Miss Iran Tiga Pekan Terdampar di Filipina
MANILA, SATUHARAPAN.COM- Seorang ratu kecantikan asal Iran terdampar selama tiga pekan di bandara Filipina, karena pemerintah Iran mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadapnya atas tuntutan Interpol.
Namun, Bahareh Zare Bahari, miss Iran itu, mengatakan bahwa kasus terhadap dirinya adalah palsu. "Ada kasus palsu terhadap saya," Bahari, kepada Al Arabiya. Dia mewakili Iran dalam kompetisi Miss Intercontinental pada tahun 2018.
Bahari menjelaskan bahwa dia belum tinggal di Iran sejak tahun 2014, jadi dia tidak bisa melakukan kejahatan apa pun yang dituntut oleh Interpol Iran terhadapnya.
"Yang penting adalah saya bisa membuktikan itu palsu, karena saya tidak berada di Iran dari 2014 ... sampai sekarang ... saya tidak di Iran untuk melakukan kejahatan apa pun. Saya pikir itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa itu adalah kasus palsu terhadap saya,” tambahnya.
Menurut dia, Interpol mengirim dua surat sebelumnya, tetapi mereka tidak memberikan alasan yang jelas untuk penangkapannya. Bahari menuduh bahwa pemerintah Iran berusaha menggunakan Interpol untuk menangkapnya karena alasan politik. Menurut situs web Interpol, ia memiliki kantor di Teheran yang terdaftar di bawah Biro Pusat Nasional Teheran.
“(Pemerintah Iran) mencoba menipu Interpol. Anda tahu sangat mudah bagi pemerintah Iran untuk membuat kasus palsu di Iran dan kemudian melaporkannya ke Interpol Iran, dan meminta Interpol Iran untuk mengirim surat atau email ke Interpol lain," katanya.
Kasus ini mengemuka ketika petugas imigrasi Filipina berusaha mendeportasi Bahari ke Iran awal bulan ini. Menurut Bahari, dia meninggalkan Filipina pada 29 September ke Dubai dan tidak punya masalah meninggalkan bandara. Namun, sekembalinya pada tanggal 7 Oktober, staf bandara menyita paspornya dan mengatakan bahwa dia harus kembali ke Iran karena “catatan merah” Interpol padanya.
Gagal Dideportasi
"Saya duduk di lantai untuk mendapatkan perhatian orang-orang, karena itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidup saya," kata Bahari. Dia menceritakan bagaimana dia berhasil menghindari dideportasi. "Jika Anda mendeportasi saya, saya akan dihadapkan pada setidaknya 21 tahun atau 25 tahun (penjara) ... mungkin mereka akan membunuh saya," kata Bahari katanya kepada staf bandara. Teman-teman Bahari kemudian meminta PBB, yang untuk sementara menghentikan deportasinya.
Sejak saat itu ia bersembunyi di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, dan tidak dapat pergi, ketika permohonan suaka politiknya diproses.
Bahari mengatakan dia akan mendapatkan hasil permohonannya untuk suaka politik pekan depan. Meskipun dia bersyukur karena tidak dideportasi, Bahari mengajukan suaka politik ke negara lain, karena dia merasa dia masih dalam bahaya di Filipina. "Hidup saya masih dalam bahaya ... Saya hanya berharap mereka memindahkan saya ke negara lain," katanya.
Lembaga-lembaga yang memproses permohonannya sedang menunggu untuk mendengar apakah Interpol Iran akan menghapus pemberitahuan tentangnya, meskipun Bahari tidak berharap hasilnya: "Tapi saya yakin Iran tidak akan pernah, tidak akan pernah melakukan itu, saya yakin bahwa Iran tidak akan pernah mengatakan kebenaran kepada mereka."
Bahari mengaku dia menerima dukungan dari "rakyat Iran" dan jurnalis di seluruh dunia, serta organisasi politik yang telah membayar untuk pengacaranya. Meskipun begitu, red notice terhadapnya tampaknya belum dihapus.
Iran baru-baru ini dikritik karena pelanggaran HAM, termasuk penahanan berbagai warga negara asing atas tuduhan spionase. Bahari mengaitkan kasusnya dengan berbagai penganiayaan yang lebih luas oleh rezim Iran.
"Ini bukan hanya tentang saya ... Saat ini, saya seperti simbol yang mengatakan pesan (orang) Iran kepada dunia. Mereka berusaha mengatakan kepada dunia bahwa mereka tidak menginginkan rezim teroris ini. Mereka ingin mengubah rezim ini dan berada dalam perdamaian dan hubungan dengan semua negara."
Editor : Sabar Subekti
Hamas dan Fatah Hampir Sepakat Siapa Akan Mengawasi Gaza Pas...
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Para pejabat Palestina mengatakan kelompok Palestina Fatah dan Hamas hampir m...