Loading...
LAYANAN PUBLIK
Penulis: Dewasasri M Wardani 09:35 WIB | Jumat, 29 Juli 2016

Kongres InaHEA Rekomendasikan Revisi Iuran JKN

Ilutrasi Kongres Indonesian Health Economics Assosiation (InaHEA) ke-3. (Foto: inahea.org)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kongres Indonesian Health Economics Assosiation (InaHEA) ketiga, yang digelar di Yogyakarta merekomendasikan pemerintah segera merevisi besaran iuran dan bayaran fasilitas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ke harga keekonomian yang dinamis.

"Tantangannya untuk menyelesaikan persoalan defisit JKN lebih ke politik kesehatan, apakah berani menaikkan iuran," kata Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany di sela-sela Kongres InaHEA ketiga di Yogyakarta, hari Jumat (29/7).

Solusi lain yang, menurut dia, perlu diupayakan sebagai sumber dana lain menutupi defisit JKN, menurut dia, yang paling layak dan siap tersedia berasal dari mobilisasi potensi dana cukai rokok yang bisa mencapai Rp 70 triliun per tahun. Jika dua hal di atas tidak dilaksanakan dipastikan defisit tetap akan terjadi, dan di 2016 dapat mencapai Rp 9 triliun.

Kenaikkan persentase anggaran belanja negara di sektor kesehatan menjadi lima persen dari APBN di 2016, atau mencapai Rp 30 triliun hingga Rp 40 triliun sehingga menjadi Rp 110 triliun, belum membuat belanja kuratif Pemerintah menjadi yang terbesar mengingat masih kurang dari 25 persen dari total anggaran sektor kesehatan. Hal yang perlu dipertanyakan, menurut dia, apakah belanja sisanya benar-benar disalurkan untuk promosi preventif kesehatan.

Persoalan layanan kesehatan yang merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk menghapuskan antrian panjang bagi pemegang kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, menurut Ketua Indonesian Health Policy Network Laksono Trinantoro, memang tidak akan selesai hanya dengan menaikkan iuran penerima Bantuan Iuran (PBI) dan nonPBI saja.

Ia mengatakan, pemetaan fasilitas dan tenaga kesehatan hingga jasa dokter spesialis dan subspesialis, harus segera dilakukan, sehingga tidak terfokus di kota-kota besar saja dan di Pulau Jawa. Bisa saja persoalannya jumlah dokter yang kurang di satu lokasi, sehingga membuat antrean panjang sering terjadi.

Ketidakseimbangan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia (SDM) kesehatan antar daerah, jelas menjadi peningkatan ketidakadilan. Kementerian Kesehatan (Kemkes) harus segera membantu membangun fasilitas kesehatan di kabupaten/kota dan provinsi yang kemampuan ekonominya lemah.

"Fasilitas rumah sakit tipe C dan D yang jelas harus diperbanyak, ditambah dengan pemetaan tenaga kesehatan serta kebijakan kompensasi yang harus segera berjalan," kata dia.

BPJS, harus segera menjalankan kebijakan kompensasi untuk daerah-daerah yang kekurangan fasilitas dan tenaga kesehatan, selain juga meningkatkan kapitasi untuk "case base group" (CBG) dan dokter praktik swasta yang hanya Rp 8.000 per orang per bulan ke angka keekonomian.

Sementara itu, Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mundiharnon mengatakan, keberlanjutan keuangan memang menjadi persoalan utama pelaksanaan JKN. Semua itu berkaitan dengan persoalan besaran iuran.

Disparitas iuran peserta mandiri, atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas II dan III terlalu jauh sehingga, menurut dia, terjadi perpindahan yang tinggi peserta BPJS dari kelas II ke kelas III. Iuran PBPU kelas I mencapai Rp 80.000, kelas II Rp 53.000 (aktuaria Rp 61.000), dan kelas III Rp 25.000.

"Awalnya akan dinaikkan menjadi Rp 30.000 sedangkan aktuaria Rp 36.000, tapi diprotes parlemen sehingga iuran menjadi Rp 25.000. Perpindahan terjadi dari kelas II ke kelas III, namun saat akan menjalani pelayanan kesehatan mereka menaikkan iuran untuk bisa dapat pelayanan kelas II," kata dia.

Meski demikian, ia mengatakan untuk bisa menjaga keseimbangan keuangan jangka pendek, satu hingga dua tahun, tidak mungkin besaran iuran dinaikkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) mengingat penyesuaian belum lama dilakukan.

Satu-satunya jalan yang sedang dilakukan BPJS Kesehatan, katanya, adalah mengoptimalkan perolehan peserta penerima upah (PPU) dari sektor swasta. "Kalau BUMN sudah, meski tidak semua karyawannya diikutkan di tiap perusahaan. Yang swasta ini yang ingin kita akses, yang di 2015 potensinya 45 juta orang". (Ant)

Editor: Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home