Loading...
OPINI
Penulis: Fidelis Regi Waton 00:00 WIB | Senin, 18 Januari 2016

Konstelasi Kepercayaan Politik

SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tentu menduduki ranking teratas dalam skala barometer kepercayaan publik. Kinerja yang tidak becus dan diperparah oleh ulah anggotanya yang lupa identitas dan tidak beradab semakin mengeruhkan kredibilitas politik DPR.

Kedua anekdot berikut mengadung mosi tidak percaya sekaligus sebagai dentang kematian kepercayaan politik rakyat terhadap para wakilnya. Anekdot pertama: Bus rombongan anggota DPR yang lagi reses tergelincir masuk jurang. Banyak warga mendatangi tempat kecelakaan dan dengan sigap melakukan penguburan massal. Polisi yang telat ke lokasi kejadian bertanya: “Apakah Bapak-Ibu yakin mereka sudah mati? Kok langsung dikuburkan semuanya?“ Para warga menjawab dengan kompak: „Maaf Pak, sebenarnya tadi ada yang berteriak-teriak dan bilang masih hidup. Tapi Bapak tahu sendiri kan, omongan mereka tidak bisa dipercayai.”

Anekdot kedua: Ibu guru bertanya kepada siswa-siswinya di kelas: “Anak-anak, seandainya pesawat Boeing 747 menabrak gunung dan penumpangnya adalah semua anggota DPR, berapa orang yang selamat?” Dengan suara bulat muncul jawaban: “270 juta rakyat Indonesia, Bu”.

Kepercayaaan dan politik dikategorikan sebagai tema sentral dalam kehidupan bersama yang bebas dan demokratis. Kediktatoran hidup dari ketakutan rakyat terhadap otoritas politik, sedangkan nadi demokrasi adalah  kredibilitas.

Secara politis dibedakan antara kredibilitas pribadi dan institusi. Kepercayaan pribadi diperoleh pihak yang kompeten, benar dan adil. Jika seseorang adil dan benar, namun tidak kompeten, ia tidak mendapat banyak kepercayaan. Jika seseorang kompeten, tetapi  kompetensinya hanya digunakan untuk keuntungannya sendiri, maka ia tidak adil dan akan kehilangan kepercayaan. Keadilan, kebenaran dan kompetensi tidak bisa dipisahkan. Kepercayaan institusi berkaitan dengan personil terpercaya yang merepresentasikannya. Institusi yang dipercayai harus tidak memihak, sinerjis, setia pada aturan dan tugas pelayanan masyarakat.

Kredibilitas merupakan kategori fundamental sistem demokrasi. Demokrasi lahir dari kemauan dan pilihan bebas para warga untuk bekerja sama berdasarkan aturan main tertentu. Demokrasi tidak akan berjalan jika terdapat fenomen ketidakpercayaan dan kebohongan sistematis. Andaikan masyarakat dilanda ketidakpercayaan, maka lenyap kemauan untuk bekerja sama.

Dalam masyarakat transisi dari kediktaturan ke demokrasi bertengger kuat rasa sangsi dan curiga, karena negara hukum maupun demokrasi liberal belum sanggup menjamin kepastian partisipasi publik. Kepercayaan lazimnya hanya beroperasi pada zona privat. Iklim kepercayaan sosial baik pada level vertikal maupun horisontal masih terkontaminasi. Masyarakat transisi ditantang untuk mengubah kondisi kesangsian permanen. 

Menurut Thomas Hobbes secara alamiah manusia berkompetisi untuk mempertahankan hidup (struggle of life) dan mengintai keuntungan pribadi. Yang lain dipatok sebagai musuh. Homo homini lupus – manusia adalah serigala bagi sesamanya. Berbeda dengan Hobbes, John Locke mengatakan bahwa secara alamiah manusia menghirup oksigen saling percaya. Meskipun begitu selalu saja ada yang bohong dan curang, sehingga orang mesti hijrah dari suasana alamiah dan mengonstruksi institusi sosial dengan sistem hukum atau aturan bersama.

Hidup bersama dalam masyarakat hanya bisa berfungsi jika kita saling mempercayai, jika saya percaya bahwa orang lain bisa berbuat baik. Jika saya mempercayai seseorang, maka saya terdahulunya percaya kepada diri sendiri, karena saya harus berkalkulasi bahwa saya bisa dikecewakan. Siapa yang takut dikecewai, ia tidak bisa memberikan kepercayaan sejati kepada orang lain. Diplomat Perancis Francois Rochefoucauld mematok percaya diri sebagai sumber percaya kepada yang lain. Percaya kepada orang lain dan percaya kepada diri sendiri bercorak resiprokal.

Bagaimana caranya agar medali emas kepercayaan bisa diraih? Dalam karyanya Kritik der Urteilskraft (Kritik atas putusan) Immanuel Kant menekankan betapa penting korelasi antara “common sense” (akal sehat)  dan “responsibility” (tanggung jawab). Kepercayaan politik dengan basis akal sehat dan tanggung jawab seyogyanya mengindahkan beberapa maksim (prinsip).

Pertama,  otonomi atau independensi dalam berpikir yang diinspirasi ajakan kedewasaan rasional mahzab pencerahan “sapere aude” (beranilah menggunakan akal budimu sendiri). Seorang pemimpin publik bukanlah pembeo program partai. Ia harus sanggup melahirkan pandangan dan konsep pribadi. Di sini tertuang wacana otentisitas: Ia mengatakan apa yang dipikirkannya dan melakukan apa yang dikatakannya.

Kedua, berpikir bulat (prinsip koherensif). Seorang politikus tidak harus selalu mengatakan yang sama, ia juga boleh mengubah pendapatnya, namun ia harus sanggup melandaskannya, mengapa ia mengubah pandangannya (legitimasi). Setiap saat berpikir bulat juga berarti ia senantiasa sadar akan apa yang telah dipikirkan, dikatakan dan dilakukannya (refleksi).

Ketiga, prinsip keseimbangan sebagaimana testimoni asas hukum Romawi “audiatur et altera pars” (mendengarkan pihak lain). Sang pemimpin menempatkan diri dalam cara pandang  dan pikiran orang lain, ia sanggup menempatkan diri dalam yang lain. Dengan itu ia mampu  mengetahui dengan baik apa yang diharapkan orang lain darinya dan gampang mendekati kehendak umum.

Mungkin tidak gampang diimplementasi ketiga prinsip bernas ini. Namun cuma  dengan cara ini seseorang layak dipercayai dan memenangkan kepercayaan sebagai aset atau modal sosial yang penting dan strategis. Menurut Robert Putnam modal sosial merupakan satu-satunya kapital yang tidak pernah defisit atau berkurang, jika diinvestasikan. Ia akan selalu membesar dan produktif (menghasilkan komponen-komponen sosial yang ekspansif ke tengah pelbagai jaringan dan pranata publik). 

 

Penulis adalah alumnus Filsafat Politik Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home