Loading...
OPINI
Penulis: Martin Aleida 00:00 WIB | Kamis, 14 Januari 2016

Mungkinkah Masyarakat Yang Sakit Ini Disembuhkan?

SATUHARAPAN.COM – Desember lalu, saat peringatan Hari HAM sedunia, di Wisma PGI Teuku Umar diluncurkan buku penting yang mengumpulkan karya para intelektual muda untuk menolak hukuman mati (satuharapan.com, 10 Desember 2015). Buku itu diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, dan disunting oleh Lucia Ratih Kusumadewi dan Gracia Asriningsih.

Buku itu sungguh menonjok ulu-hati para pendendam. Mereka yang menghendaki hukum pembalasan purba “mata ganti mata, gigi ganti gigi” dan bahwa hukuman mati harus dijalankan secepatnya untuk menyelamatkan masyarakat. Dari segi sosiologis, tidak peduli bahwa sikap itu mencerminkan naluri yang rendah. Sementara dari sudut pandang agama, dengan sewenang-wenang telah merebut hak pembalasan yang berada di tangan Tuhan. Dengan begitu, menampik keyakinan bahwa “hanya Tuhanlah yang tahu lubuk hati manusia dan karena itu tahu betul besar-kecilnya kesalahan seseorang.” Semua penulis di dalam himpunan tulisan ini, dengan argumentasi sosiologis, hukum, dan etika kemanusiaan, menyebutkan hukuman mati, sebagai warisan budaya zaman kegelapan dan dendam, tak bisa diterima dan harus ditinggalkan.

Jajaran penulis yang buah pikirannya disajikan dalam buku ini terdiri dari Antonius Cahyadi (pengajar  di fakultas hukum Universitas Indonesia), Benny Hari Juliawan (pengajar di Universitas Sanata Dharma), Lucia Ratih Kusumadewi (pengajar di Universitas Indonesia), Wisnu Adihartono Reksodirdjo (doktor sosiologi dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Marseille, Perancis). Yerry Wirawan (penggajar di Sanata Dharma), Julius Ibrani (pegiat hak-hak asasi manusia, koordinator bantuan hukum di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Robertus Robet (penggajar di Universitas Negeri Jakarta dan dosen luar biasa di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), Poengky Indarti (Direktur Eksekutif Imparsial), Truly Hitosoro (peneliti di Pusat Kajian Kriminologi, Universitas Indonesia), Andy Yentriyani (peneliti, pelatih, dan pegiat bidang demokrasi, perdamaian dan keamanan, dan penghapusan diskriminasi, terutama terhadap perempuan), Gracia Asriningsih (pegiat di bidang pemberdayaan perempuan). Dengan pengantar pamungkas yang ditulis Frans Magnis-Suseno.

Sebagian penulis dengan buku "Menolak Hukuman Mati" saat diluncurkan 10/12 lalu  [Dok satuharapan.com]

Pembicaraan publik mengenai hukuman mati ramai, kontroversial, sekitar lima bulan setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden. Kelihatannya, dalam menghadapi gejolak politik yang dihadapinya, untuk mempertahankan citra, sang Presiden serta-merta berusaha merebut hati masyarakat ketika dia dengan terbuka dan tegas menolak permohonan grasi dari sejumlah terhukum dalam kasus narkoba. Beliau mengemukakan argumentasi yang diperkuat data statistik untuk memperteguh pendirian bagian terbesar masyarakat, bahwa terhukum mati dalam kasus narkoba memang harus menemukan pembalasan setimpal: eksekusi mati! Walau data dalam statistik tersebut diragukan keabsahannya secara metodologis oleh sejumlah ahli.

Dari sini bisa dimaknai bahwa tujuan politik, yang memperoleh pembenaran dari sikap mata-gelap publik, yang belum tercerahkan oleh pandangan kemanusiaan, telah berhasil mengalahkan tujuan utama sebuah negara, yaitu memuliakan warganya, menjunjung tinggi peradaban dan menyingkirkan naluri balas-dendam. Kata maaf dan pengampunan telah menjadi pilihan yang telah disingkirkan, karena tidak akan menolong citra pemerintah, wajah seorang penguasa. Jadi, sahihlah pertanyaan, apakah kebijakan eksekusi mati ini lebih didasarkan atas “keinginan untuk memenangkan suatu kesan prestasi cepat di awal  pemerintahan,” sebagaimana yang ditulis oleh Robertus Robet.

Yang bisa disimpulkan adalah bahwa Jokowi memang menang secara lokal, karena dukungan masyarakat pendendam, tetapi takluk secara internasional, karena gagal memenuhi panggilan nuraninya yang coba digugah sejumlah pemimpin negara besar. Ini terlihat dari derasnya kecaman yang dia tuai dari para pemimpin negara yang warganya menjadi korban. Tenggang rasa, peka terhadap sikap para pemimpin negara lain, yang menghimbau pengampunan berdasarkan kemanusiaan, telah dikalahkan untuk memenangkan hati mereka yang belum terketuk.

Kekuasaan tidak mendengarkan suara hati, tapi perhitungan untung-rugi berdasarkan selisih suara antara yang mendukung dan menolak. Tetapi, kemajalan hati itu nampaknya harus terus-menerus berhadapan dengan nilai-nilai etika baru. Dan inilah barangkali yang harus ditangungkan seorang Presiden yang berhati polos namun mudah hanyut, ketika dia ditinggalkan begitu saja oleh sejumlah tokoh dunia pada saat akan berpidato di pertemuan puncak mengenai lingkungan di Paris belum lama ini.

Hukuman mati tanpa ampun oleh seorang Presiden menemukan dukungan kekuatan politik dari pembenaran sikap balas-dendam masyarakat yang dipupuk oleh naluri yang rendah. Pembusukan karakter balas-dendam menjadi lebih memprihatinkan dengan munculnya media massa yang menjadikan eksekusi mati sebagai tontonan.  Seakan-akan eksekusi tidak berarti apa-apa kalau tidak ramai-ramai diburu dan ditayangkan untuk memuaskan selera publik. Dengan demikian, sebuah prosesi kematian telah berubah menjadi pesta yang tak-boleh-tidak harus dinikmati. Dan bahwa dendam harus dan sudah dituntaskan. Maka, sempurnalah kita sebagai masyarakat yang sedang sakit. Retorika bahwa Indonesia adalah “bangsa yang besar” harus berhadapan dengan posisi yang nyata-nyata direndahkan.

Lalu, mungkinkah kita menjadi masyarakat yang sehat, yang bermartabat? Jawabannya: sangat sulit, kata Lucia Ratih Kusumadewi, penulis sekaligus editor buku ini. Sangat sulit, katanya melanjutkan, disebabkan situasi sakit jiwa masyarakat Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dan dipupuk terus.

Lucia menguraikan: “Peristiwa pembunuhan massal tahun 1965 dapat dikatakan merupakan awal penghancuran kita sebagai bangsa. Hingga saat ini masyarrakat kita tidak pernah bisa ‘berdamai’ dengan luka sejarah itu. Walau sebelum pristiwa berdarah itu telah banyak peristiwa berdarah lainnya yang dapat dijadikan ujian bagi kewarasan bangsa ini, namun peristiwa tahun 1965 benar-benar menjadi titik penghancuran psikologis yang paling berdampak pada watak sosial masyaakat kita. Di saat itulah masyarakat benar-benar belajar untuk membunuh dengan tangan dingin sesama anak bangsa tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.”

Menurut dia, hanya sebagian kecil kelompok yang tiada henti “mengingatkan kegilaan dan kekejaman di masa lalu itu.” Bagian terbesar masyarakat Indonesia, kata Lucia, berpendirian bahwa peristiwa pembinasaan manusia secara besar-besaran tersebut “memang layak terjadi dan tak perlu disesali.”

Masa yang kelam, di mana pembunuhan, penghukuman tanpa pengadilan, termasuk penembakan misterius, pembunuhan aktivis, itulah nampaknya yang memberi pupuk bagi karaktek yang menganggap nyawa manusia begitu tidak berharga. Di mana kata “maaf” dan kerelaan untuk menelisik sesuatu perkara yang menyangkut nyawa manusia dengan hati dan sikap yang jujur, telah menjadi sesuatu yang mustahil di satu negara yang melabel dirinya dengan sila perikemanusiaan yang beradab.

 

Penulis adalah sastrawan

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home