Loading...
HAM
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 15:56 WIB | Selasa, 19 April 2016

Komnas Perempuan Minta Negara Jujur atas Tragedi 1965

Ilustrasi. Komisioner Komisi Hak Asasi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Yunita Chuzaifah, saat memberikan pandangannya terkait dengan batasan sensor yang dikeluarkan oleh KPI dinilai melanggar konstitusi seseorang.(Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dengan berakhirnya Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berharap negara terus menempatkan Tragedi 1965 secara jujur dan proporsional dalam kesejarahan bangsa Indonesia dengan melacak arti dan menimbang implikasinya dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa.

Selain itu, “Komnas Perempuan melihat negara perlu menciptakan ruang-ruang yang aman, adil, dan kondusif bagi korban dalam mengakses hak-haknya,” ujar Azriana, Ketua Komnas Perempuan, melalui siaran pers di Jakarta kepada satuharapan.com, hari Senin (18/4).

Simposium Nasional ini diadakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas Hak Azasi Manusia (HAM), Dewan Pers, sejumlah perguruan tinggi, Institute for Peace and Democracy, dan Forum Silaturahmi Anak Bangsa.

“Simposium ini perlu dilihat sebagai tindakan negara untuk ikut serta dalam upaya membangun pengetahuan publik tentang Tragedi 1965, yang selama ini lebih banyak dilakukan oleh organisasi masyarakat,” kata Azriana.

Terkait Tragedi 1965, Komnas Perempuan telah menyampaikan Laporan Pemantauan tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Gender yang dialami 122 perempuan dalam Peristiwa 1965 kepada Presiden, Kementerian atau Lembaga terkait, dan masyarakat pada bulan November 2007.

Dalam Laporan tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan pola pelanggaran HAM yang dialami oleh 122 perempuan tersebut dan merekomendasikan sejumlah hal yang perlu dilakukan oleh negara untuk memenuhi hak korban dan memastikan pelanggaran tidak berulang. Termasuk dalam hal ini Komnas Perempuan merekomendasikan investigasi projustisia terkait pelanggaran berat HAM dalam Peristiwa 1965 tersebut.

Komnas Perempuan merasa perlu memberikan penyikapan sebagai berikut:

1.    Kesaksian yang diberikan korban dalam simposium harus diletakkan dalam atau menjadi bagian dari keseluruhan kesaksian korban yang telah didokumentasikan, baik melalui forum-forum di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Karenanya, rekomendasi penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM dalam Tragedi 1965 yang akan dihasilkan oleh simposium ini, seharusnya mempertimbangkan  rekomendasi-rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh berbagai pihak, termasuk dalam hal ini  rekomendasi Komnas Perempuan sebagaimana termuat dalam Laporan Pemantauan Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Gender dalam Tragedi 1965;

2.    Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 harus berkontribusi pada membuka akses korban terhadap pemenuhan haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan atas ketidakberulangan, termasuk dalam hal ini akses korban untuk mendapatkan pertanggungjawaban pelaku;

3.    Pemerintah perlu menjamin keamanan seluruh korban yang mengikuti simposium, baik selama simposium berlangsung ataupun setelahnya, mengingat tindakan intimidatif terhadap Korban Tragedi 1965, hingga saat ini masih terus terjadi dan berulang;

4.    Komnas Perempuan menegaskan penting adanya ruang penyikapan yang aman, konstruktif, dan efektif oleh seluruh elemen bangsa dalam kerangka: (1) Pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan atas ketidakberulangan; (2) Tanggung jawab negara dalam penegakan HAM; dan (3) Pemulihan kehidupan berbangsa, termasuk dalam hal ini menyegerakan pembentukan mekanisme kepresidenan untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu sebagaimana telah direncanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home