baik di tempat yang sama maupun berpindah tempat atau berganti modus.

5. RUU P2H Kontraproduktif dengan Usaha Pemberantasan Korupsi

RUU P2H berusaha memformulasikan seluruh pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan dalam satu perundang-undangan, termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Usaha ini dibarengi dengan pembentukan sebuah lembaga baru yang khusus menangani pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan, termasuk tindak pidana korupsi. RUU ini juga membuka peluang terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan pemberian izin-izin di bidang kehutanan, karena diskresi yang berlebihan diberikan kepada pejabat daerah.

Hal ini jelas kontraproduktif dengan usaha pembenahan kelembagaan kehutanan dan pemberantasan korupsi. Diberikannya fungsi pencegahan terhadap lembaga yang diusulkan RUU ini akan menjadikannya tumpang tindih dengan Pemerintah Daerah, Kementerian Kehutanan, hingga Kementerian Pekerjaan Umum c.q Ditjen Penataan Ruang. Pun, akan pontesial menghalangi KPK yang sudah secara serius menegakkan hukum antikorupsi di sektor kehutanan. Munculnya lembaga baru yang mengemban tugas penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan akan memperumit kordinasi dan supervisi antarlembaga sehingga penegakan hukum akan semakin rumit dan terganggu. Mengingat adanya fenomena corruptors fight back, inisiatif memunculkan undang-undang ini layak dicurigai sebagai upaya melemahkan KPK.

Berdasarkan poin-poin di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan menyatakan:

1. Menolak disahkannya RUU P2H menjadi Undang-undang;

2. Menuntut pemerintah mengedepankan revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara komprehensif;

3. Mengingat tumpang tindih regulasi yang kini terjadi, Koalisi mendesak agar pemerintah dan DPR melakukan moratorium penerbitan perundangan kehutanan dan tata ruang hingga roadmap harmonisasinya jelas dan disepakati publik;

4. Menuntut dilakukannya pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home