Loading...
SAINS
Penulis: Tjhia Yen Nie 14:05 WIB | Rabu, 28 Mei 2014

Orang Tua Harus Menjaga Gambaran Diri yang Positif

Orang Tua Harus Menjaga Gambaran Diri yang Positif
Seminar Parenting Mengatasi Krisis Komunikasi dengan Anak, diadakan Komisi Dewasa GKI Klasis Banten, Sabtu (24/5) di Gedung SD Kristen Penabur, Gading Serpong, Tangerang.
Orang Tua Harus Menjaga Gambaran Diri yang Positif
Konsultan pendidikan Charlotte Priatna.
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM - Konsultan pendidikan Charlotte Priatna mengingatkan pada orang tua agar menjaga gambaran diri yang positif di depan anak-anaknya, karena apa yang dilakukan orang tua tanpa disadari bisa menyakiti perasaan anak yang dapat mengakibatkan kesulitan setelah dewasa nanti. 
 
“Menjaga self image (gambaran diri) pada anak adalah hal yang harus dilakukan orangtua pada anak-anak, karena tanpa disadari apa yang dikatakan atau dilakukan orangtua dapat menyakiti perasaan anak, membuat hubungan mereka tidak terjalin baik, dan akan mengakibatkan kesulitan pada anak tersebut setelah beranjak dewasa,” kata Charlotte Priatna dalam Seminar Parenting Sabtu (24/5) di Gedung SD Kristen Penabur, Gading Serpong, Tangerang.
 
Seminar berjudul Mengatasi Krisis Komunikasi dengan Anak ini diadakan Komisi Dewasa GKI Klasis Banten dan dihadiri oleh peserta dari GKI Gading Serpong, GKI Serang, GKI Perumnas, GKI Villa Melati, GKI Kosambi Timur, GKI Sutopo, dan GKI Griya Merpati Mas.
 
“Komunikasi yang baik adalah komunikasi 2 arah, jika orangtua menyampaikan pesan AAA, anak harus menerima pesan AAA, bukan ABB atau AAB.” kata Charlotte Priatna menekankan supaya orangtua harus memahami anak-anaknya. 
Menurutnya komunikasi memerlukan relasi, tidak sama dengan percakapan, komunikasi juga dapat dilakukan secara non verbal, melalui kode yang bisa dimengerti bila ada relasi dan kepercayaan di antara keluarga.
 
Charlotte Priatna menjelaskan, banyak anak sekarang yang tidak terlatih dalam berkomunikasi, bermain gadget sejak kecil, sehingga kemampuan komunikasi dan relasi dengan orangtua menipis. 
 
Dia mencontohkan permainan petak umpet yang sering dimainkan dulu, adalah permainan yang menanamkan nilai kepercayaan, di mana yang menutup mata akan menghitung sampai semua temannya bersembunyi, demikian juga dengan teman-temannya akan bersembunyi menurut hitungan.  Ada kepercayaan di antara teman, dan itu yang sudah terkikis pada anak-anak sekarang.
Seharusnya orangtua melatih anak-anak untuk mempunyai hati seperti bola basket, yang bisa membal jika jatuh, bukan bola kristal, yang langsung pecah jika jatuh. Dia memberikan contoh anak yang dilarang menonton Spiderman melompat dari jendela apartemen, itu karena orangtua menjaga hati anaknya seperti bola kristal, sehingga pecah begitu terjatuh.
 
Komunikasi dengan Remaja
 
Sedangkan untuk remaja putra dan putri, menurut Charlotte Priatna memiliki perbedaan dalam penyampaian komunikasi. Orang tuan harus menggali supaya bisa mengobrol dengan mereka, mengerti perasaannya, sehingga komunikasi tidak berjalan satu arah.
 
Charlotte Priatna merincikan bahwa komunikasi yang baik dengan remaja harus mencakup 6 hal.
 
1. Mengerti kebutuhan (direct & indirect)
Melakukan percakapan dengan remaja putra cenderung bersifat tidak langsung, misalnya sambil beraktifitas, ajak mereka untuk mengobrol, menanyakan kejadian sehari-hari, anak laki-laki biasanya menjawab dengan singkat dan lugas. Anak cenderung merasa tidak terancam, dan mau memberikan komitmen untuk berubah.
 
Melakukan percakapan dengan remaja putri cenderung bersifat langsung, bertatap muka, duduk bersama dan berbicara 4 mata, dari hati ke hati, anak cenderung reseptif.
 
2. Menciptakan kesempatan  (sisa vs sisih)
Waktu yang digunakan untuk komunikasi dengan anak adalah waktu yang disisihkan bukan waktu yang tersisa.  Kesempatan berbicara harus diciptakan mulai dari topik sederhana, untuk anak-anak berusia 10 tahun misalnya dengan tebak-tebakan. Menggunakan bahasa asertif, kalimat yang tidak mematikan perasaan.
 
Orangtua dan anak berada dalam dunia yang berbeda, hendaklah orangtua yang masuk ke dalam dunia anaknya, tidak menarik anak masuk dalam dunia orangtua.
 
3. Mengasah kepekaan (Intent & Content)
Mendengarkan hati remaja (apa yang dirasakan), kegagalan memahami pesan yang disampaikan dari hati mereka, dapat mengakibatkan penolakan.  Jangan memotong pembicaraan mereka, pusatkan perhatian pada pesan non verbal, seperti: bahasa tubuh, ekspresi wajah, nada suara, rasa urgensi mereka.
 
Ada masa anak dimana mereka lebih sensitif, karena itu orangtua harus memahaminya, menahan diri supaya relasi tidak rusak, misalnya: sepulang sekolah anak tidak mau makan, anak yang biasanya langsung menceritakan kejadian sehari-hari suatu saat terdiam, orangtua harus dapat menangkap pesan dari mereka. Apakah ada masalah di sekolah?  
 
4. Mengucapkan hati-hati  (tonge & tone)
Mempertimbangkan pikiran berdasarkan ekspresi wajah anak (sebelum berpendapat pahami dahulu harapan dan perasaan remaja).  Hindari kata-kata kasar, pertimbangkan akibat kata-kata kita.  
 
Dalam penyampaian komunikasi, peran bahasa tubuh 55%, nada 38%, dan isi berita 7%. Charlotte Priatna memberikan contoh seseorang yang pernah dilecehkan oleh ayahnya, setelah dewasa mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan atasannya, dan bahkan ada yang tidak dapat berdoa Bapa Kami, karena image ayah yang rusak dalam diri sang anak.
 
5. Mengerti perasaan (symphaty & empathy)
Empati adalah mengerti apa yang dirasakan orang lain.  Bagi remaja yang bergumul dengan kehidupan, tidak ada sumber yang lebih penting daripada orangtua yang memiliki empati.
 
Musuh terbesar kaum muda sekarang adalah pornografi, karena pornografi membombardir kaum muda tidak hanya melalui gadget, tapi juga lingkungan dan teman-teman.  Orangtua harus terbuka pada anaknya, tidak berperan seperti polisi.  Dengan ayah, sebagai kepala keluarga yang mau berbesar hati menerima kesalahan anak, akan menolong mereka menghadapinya.
 
6. Membagi pengalaman (care & share)
Masa remaja adalah masa transisi dimana kompleksitas emosional meningkat, kadang anak merasa kurang percaya diri, sulit adaptasi, terisolasi, tidak ada yang mengerti dirinya termasuk guru.  Sebagai orang dewasa yang pernah mengalami pengkhianatan, kata-kata kasar, penolakan, dsb, orangtua dapat menceritakan pengalamannya kepada remaja sehingga memperlengkapi kehidupan mereka.
 
Pada sessi tanya jawab ada seorang ayah menceritakan kesulitannya menghadapi putri bungsunya yang berusia SMP dan mengalami obesitas.  Bapak ini ingin anaknya menurunkan berat badan, namun setiap disebut soal berat badannya, sang anak akan marah membanting pintu.
 
Charlotte menjelaskan bahwa hal yang harus dilakukan adalah penerimaan diri sang ayah terhadap anaknya, apapun keadaan anaknya, karena anak yang merasa tertolak akan membenci dirinya, dan dia akan menegaskan orang lain juga memiliki pendapat yang sama.  Itulah citra diri yang rusak. Dan jika anak membenci dirinya, bagaimana dia dapat mengasihi orang lain, seperti tertulis: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
 
Pada akhir sessi, ditegaskan Charlotte melalui jawaban pertanyaan seorang ibu yang kesulitan menerapkan disiplin pada 2 putranya (4 dan 6 tahun), karena suaminya akan menuruti anaknya jika sang anak menangis. Charlotte mengatakan bahwa pendidikan anak memerlukan kesehatian orangtua. Urutan ordo dalam rumah tangga, Tuhan, ayah, ibu, anak dalam rumah tangga harus ditaati.   

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home