Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 09:31 WIB | Rabu, 28 September 2016

Mantan PM Israel Shimon Peres Meninggal

Mantan Presiden Israel, Shimon Peres (kanan) dan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas serta Paus Fransiskus, bertemu di Vatikan, Minggu (8/6/2016) untuk berdoa bersama. (Foto-foto: AFP)

TEL AVIV, SATUHARAPAN.COM - Negarawan paling senior Israel, Shimon Peres, meninggal pada usia 93 tahun setelah dirawat karena serangan stroke dan berjuang untuk tetap hidup di sebuah rumah sakit Tel Aviv.

Peres, menderita stroke berat pada 13 September 13 lalu. Dokter mengatakan ia telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan sehari kemudian dan terus meningkat selama beberapa hari. Tapi pada hari Selasa (27/9), fungsi pernapasan dan ginjalnya menurun, The Times of Israel mengatakan.

Berita meninggalnya Peres dikonfirmasi oleh kantor berita Israel News Agency.

Mantan tentara, Peres berbalik menjadi politisi yang memulai program nuklir negara itu, dan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1994 untuk perannya dalam merumuskan Kesepakatan Oslo, kesepakatan yang menyerukan negara Palestina berdamai dengan Israel.

Selama karier politik 55 tahun-nya, Peres pernah menjadi perdana menteri (tiga periode), menteri luar negeri, menteri keuangan dan wakil menteri pertahanan. Ia juga pernah menjabat sebagai presiden dari 2007 sampai 2014, presiden ke-9 Israel.

Ia memainkan peran utama dalam mengembangkan industri pertahanan dan keamanan Israel, yang saat ini memasok persenjataan militer AS dan berbagai negara lain di dunia, dengan teknologi mutakhir dan inovasi seperti pertahanan rudal, keamanan cyber dan drone.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, Peres banyak mempromosikan pertukaran ekonomi dan budaya antara Israel dan Palestina. Dia juga mendirikan Pusat Perdamaian Peres pada tahun 1996 untuk mempromosikan koeksistensi antara Arab dan Yahudi di Israel.

Lahir dengan nama Shimon Perski pada tahun 1923 di sebuah kota Polandia yang sekarang dikenal sebagai Valozhyn di Belarus, Peres dan keluarganya berimigrasi ke Palestina pada tahun 1934. Ia bergabung dengan Haganah Yahudi pada tahun 1947. Dia adalah anak didik David Ben-Gurion, yang kemudian menjadi perdana menteri pertama Israel dan mengangkat Peres pada usia 24 untuk menjabat kepala angkatan laut Israel.

Sebagai Wakil Menteri Pertahanan 1959-1965 dari negara yang dikelilingi oleh musuh bebuyutan untuk menghancurkannya, Peres memperluas industri senjata Israel yang dikelola oleh negara.

Dia diangkat sebagai direktur jenderal di Kementerian Pertahanan Israel pada usia 29. Selama waktu itu, Peres juga membantu menegosiasikan perjanjian militer dengan Prancis, Inggris dan Jerman, yang membantu mempersenjatai militer Israel dan angkatan udara kebanggaannya.

Dia juga memulai program penelitian nuklir rahasia, dengan reaktor nuklir di Dimona dan Sorek, yang nantinya akan mengembangkan apa yang diyakini oleh para ahli proliferasi nuklir sebagai satu-satunya senjata nuklir di kawasan itu.

Sementara Peres membantu membangun fondasi industri pertahanan Israel, ia juga seorang pembawa damai, dan memperoleh penghargaan internasional.

Sebagai menteri pertahanan pada tahun 1974, Peres menegosiasikan kesepakatan interim dengan Mesir di Semenanjung Sinai, yang direbut Israel pada tahun 1967 dan gagal direbut kembali oleh Mesir pada tahun 1973. Kedua negara menandatangani perjanjian perdamaian tahun 1979 dan mengembalikan Sinai kepada Mesir.

Peres juga mengadakan pertemuan rahasia dengan Raja Yordania Hussein yang menghasilkan penandatanganan perjanjian perdamaian pada tahun 1994 antara Israel dan Yordania di bawah pemerintahan Yitzhak Rabin.

Sebagai perdana menteri, 1984-1986, Peres bekerja untuk membebaskan ribuan orang Yahudi dan para pembangkang dari Uni Soviet sebelum keruntuhannya. Ia mengawasi "Operasi Musa," yang menerbangkan 8.000 orang Yahudi Afrika dari Etiopia yang dilanda perang untuk keselamatan di Israel.

Meskipun ia telah dianugerahi Nobel kegagalan Kesepakatan Oslo untuk memelihara perdamaian dengan Palestina telah menjadi semacam noda atas warisan Peres di mata sebagian orang Israel.

Perjanjian Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina dinilai memberi legitimasi pada sebuah organisasi teroris yang para pemimpinnya berada di pengasingan di Tunisia ketimbang mengangkat tokoh lokal Palestina di Tepi Barat dan Gaza, yang lebih tertarik pada manfaat praktis dari perdamaian, kata Efriam Karsh, seorang profesor studi politik di Universitas Bar Ilan di Yerusalem, sebagaimana disiarkan oleh usatoday.com.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home