Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 07:16 WIB | Kamis, 08 Januari 2015

Komunikasi Jadi Kunci Menuju Jogja Ramah Disabilitas

Para pembicara dalam talkshow bertema “Harmoni Inklusi: Merindu Jogja Ramah Difabel” pada Rabu (7/1). Dari kiri ke kanan: Arya Nugraha Hadi (Dinas Pariwisata DIY), Ananto Sulistyo (aktivis), Edi Muhammad (Kepala Bappeda Kota Yogyakarta), Joni (penyandang disabilitas), Sri “Klaten” Lestari (penyandang disabilitas), Yorri Kusuma Nugraha (Dishubkominfo), dan moderator Drs. Susilo Nugroho. (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah aktivis yang peduli terhadap masyarakat inklusif menggelar Festival Film Disabilitas (FFDIS). Festival yang diselenggarakan untuk kali kedua dengan mengangkat tema “Partisipasi, kolaborasi, dan inovasi” ini bertujuan untuk menyebarkan isu-isu disabilitas, terutama isu tentang masyarakat inklusif.

Hal yang menarik dalam FFDIS ke-2 ini adalah diselenggarakannya talk show pada Rabu (7/1) yang mengangkat tema “Harmoni Inklusi: Merindu Jogja Ramah Difabel”. Talk show ini melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, seperti perwakilan dari Bappeda DIY, Dinas Pariwisata, Dishubkominfo, aktivis, dan para penyandang disabilitas.

Talk show yang diselenggarakan di Lembaga Indonesia Prancis (LIP)/ Institute Francais Indonesis (IFI) Jalan Sagan No. 3, Yogyakarta 55223 ini menampilkan sejumlah pembicara, yaitu Yorri Kusuma Nugraha (Dishubkominfo), Sri “Klaten” Lestari (penyandang disabilitas), Joni (penyandang disabilitas), Ananto Sulistyo (aktivis), Arya Nugraha Hadi (Dinas Pariwisata DIY), dan Edi Muhammad (Kepala Bappeda Kota Yogyakarta). Sedangkan Drs. Susilo Nugroho—lebih dikenal dengan nama Den Baguse Ngarso—bertindak sebagai moderator acara.

Sri “Klaten” Lestari menyampaikan harapan bahwa ke depan, Yogyakarta akan menjadi kota yang ramah pada penyandang disabilitas. Namun, wanita berkursi roda yang baru saja menyelesaikan petualangan dengan menggunakan sepeda motor menempuh rute Aceh-Jakarta ini menyampaikan kegelisahan terkait banyaknya aspek yang harus diperbaiki oleh pemerintah menyoal sarana umum yang kurang ramah bagi penyandang disabilitas.

“Trotoar sebagai salah satu sarana yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Untuk masuk trotoar saja, bagi saya yang menggunakan kursi roda sangat susah karena jalan masuknya terlalu miring, atau kalau tidak jalan masuk yang rusak. Selain itu, banyak sambungan antar-trotoar yang rusak,” Sri mengeluh.

Penyandang disabilitas lain, Joni, menambahkan bahwa selama ini, pemerintah kurang melibatkan kaum disabilitas ketika merumuskan kebijakan menyoal masyarakat inklusif. Hasilnya adalah kebutuhan kaum disabilitas kurang terakomodir dalam kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah.

“Difabel seharusnya diberi ruang berpartisipasi agar kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan difabel. Oleh karena itu, sekarang harus mulai diadakan rembug (komunikasi) bareng,” ujar Joni.

Menambahkan persoalan komunikasi, Ananto Sulistyo menyarankan agar para penyandang disabilitas benar-benar mengekspresikan kesulitan-kesulitan yang dialami ketika mengakses fasilitas umum. Lewat ekspresi inilah diharapkan pemerintah bisa menyediakan aksesnya.

“Kita harus saling mengingatkan, misalnya, bagi kaum disabilitas, akses ke Malioboro itu sulit. Oleh karena itu, tunjukkanlah kesulitan-kesulitan itu agar pemerintah bisa menyediakan akses,” ungkap pria yang akrab disapa Anto ini.

Menanggapi soal komunikasi antara penyandang disabilitas dengan pemerintah, Edi Muhammad (Kepala Bappeda Kota Yogyakarta) mengusulkan untuk dilakukan suatu kolaborasi antara pemerintah dengan penyandang disabilitas. Harapannya, dengan kolaborasi tersebut maka keberadaan kaum disabilitas dapat diterima.

“Jika sudah terjadi kolaborasi, maka keberadaan kaum disabilitas dapat diterima, sehingga dalam setiap pembangunan akan memperhatikan kebutuhan kaum berkebutuhan khusus,” kata Edi.

Pemaparan Edi ditambahkan oleh Arya Nugraha Hadi (Dinas Pariwisata DIY) yang menganggap bahwa upaya mengapresiasi aspirasi dari kaum disabilitas sangat perlu dilakukan. Hal ini penting sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas akses sarana dan prasarana, khususnya di tempat-tempat pariwisata.

Sebagai penutup, Yorri Kusuma Nugraha (Dishubkominfo) menyampaikan komitmen untuk selalu mengangkat isu kaum disabilitas. Yorri berpendapat bahwa sebenarnya regulasi tentang kaum disabilitas sebenarnya sudah ada, hanya saja pada tataran pelaksanaan dinilai masih lemah.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home