Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 20:15 WIB | Selasa, 20 Agustus 2013

Masyarakat Adat Ada Sebelum Indonesia Ada

Deputi Advokasi Hukum dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mina Susana Setran. (Foto Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Masyarakat adat sudah ada sebelum kolonisasi terjadi, sebelum Indonesia ada. Gerakan atau perjuangan masyarakat adat dimulai ketika muncul intervensi-intervensi dari luar terhadap mereka dengan mulai masuknya agama baru, masuknya konsep negara, dengan terbentuknya kerajaan dan kesultanan.

Keterangan ini disampaikan Deputi Advokasi Hukum dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mina Susana Setran, dalam Dialog Interaktif “Masyarakat Adat Membangun Aliansi: Menjunjung Tinggi Pakta, Perjanjian-Perjanjian, dan Pengaturan Konstruktif Lainnya” di Jakarta pada hari Senin (19/8).

“Sebelum ada kerajaan, kesultanan, yang ada komunitas-komunitas. Kerajaan, kesultanan muncul dengan memperkenalkan konsep itu. Waktu itu dimulai dengan penguasaan atas tanah, fokus pada kepemilikan yang lebih sedikit. Muncul elitis. Dari situ berkembang lebih besar sehingga muncul kerajaan, kesultanan dan sebagainya," kata dia.

"Waktu itu mulai muncul perlawanan-perlawanan kecil. Perlawanan waktu itu dengan memisahkan diri dari kelompok yang lebih dominan, misalnya komunitas Badui, masyarakat Tengger, Sedulur Sikep,” kata Mina Susana Setran menguraikan sejarah perlawanan masyarakat adat di Indonesia.

Di masa kolonial, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bekerjasama dengan bangsawan pada tahun 1602-1609 menguasai perdagangan dan komoditas ekspor. Setelah itu VOC, bangsawan, pemerintahan kolonial, mulai mengeksploitasi sumber daya alam.

Di masa pemerintah kolonial, keluar Undang-Undang Agraria taun 1870 yang melahirkan konsep tanah negara. Dibarengi dengan munculnya konsep itu, agama-agama baru ini makin berkembang. Dengan masuknya VOC, pedagang-pedagang, agama-agama baru mulai menghimpit agama-agama asli dan menimbulkan perlawanan.

Salah satu contoh perlawanan masyarakat adat bisa dilihat dari perlawanan Sisingamangaraja. Perlawanan Sisingamangaraja bukan hanya menentang VOC saja tetapi perlawanan terhadap agama baru yang masuk di komunitas mereka.

“Pada masa Orde Lama, terjadi hal-hal yang cukup menarik. Adanya konsep Bhinneka Tunggal Ika, UUD ’45, mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat adat, Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang sifatnya lebih populis memberi kuleluasaan lebih pada masyarakat adat soal tanah. Energi sosial politik difokuskan untuk membangun negara. Tetapi persoalannya pada waktu itu, militer kuat dalam kehidupan sosial politik Indonesia," kata Mina. 

Dia menambhakan, "Dalam posisi itu sebenarnya masyarakat adat masih punya ruang karena ada kebijakan dan konsep yang mendukung keberadaan mereka.”

Mina Susana Setran mengatakan bahwa zaman Orde Baru dengan karakter rezim yang kapitalistik sentralistik militeristik mengembalikan konsep tanah milik negara.

“Konsep yang dulu Undang-undang Agraria Tahun 1870, Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960, tentang tanah milik negara kembali lagi di zaman ini. Undang-undang Pemerintahan Desa yang membikin penyeragaman. Pelbagai Undang-undang sektoral terjadi di  zaman rezim Orde Baru ini," kata dia.

"Di zaman rezim Orde Baru ini perampasan wilayah adat banyak sekali terjadi di zaman rezim Orde Baru. Di zaman rezim Orde Baru, perlawanan masyarakat secara terbuka semakin banyak bermunculan di pelbagai wilayah. Semakin banyak dieksploitasi, perlawanan semakin bermunculan," kata dia menagaskan.

Dalam banyak perlawanan ini, masyarakat adat mendapat dukungan aktivis lingkungan dari dalam dan luar negeri dan aktivis pembaruan agraria. Kemudian mulai teroganisir tahun 1993 dengan dibentuknya Japhama, Jaringan Pembela Hak Masyarakat Adat. "Ini yang kemudian membuat teman-teman mulai berkumpul dan memikirkan mendorong gerakan masyarakat adat  yang lebih teroganisir di Indonesia. Kelompok ini kemudian mendesar dibuatnya suatu pertemuan yang kemudian menghasilkan Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999,” kata dia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home