Loading...
RELIGI
Penulis: Kartika Virgianti 19:29 WIB | Senin, 22 Desember 2014

Komnas Perempuan Dorong Presiden Tegas pada Kelompok Intoleran

Diskusi publik dalam peluncuran ‘Laporan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional dan Kebebasan Beragama’ di Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (22/12). (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Selama ini negara dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan, sering saling lempar tanggung jawab. Terkait hal ini, istri mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid mendorong agar Presiden RI memberikan sanksi kepada pemerintah daerah/provinsi (pemda) atau kota/kabupaten, aparat keamanan, atau instansi negara lainnya yang tidak menjalankan fungsinya menyelesaikan persoalan di masyarakat yang ditebarkan oleh kelompok-kelompok intoleran dengan mengatasnamakan agama.

Aparat kepolisian yang mengamankan kerusuhan intoleransi antarumat beragama berargumen bahwa itu adalah tanggung jawab pemda, tetapi pemda berdalih itu adalah kewenangan kementerian (agama). Sementara presiden melalui menterinya berpendapat bahwa ini sudah zaman otonomi daerah, pemda yang semestinya mempunyai kewenangan untuk menyelesaikannya. Ini sangat membingungkan masyarakat.

Gagasan tersebut disampaikan dalam peluncuran ‘Laporan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan  tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional dan Kebebasan Beragama’. Laporan ini merujuk pada hasil pemantauan tim Pelapor Khusus Komnas Perempuan di 40 kota/kabupaten dan di  12 provinsi sejak 2012 sampai 2013, dan baru bisa diluncurkan pada 2014 ini di Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (22/12).

Kasus utama yang diangkat antara lain kasus Ahmadiyah, Syiah, Baha’i, komunitas Islam lainnya yang kesulitan mendirikan masjid (misal di wilayah Nusa Tenggara Timur), GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, sampai kasus penutupan gereja dan vihara.

Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Komisi Nasional Perempuan ini kemudian membacakan beberapa hal rekomendasi utama dari Komnas Perempuan kepada Presiden RI, antara lain sebagai berikut. 

Pertama, Presiden dan DPR RI segera melakukan perubahan substantif untuk meningkatkan kebebasan beragama dan berkeyakinan, antara lain dengan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah UU No. 1 PNPS 65 untuk mencegah salah tafsir yang berakibat dilakukannya tindakan intoleransi antarumat beragama.

Kedua, harmonisasi hukum dan kebijakan, yakni dengan menggunakan kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah, SK Gubernur, SK Wali Kota, dan peraturan sejenis lainnya di daerah tentang agama (misalnya Qanun di Aceh), karena bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Ketiga, Presiden memberikan sanksi kepada kepala daerah yang tidak menjalankan putusan pengadilan Mahkamah Agung (MA) dalam hal pendirian rumah ibadah.

Keempat, Presiden selaku kepala pemerintahan hendaknya memerintahkan mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung tentang larangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.

Kelima, mengubah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006, guna mempermudah pendirian rumah ibadah.

Rekomendasi lainnya kepada presiden, yakni  memerintahkan kepada kepala daerah tunduk pada hukum, termasuk memastikan keamanan penyelenggaraan ibadah natal 2014, pendirian rumah ibadah bagi GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia di lokasi masing-masing, memerintahkan kepala daerah dan menteri agama memfasilitasi perbaikan rumah ibadah yang dirusak atau disegel, dan menyediakan kelompok minoritas umat beragama lainnya yang belum dapat memenuhi prasyarat pendirian rumah ibadah.

Komnas Perempuan juga meminta kepada Presiden agar memerintahkan pemulangan pengungsi korban intoleransi antarumat beragama yaitu bagi jemaah Ahmadiyah dan Syiah dengan jaminan keamanan, serta melakukan penanganan komprehensif bagi korban dengan perhatian khusus terhadap kerentanan perempuan dan anak sesuai dengan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial.

“Bagaimana bara ini tidak sampai membakar, tapi digunakan untuk membakar jagung, jadi semua bisa merasakan enaknya. Pemerintah jangan saling lempar kewajiban, sehingga akhirnya masyarakat yang tidak mendapatkan solusi,” ucap Sinta mengumpamakan.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home