Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 16:40 WIB | Kamis, 26 Maret 2015

Mengapa Islam Enggan Memperlihatkan Erotisme kepada Publik?

Dr. Abdul Moqsith Ghazali, M.A (kelima dari kanan) mengungkapkan erotisme perspektif Islam dalam "Sekolah Agama ICRP: Teks Erotisme dalam Agama", di Megawati Institue, Jakarta, Rabu (25/3). (Foto: ICRP)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perbincangan yang menyinggung hal-hal erotisme dalam agama, khususnya Islam, tampaknya memang tidak biasa dan menjadi tabu. Hal ini terlihat saat Dr. Abdul Moqsith Ghazali, M.A berbicara sebagai salah satu narasumber dalam seminar Sekolah Agama yang diselenggarakan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) bertajuk Teks Erotis dalam Agama, di Sekretariat Megawati Institute, Rabu (25/3).

Dalam seminar tersebut, Kiai Moqsith, sapaan akrab beliau, mengaku grogi karena tidak biasa mempercakapkan tentang erotisme, sebab hal itu biasanya berada dalam wilayah yang sangat privat. “Jarang erotisme menjadi percakapan publik, terlebih di kalangan teman-teman Muslim,” ujar Moqsith.

Awalnya, ia kurang percaya diri dan khawatir dalam Islam tidak ada teks-teks yang menggambarkan erotisme. Namun, ia berhasil menyuguhkan tiga teks berbahasa Arab yang mengandung unsur-unsur erotika, salah satunya Al-Rawdh al-’Athir fi Nuzhat al-Khathir karya Syekh al-Nafzawi, ulama asal Tunisia, pada abad 16.

Kiai Moqsith menjelaskan, di dalam Alquran memang ada kisah romansa percintaan antara Nabi Yusuf dan Zulaikha ataupun gambaran tentang rupa Nabi Muhammad yang mampu menarik hasrat perempuan, namun tidak sampai pada praktik-praktik mekanisme persetubuhan.

Ia mengatakan ada satu kelompok dalam Islam yang sangat kaku memandang tubuh perempuan. “Bagian-bagian yang sangat privat itu hanya dinikmati di ruang privat, bukan di ruang publik,” kata Dosen Filsafat dan Agama UIN Jakarta tersebut. “Maka, tubuh tidak bisa dibiarkan liar,” ia melanjutkan.

Ekspresi-ekspresi gerak tubuh manusia pun diatur, seperti munculnya aturan mengenai menari di ruang pubik ataupun aturan mengenakan busana, khususnya bagi perempuan. Bahkan, patung telanjang saja harus dijilbabi karena bisa memunculkan imajinasi-imajinasi yang liar. “Segala potensi yang dapat memunculkan imajinasi yang liar berdampak pada kemaksiatan,” ia menjelaskan. “Dikhawatirkan perzinaan terjadi.”

Seksualitas memang menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun, sering imaji-imaji seksual dalam benak manusia harus disumblimasi, harus ditekan ke bawah karpet kemudian ditarik ke atas dalam bentuk energi spiritual yang ingat kepada Allah. “Bayangan-bayangan perempuan atau laki-laki lain itu tidak boleh ada, makanya diisi oleh banyak zikir,” kata Moqsith. Orang-orang yang disebut suci dalam Islam, lanjutnya, adalah orang-orang yang otak dan hatinya hanya mengarah kepada Allah.

Itulah sebabnya, sebagian teman-teman Muslim ada yang enggan bersalaman dengan lawan jenis karena mereka memiliki standar kehidupan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Meskipun demikian, bukan berarti hal ini melarang laki-laki dan perempuan untuk menjalin hubungan. “Cinta itu pemberian dari Tuhan. Yang tidak boleh itu adalah ekspresi yang bersifat badaniah dari cinta itu,” ujar Kiai Moqsith.

Terkait dengan teks-teks berbahasa Arab yang mengandung unsur erotisme, diakui penulis disertasi Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis pada 2007 ini, hanya bersifat individual dan imajinasi pengarangnya. “Itu tidak ada dalam hadis dan Alquran,” katanya

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home