MK Izinkan Impor Daging Sistem Zona Dengan Syarat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mahkamah Konstitusi (MK), menegaskan penerapan sistem zona dalam impor produk hewan bertentangan dengan konstitusi apabila dilakukan tidak dalam kondisi mendesak.
Hal tersebut terungkap dalam sidang pengucapan putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU No. 41/2014), hari Selasa (7/2).
“Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan,” bunyi Pasal 36E ayat (1) UU No. 41/2014.
Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU No. 41/2014 menyatakan, “Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan Ternak dan/atau Produk Hewan.”
Mahkamah menegaskan, syarat dalam Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU No. 41/2014 mutlak harus diterapkan dalam penggunaan sistem zona ketika negara memasukkan produk hewan ke dalam wilayah NKRI, sehingga secara a contrario harus dimaknai bahwa tanpa terpenuhinya syarat tersebut, pemasukan produk hewan dari zona dalam suatu negara atau dengan sistem zona ke dalam wilayah NKRI adalah inkonstitusional.
Walaupun UU No. 41/2014 telah menganut sistem zona dengan syarat-syarat yang begitu ketat, Mahkamah menegaskan terhadap pemasukan produk hewan dari zona dalam suatu negara, harus dilaksanakan dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian.
“Sehingga Pasal 36E ayat (1) UU No. 41/2014 yang merumuskan ‘zona dalam suatu negara’ haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) yaitu sepanjang sesuai dengan pertimbangan Mahkamah,” kata Hakim Konstitusi, Manahan M.P. Sitompul membacakan pertimbangan hukum seperti dilansir dari mahkamahkonstitusi.go.id, hari Selasa (7/2).
Beda Obyek
Sedangkan terhadap norma Pasal 26C ayat (1), Pasal 36C ayat (3), dan Pasal 36D ayat (1), Mahkamah berpendapat terdapat perbedaan objek pengaturan dengan Pasal 59 ayat (2) UU No. 18/2009 yang telah diputus Mahkamah melalui Putusan Mahkamah No. 137/PUU-VII/2009, tanggal 25 Agustus 2010.
Pasal 59 ayat (2) UU No. 18/2009 menyatakan, “Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan”.
Objek pengaturan norma dalam UU No. 18/2009 adalah produk hewan, berbeda dengan Pasal 36C dan Pasal 36D UU No. 41/2014 yang keduanya menyebutkan Ternak Ruminansia Indukan.
Sedangkan Pasal 1 angka 4 UU No. 18/2009 menyatakan,“Produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia.”
Adapun definisi “Ternak Ruminansia Indukan” dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5b UU No. 41/2014 sebagai “Ternak betina bukan bibit yang memiliki organ reproduksi normal dan sehat digunakan untuk pengembangbiakan”.
Dengan demikian menurut Mahkamah, terdapat perbedaan objek pengaturan antara norma yang telah diputus pada putusan Mahkamah sebelumnya dengan Pasal 36C dan Pasal 36D UU No. 41/2014.
Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan No. 137/PUU-VII/2009 berkenaan dengan syarat keamanan maksimum bagi pemasukan ternak ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI, khususnya yang berasal dari zona dalam suatu negara, telah terpenuhi oleh UU No. 41/2014.
Terlebih lagi putusan Mahkamah sebelumnya hanya terkait mengenai pemasukan “produk hewan” yang dalam hal ini berbeda dengan yang diatur oleh Pasal 36C dan Pasal 36D UU No. 41/2014 yaitu “Ternak Ruminansia Indukan”.
“Oleh karena itu, permohonan a quo yang menjadikan persyaratan keamanan maksimum dalam Putusan Mahkamah No. 137/PUU-VII/2009 sebagai landasan pokok dalam dalil-dalilnya telah kehilangan landasan argumentasinya, sehingga permohonan para pemohon terhadap Pasal 36C ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36D ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2014 tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 129/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh sejumlah dokter hewan, peternak dan pedagang hasil ternak, yaitu Teguh Boediyana, Drh. Mangku Sitepu, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, Rachmat Pambudy, Mutowif, dan Dedi Setiadi.
Pemohon merasa dirugikan dan/atau potensial dirugikan hak-hak konstitusionalnya akibat pemberlakuan zona base di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Pasal 36C ayat (1), Pasal 36C ayat (3), Pasal 36D ayat (1), dan Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah karena prinsip minimum security dengan pemberlakuan zona tersebut mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.
Pemohon menilai, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan justru semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah ketergantungan yang tinggi pada impor ternak dan produk ternak.
Editor : Eben E. Siadari
Perundingan Perjanjian Pencemaran Plastik di Busan Berakhir ...
BUSAN, SATUHARAPN.COM-Negosiasi tentang perjanjian untuk mengakhiri pencemaran plastik telah berakhi...